"Aku datang ke rumahmu kemarin," kata Mashiho. "Ibumu bilang kau sedang tidak di rumah."
Dia terdengar sedikit kesal. Tentu saja, remaja itu berjalan kaki dari rumahnya ke rumah Junkyu, berharap untuk menemukannya di sana. Sialnya, Kim Junkyu, yang dirumorkan tidak pernah keluar rumah, justru memutuskan untuk mulai menjelajah dunia luar di hari yang sama.
Itu bukan salahnya, tapi tetap saja Junkyu sedikit merasa bersalah. Mungkin Haruto benar, mungkin dirinya memang sensitif dan tidak mau mengakuinya.
'Mereka mungkin lelah, terus mengejarmu seperti itu.'
Junkyu bercerita, "Aku pergi menonton battle dance di Distrik Mapo."
Mata Mashiho membulat. Rasa kesalnya menguap, digantikan keingintahuan. Ia mencecar, "Dance battle? Sendirian? Kau tidak berpikir untuk mengajakku?"
"Tidak."
Mashiho memiringkan kepala. Dia membuka mulut, berniat mempertanyakan dengan siapa Junkyu pergi. Mata sipitnya melirik jaket kulit yang dikenakan Junkyu. Dia belum pernah melihat jaket itu sebelumnya, tapi, dia mengenali aroma tubuh, meski samar, yang masih melekat di sana.
Mashiho tidak jadi bertanya. Dia hanya mengatakan, "Oh."
"Oh, apanya?"
"Kau pergi dengan dia?" Mashiho melempar duga, memberikan penekanan khusus pada kata 'dia'.
Kebungkaman Junkyu menjawab segalanya dengan begitu gamblang.
Sesuatu tentang situasi ini membuat Mashiho tertawa. Dia tidak menyangka hari ini akan datang. Kemana perginya Kim Junkyu yang mengatakan bahwa dia tidak tertarik untuk menjalin hubungan?
"Bagaimana Mapo-gu?" tanya Mashiho. "Indah bukan?"
Meski cukup bingung dengan perubahan topik yang tiba-tiba, Junkyu tetap menjawab pertanyaan kawannya. "Bunga-bunga yuchae-nya sedang bermekaran."
"Bunga?" Mashiho nyaris tersandung kakinya sendiri. Ia memicingkan matanya ke arah sosok sang alpha. "Kau bicara tentang bunga? Bagaimana dengan teman kecilmu?"
Bagi Junkyu, sangat aneh mendengar seseorang mendeskripsikan Haruto dengan istilah 'teman kecil'. Apalagi itu keluar dari mulut Mashiho, mengingat Haruto memiliki postur yang lebih tinggi dari remaja itu. Namun, sang alpha menyimpan pemikirannya untuk diri sendiri. Dia tidak mau menambah perkara.
Junkyu membuang muka. "Aku tidak perlu bicara padamu tentang Ruto-ya."
"Hah?" Nada suara Mashiho meninggi. "Kau memanggilnya apa tadi?"
Helaan napas terdengar. "Kenapa kau sangat ingin tahu soal ini?"
Mashiho berhenti mengikuti Junkyu, langkah kakinya tertahan di dasar anak tangga. Dia berucap, dengan nada lelah. "Karena jika aku tidak bertanya, kau tidak akan pernah memberitahuku apapun."
Junkyu berbalik dari tempatnya berdiri, dan melihat wajah Mashiho yang frustasi. Sesuatu di dalam dirinya melunak.
"Ayo pergi keluar sore ini? Ke tempat favoritmu?" ajak Junkyu. "Jika kau sungguh ingin tahu, aku akan ceritakan semuanya."
Mendengar ajakan Junkyu, untuk sesaat Mashiho terperangah. Lalu, wajahnya memasang ekspresi curiga. "Tempat favorit yang mana?"
"Yang mana saja," kata Junkyu. "Aku akan menjemputmu."
"Oh, ya?" Mashiho terdengar skeptis. Belajar dari pengalaman terdahulu, Junkyu akan membatalkan janji di detik-detik terakhir, atau bahkan tidak datang sama sekali.
Kecuali, Junkyu benar-benar datang menjemputnya. Dia bahkan datang lebih awal dan mereka benar-benar pergi ke tempat-tempat favorit Mashiho. Daelim Changgo, arena skateboard, lapangan basket umum di ujung Seocho, semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
Fiksi PenggemarJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.