Aku Akan Pulang Dengan Cepat

569 61 6
                                    

Junkyu memicingkan mata ke arah Mashiho dan meliukkan sebelah alisnya, mencoba untuk terlihat mengintimidasi.

Itu tidak berhasil. Mashiho malah berpikir kalau temannya yang satu itu menggelikan.

"Kau tidak bilang kalau kau mengenalnya," katanya, tiba-tiba.

Mashiho mengerjap, mencoba membaca arah pembicaraan. "Siapa?"

"Anak laki-laki di halte bus."

Rupanya, ini alasan kenapa Junkyu bersikap aneh seharian ini. Mashiho menghela napas, ia berniat menjelaskan, tapi sesuatu mengganjal di pikirannya.

Dari mana Junkyu tahu? Sungguh misterius.

Mashiho memutar bola matanya. "Aku mengajakmu keluar kemarin, salah sendiri tidak mau. Kalau kau ikut, kalian akan bertemu."

"Kan' aku sudah bilang aku tidak punya skateboard."

"Kan' aku sudah bilang kalau aku akan meminjamkan skateboard-ku."

Keduanya memandang sengit. Namun seperti biasa, Junkyu tidak bisa marah kepada Mashiho.

"Eomma menyuruhku untuk melakukan pekerjaan rumah, jadi aku terlambat membaca pesanmu."

Mungkin, alasan itu tidak cukup bagus. Untuk sesaat, Mashiho mengabaikannya dan melanjutkan kegiatannya menempelkan sticky notes ke buku-bukunya.

"Dia anak yang baik," kata Mashiho, pada akhirnya.

Mengambil kursi, Junkyu duduk dan mendengarkan penuturan Mashiho dengan seksama.

"Ketika aku terjatuh dari skateboard, dia hanya tertawa setelah menolong dan mengetahui kalau aku baik-baik saja." Mashiho melirik sinis. "Tidak seperti dirimu."

Junkyu memilih untuk mengabaikan sindiran itu. Dia bertanya, "Bagaimana kalian bertemu?"

"Kami les di tempat yang sama."

"Oh, ya?" Jika itu mungkin, mata Junkyu melebar. Dia bertanya, "Di mana dia sekolah?"

Mashiho diam sebentar, menimbang-nimbang. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk tidak memberitahu Junkyu.

"Kenapa?" tanya remaja yang lebih tua.

"Kenapa aku harus memberitahumu? Agar kau bisa menemuinya?" Remaja kelahiran Mie itu lalu mengelaborasi, "Dia terbiasa home schooling, minggu ini akan menjadi hari-hari pertamanya masuk sekolah."

Junkyu membuka mulutnya untuk bicara, tapi Mashiho memotongnya.

"Kau tahu, terlalu banyak hal terjadi di satu hari yang sama itu tidaklah baik, 'kan?"

"Aku tidak akan menemuinya tanpa alasan seperti itu," Junkyu membela diri. "Setidaknya beri tahu aku dia belajar di SMA mana?"

Hening. Kecuali untuk pendingin ruangan yang berdengung di sudut kelas.

Ekspresi wajah Mashiho berubah aneh. "Junkyu, dia masih SMP."

-----

Haruto belajar di Sekolah Internasional Jepang. Lokasinya di Distrik Mapo, Seoul. Teman-teman barunya adalah sesama anak-anak warga negara Jepang yang tinggal di Korea Selatan. Teman sepermainannya, Asahi, juga sekolah di sana.

Di hari pertama masuk sekolah, ibunya mengantarnya. Kaca samping berlapis film bergulir turun. Nyonya Watanabe melihat ke arah gedung sekolah dari dalam taksi.

Di saat yang sama, bus sekolah berhenti di halte yang jaraknya hanya beberapa meter dari pintu gerbang sekolah. Anak-anak berseragam turun seraya membawa tas sekolah mereka.

Wanita cantik bersurai hitam itu tampak ragu. "Haruto-kun, kau yakin akan baik-baik saja?"

Haruto, yang sedang melepas sabuk pengaman, menjawab, "Oka-san, aku sudah besar."

Ketika hendak dicium, Haruto menghindar. Dia malu karena Asahi--yang menunggunya di depan pagar sekolah, tengah melihat ke arah mereka.

Sang ibu, yang berakhir mencium bantalan jok tempat mereka duduk, merasa malu bukan kepalang. Terlebih ketika ia menyadari bahwa, melalui cermin rearview, pengemudi taksi melihat apa yang barusan terjadi.

Ia segera menjewer telinga putranya.

"Aduduh! Oka-san!" pekik sang anak.

Ibunya tidak menghiraukan. Wanita itu sibuk membungkuk meminta maaf kepada pengemudi taksi dan mencoba membersihkan noda lipstik yang menempel di kursi.

Haruto berdiri di trotoar, mengusap telinganya yang merah. Dengan ekspresi menyedihkan, remaja berpostur tinggi itu menoleh ke belakang. Ke arah Asahi.

Remaja yang lebih tua hanya merespons dengan mengibas-ngibaskan tangan dan mengerucutkan bibir. Gesturnya seolah mengatakan, maaf, aku tidak bisa membantumu kali ini.

Nyonya Watanabe turut keluar dari taksi dan merapikan dasi putranya untuk kesekian kalinya. Ketika melihat Asahi di kejauhan, dia melambaikan tangannya. "Asahi-kun!"

Asahi balas melambaikan tangannya, lalu membungkuk sembilan puluh derajat.

"Ah, sekarang rumah akan jadi sunyi," kata Nyonya Watanabe. Mata wanita itu berkaca-kaca. Agaknya, dia belum siap untuk melepas putra sematawayangnya ke dunia luar.

"Aku akan pulang dengan cepat," Haruto meyakinkan. Dia mulai berjalan pergi, tapi ibunya memanggil.

"Haruto-kun."

"Ne?"

"Belajar yang benar, oke?"

"Oke!"

"Kalau kau bertemu dengan anak laki-laki atau anak perempuan yang mungkin kau sukai, tolong jangan mencium mereka sebelum kau memperkenalkan mereka kepada kami."

"Oka-san!"

-----

Asahi menawarkan diri untuk mengantar temannya sampai ke kelas. Namun, Haruto curiga dia punya maksud lain.

"Yang dimaksud ibumu tadi, siapa?" selidik Asahi.

Haruto tidak pernah berbohong--karena dia memang tidak pandai berbohong. Dia juga bukan seseorang yang menceritakan segala hal tentang dirinya. Namun, jika seseorang menanyakan pertanyaan yang tepat, remaja itu tidak pernah merahasiakan apapun.

Sosok yang lebih tinggi memutar otak, mencari celah untuk menjawab pertanyaan Asahi tanpa memberitahunya soal hal bodoh yang tempo hari dia lakukan.

Tidak sabar, Asahi menyikut pinggangnya dengan sikunya yang tajam, membuat Haruto mengaduh.

"Ya!" protesnya.

"Cepat ceritakan!" desak Asahi.

Haruto menghela napas, pasrah. Sedangkan Asahi tersenyum penuh kemenangan. Remaja kelahiran Osaka itu mendekat agar temannya bisa berbisik di telinganya.

"Aku bertemu seseorang," kata Haruto.

"Uh huh?"

"Aku menyukai mereka."

Asahi mengangguk paham. Di luar dugaan, dia tidak serta-merta menggoda atau mengolok-olok Haruto. Dia justru bertanya, "Apa mereka bersikap baik padamu?"

Pertanyaan itu sangat tidak terduga. Haruto membuka mulutnya, tapi tidak sepatah katapun menyuara. Keduanya saling tatap, berkomunikasi dalam diam. Sesuatu di mata Asahi mungkin menyentuh hati Haruto, karena setelahnya, dia menggenggam tangan Asahi. Erat.

"Aku tidak tahu," jawab Haruto. Dia terdengar ragu dan takut.

Haruto adalah teman pertama Asahi, terlepas dari perbedaan usia di antara keduanya. Mereka mungkin sangat berbeda, dari segi fisik hingga pola pikir. Namun, belakangan ini Asahi merasa, alih-alih temannya, Haruto lebih terasa seperti versi lain dari dirinya.

"Tidak apa-apa." Asahi menepuk-nepuk tangan mereka yang masih bertaut. "Kau akan tahu, cepat atau lambat."

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang