Di seberang kompleks Istana Changgyeong terdapat sebuah lahan parkir khusus pengunjung. Hari Minggu adalah hari yang baik untuk bisnis pariwisata, terlihat dari parkiran yang nyaris penuh oleh deretan bus dan kendaraan pribadi.
Di bagian selatan lahan, terpasang pada pagar kawat adalah deretan spanduk. Entah itu poster pariwisata, promosi resto cepat saji, ads ulang tahun seorang idol, atau spanduk kedatangan. Salah satu di antaranya adalah spanduk berwarna merah hati bertuliskan ucapan selamat datang untuk rombongan study tour siswa/siswi SMA Seocho.
Ratusan remaja menuruni bus dan berhamburan memenuhi parkiran. Mereka berpakaian kasual dengan badge pengenal yang menandakan mereka datang untuk tujuan yang sama.
Salah satunya adalah Kim Junkyu, yang mengenakan jeans dan hoodie putih dengan motif kupu-kupu. Dia membawa tote bag hitam berisi jurnal, alat tulis, serta ponselnya.
Saat keluar dari bus, matanya langsung menyipit karena cahaya. Dia berbaris bersama murid lain dan mendengarkan arahan.
"Tolong hanya berkeliling di wilayah Changgyeonggung, selebihnya tidak diperbolehkan. Kalau kalian kesulitan atau mengalami masalah, silakan melapor pada tour guide terdekat. Jangan lupa untuk kembali ke parkiran dalam dua jam untuk mengambil makan siang."
-----
Junkyu duduk di teras dan membuka penutup kepala, menikmati angin yang menyapu wajah babyface miliknya.
Membuka ponsel, dia memutar kembali rekaman suara hasil wawancaranya dengan seorang tour guide. Dia akan mencatatnya nanti, setelah sampai di rumah.
Samar-samar, ia menyadari kerumunan di balik tirai mulai membubarkan diri. Mungkin mereka menyadari kalau lukisan itu hanya sebuah lelucon.
Junkyu melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana salah satu teman sekelasnya menggantung lukisan itu di sana, sedangkan yang lain menyebarkan rumor soal lukisan dewa yang dapat mengabulkan permintaan.
"Itu bagian dari tugas eksperimen sosial," kata mereka.
Junkyu tidak percaya. Tugas eksperimen sosial yang mana? Dia tidak pernah mendengar tugas seperti itu.
"Mengapa orang-orang begitu mudah mempercayai hal konyol," keluhnya.
Remaja bermarga Kim itu duduk di sana selama hampir setengah jam dan mendengarkan orang-orang menyebutkan permintaan mereka.
"Dewa, aku ingin kaya raya!" pinta seseorang dari balik tirai.
Junkyu, yang mendengar itu, memasang ekspresi masam. "Untuk itu, meminta kepada dewa saja tidak cukup, kau harus bekerja keras."
"Aku ingin segera diangkat menjadi pegawai negeri."
"Semoga aku tidak harus menunggu sepuluh tahun untuk comeback BIGBANG yang berikutnya."
Junkyu mengerjap, heran. 'Itu permintaan yang cukup aneh,' pikirnya.
Ponsel Junkyu berdering, mengalihkan perhatiannya. Ada sebuah pesan dari Mashiho. Dia buru-buru membalas.
Suara langkah kaki terdengar dari balik kelambu merah. Junkyu melirik, melihat siluet samar seseorang.
Tidak seperti yang lain, yang satu ini terdiam lama sebelum mengatakan keinginannya.
"Aku ingin ...."
Suara itu pelan, Junkyu harus mendekat untuk bisa mendengarnya.
"Aku ingin bertemu Junkyu-hyung lagi."
Detik itu juga, angin berembus lebih kencang. Di depan matanya, tirai merah tersibak.
Junkyu mematung. Pandangannya jatuh pada jaegori berwarna biru muda, jemari yang bertaut di dada dan wajah yang telah menjungkirbalikkan dunianya.
Jantung Junkyu berdegup kencang, tapi sosok itu tidak mendengarnya. Dia terus bercerita.
-----
"Saat pertama kali bertemu, aku pikir Junkyu-hyung sangat tampan."
Ada tarikan napas bergetaran. Haruto melanjutkan pengakuannya.
"Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya."
Ada jeda yang gugup. Jemari Haruto memelintir seutas tali merah yang melingkar di pergelangan tangannya. Hal itu sepertinya membuat dia merasa lebih tenang, karena setelahnya dia kembali bicara.
"Aku tidak pernah berpikir kalau anak laki-laki bisa begitu tampan."
Seumur hidupnya, orang-orang di sekitarnya mengatakan bahwa ia akan menjadi seorang alpha di masa depan. Haruto percaya ucapan mereka, dan dia juga percaya bahwa dirinya adalah seorang alpha. Tidak ada keraguan.
Jadi, dia memperhatikan orang-orang yang dia lihat di keseharian. Memikirkan apakah mereka seorang omega atau beta. Dia pikir teman laki-laki sebayanya, Park Jeongwoo, memiliki senyum yang manis. Menurutnya, Ibu Kim, yang menjadi gurunya selama home schooling, adalah wanita yang sangat cantik. Namun, saat melihat Junkyu, dia merasa bingung dengan kekagumannya.
Haruto menceritakan kegelisahan itu kepada sang ibu, yang hanya tersenyum, tidak memberikan jawaban. Dia juga menceritakan apa yang terjadi di halte bus. Semuanya, setiap detailnya. Berbohong pun tidak ada gunanya. Ibunya bisa mencium aroma seorang alpha di tangan dan wajah Haruto.
Hari itu, mereka bicara serius hingga larut malam. Tentang cinta, consent, dan tanggung jawab. Hal yang dikatakan sang ibu terus terngiang di kepalanya. Lelucon hanya lucu jika kalian berdua tertawa. Sebuah ciuman, hanya menyenangkan jika kalian berdua sama-sama menginginkannya.
"Oka-san membuatku berjanji, untuk meminta maaf kepada Junkyu Hyung atas apa yang terjadi."
Jika itu mungkin, Haruto memejamkan matanya dengan lebih erat. Wajahnya murung.
"Kami tidak saling kenal. Tidak seharusnya aku melakukan hal seperti itu tanpa bertanya."
Untuk pertama kalinya, membayangkan dirinya sebagai seorang alpha di masa depan, terasa sangat menakutkan. Jika saat ini dia bersikap seperti itu. Akan jadi apa dia di masa depan nanti?
Jika waktu dapat diputar kembali. Hari itu, di halte bus, dia berharap segalanya terjadi dengan lebih sederhana.
Sesederhana menerima uluran tangan Junkyu dan bertanya siapa namanya.
-----
Junkyu pergi. Dia ingin berlari kencang, membuat jarak sejauh mungkin dari bangunan bernuansa merah itu, tapi dia memaksa kakinya untuk berjalan pelan.
Ketika tiba di tepi sungai yang mengaliri kompleks Istana Changgyeong, Junkyu duduk di rerumputan dan melamun lama.
Dia memikirkan setelan hanbok sewarna langit. Bagaimana Haruto terlihat begitu cantik, bahkan saat dia menangis.
-----
Di perjalanan pulang, Jeongwoo bertanya. "Apa sesuatu terjadi ketika aku pergi? Kau terlihat sedih."
"Tidak, tidak terjadi apa-apa," jawab Haruto.
Keduanya berjalan bersama di Distrik Jongno dan berbagai setangkai permen kapas berwarna pelangi.
Jeongwoo menebak-nebak. "Apa ini soal sekolah barumu?"
"Sekolahnya baik-baik saja. Teman sekelasku memperlakukan aku dengan baik."
Mata cokelatnya memandang kejauhan, bertumpu pada pencakar langit yang seolah berdiri di atas istana Changgyeong. Pemandangan yang rumpang.
"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin bercerita." Jeongwoo menyikut lengan Haruto untuk mendapat perhatiannya. "Kau boleh memiliki rahasia."
"Jeongwoo--"
Sosok bermarga Park menyela, "Aku hanya ingin bilang, apapun masalahnya, kau bisa melewatinya."
Remaja berkulit kecokelatan itu menunjuk ke arah ranting pohon yang menjari. Di sana, seekor tupai tengah berusaha untuk berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Namun, lompatannya tidak sampai. Tupai itu jatuh berguling ke tanah, lalu berlari ke rerumputan.
"Lihat! Bahkan tupai, yang pandai melompat, juga pernah tergelincir."
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
Fiksi PenggemarJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.