Asahi duduk di meja belajar milik Haruto, mengerjakan soal Deret dan Barisan yang harus dia kumpulkan besok. Meski sudah mencoba fokus, konsentrasinya tetap terpecah. Telinganya mendengarkan percakapan kecil antara Junkyu dan Haruto yang terjadi di belakangnya.
"Kau sudah makan?" tanya Junkyu. "Aku membawa Samgyetang."
"Samyetang?"
"Sam. Gye. Tang." Junkyu memberi penekanan pada tiap silabelnya, memastikan agar Haruto menangkap ejaannya dengan benar. Ia lantas menjelaskan, "Samgyetang adalah sejenis sup ayam, dengan kuah bercampur ginseng dan beras ketan di dalamnya."
Asahi tidak menoleh ke belakang, tetapi dia mendengar kontainer makanan yang dibuka. Lantas, aroma khas sup menguar. Asahi bisa mencium aroma lada dan ginseng yang kuat. Mendadak, remaja itu merasa lapar.
"Tapi itu satu ekor ayam utuh. Apa itu porsi untuk satu orang?"
"Tentu saja," kata Junkyu. "Ukuran ayamnya kecil, lihat."
"Aku sedang tidak ingin makan."
"Sedikit saja," Junkyu melobi, "kau juga bisa membaginya dengan Asahi."
Tanpa mengalihkan pandangan dari buku-bukunya, Asahi menolak. "Tidak, terima kasih."
Kim Junkyu bukanlah Kim Junkyu jika dia tidak persisten. "Kalau begitu, kau bisa menyimpannya untuk nanti."
Jadi, Haruto duduk di tempat tidurnya. Kontainer berisi Samgyetang diletakkan di pangkuannya. Junkyu memberikan sepasang sumpit dan sebuah sendok sup. Lalu, Junkyu melihatnya makan. Sedikit demi sedikit.
"Kau akan menjadi alpha kecil yang tangguh."
"Besar," kata Haruto.
"Hm?"
"Alpha besar."
"Baiklah." Junkyu menurut, kemudian mengoreksi kata-katanya. "Kau akan menjadi alpha besar yang tangguh."
Haruto tidak merespons secara verbal. Namun, dia mengambil satu suapan besar dari wadah Samgyetang dan memakannya dengan perasaan gembira.
"Boleh aku lihat?" pinta Junkyu.
Haruto membuka mulutnya lebih lebar. Dia melakukan itu dengan penuh percaya diri. Harus Junkyu akui, anak itu punya gigi yang bagus, dia tidak melihat karang atau gigi berlubang. Seperti remaja seusianya, gigi geraham belakang Haruto belum tumbuh, masih berupa lempengan gusi yang berwarna merah muda. Empat gigi taringnya tumbuh dengan baik, mereka tampak kokoh dan tajam.
Junkyu menggunakan jari telunjuknya untuk memeriksa apakah gigi taring itu setajam kelihatannya.
Kecuali, sentuhan pada gigi taring yang sensitif, dan aroma tubuh Junkyu yang memenuhi indra penciumannya, membuat Haruto tidak bisa menahan instingnya untuk menggigit.
Terkejut, Junkyu sedikit terlonjak. Melihat jari telunjuknya terjepit di antara sepasang gigi taring yang tiba-tiba merapat, alisnya meliuk naik. Selebihnya, ekspresi di wajah remaja itu sedikit sulit untuk diartikan.
Junkyu tersenyum perlahan. "Anak nakal."
"Maaf," kata Haruto, tanpa melepas gigitannya. Itu membuat pelafalannya sedikit tidak jelas.
Ada bunyi derit kursi yang memekakkan telinga. Tanpa sepatah kata, Asahi bangkit dari posisinya di meja belajar dan meninggalkan mereka berdua.
"Apa kau tidak akan melepaskan aku?" Junkyu menggerakkan telunjuknya.
Haruto merilekskan otot rahangnya dan melepaskan Junkyu. Dia sedikit menyesali itu, menggigit sesuatu membuatnya merasa lebih baik. Sekarang, giginya terasa aneh dan sedikit ngilu.
Samgyetang-nya memang lezat, tapi nafsu makannya menguap entah kemana. Merasa sedikit mual, Haruto segera menyerahkan kontainer makanan kepada Junkyu.
"Sudah."
Melihat isi kontainer yang sekilas tampak utuh, Junkyu meminta Haruto untuk memakannya sedikit lagi.
"Tidak mau," tolak Haruto.
Junkyu tidak memaksa. Dia menutup kontainer dan meletakkannya di nakas.
Dari sudut matanya, ia melihat Haruto menutupi mulutnya dengan sebelah tangan. Wajahnya berubah sangat pucat.
Junkyu tidak punya cukup waktu untuk bertanya apakah ada sesuatu yang salah, karena Haruto lebih dulu memuntahkan makanannya.
Asahi melihat semua detailnya dari ambang pintu. Suara basah muntahan, diikuti aromanya yang menyengat. Bahkan baginya yang berada cukup jauh, itu menjijikkan.
Namun, Kim Junkyu. Bukannya menggunakan kotak sampah di sisi tempat tidur atau bahkan bungkus plastik dari makanan yang dia bawa, justru meraih jas sekolahnya. Ketika Asahi berpikir kalau dia tidak akan melakukan hal yang lebih bodoh, Junkyu menyingkirkan tangan Haruto yang menutupi mulutnya.
Sepersekian detik kemudian, tangan Junkyu penuh dengan muntahan, sebagian bahkan lolos dari sela jari-jarinya dan nyaris mengotori selimut serta tempat tidur jika tadi remaja itu tidak meletakkan jasnya di sana.
Junkyu tidak terlihat jijik atau semacamnya. Dia pergi ke toilet, membersihkan tangan serta jas sekolahnya. Remaja itu kembali dengan cepat, mengambil lembaran tisu dan menyeka lelehan di mulut Haruto.
"Sudah?" Ia bertanya, "Kau merasa lebih baik sekarang?"
Haruto mengangguk. Lalu menoleh kepada Asahi. "Minum," katanya.
Bersandar pada bingkai pintu bernuansa putih, memegang secangkir teh yang dia buat untuk diri sendiri. Asahi memutar bola matanya. Dua hari ini, rasanya ia benar-benar dibuat seperti seorang nanny.
"Manja."
Dia mengejek, tapi merelakan tehnya.
-----
Asahi duduk di tangga, menyesap secangkir teh baru, dan berkontemplasi soal sosok alpha di hadapannya.
Kim Junkyu punya mata dan tubuh seorang alpha. Namun wajahnya, yang tergolong baby face untuk seorang anak SMA di tahun ketiga, telah mengkamuflase sifat-sifat dominannya.
"Aku merasa perlu untuk menjelaskan ini padamu." Junkyu memulai percakapan. "Kau adalah temannya, jadi, aku ingin memberi kesan yang baik."
Junkyu menatap Asahi. Dia berkata, "Mashiho dan aku, sudah tidak punya hubungan apa-apa."
Tapi, dua orang yang hubungannya sudah kandas, dan memilih untuk tetap berteman. Buat Asahi, itu mencurigakan.
Haruto sudah tidur, kompres penurun panasnya sudah diganti. Dia terlelap sambil menggigit satu jari telunjuknya. Seperti bayi.
Tentu saja, anak itu tertarik pada seseorang seperti Junkyu, yang sedikit dungu, yang menampung muntahan di telapak tangannya. Padahal, hidup Asahi akan lebih tentram jika Haruto dan temannya yang bermarga Park itu memilih untuk menjadi lebih dari sekadar teman baik.
Namun, ini adalah Haruto. Dia hidup hanya untuk mewarnai hari-hari Asahi.
Matanya mengarah pada jaket kulit yang tergantung di belakang pintu masuk. Sekarang, dia tahu jaket itu milik siapa. Asahi lantas menurunkan pandangan, melihat bayangan dirinya pada secangkir teh, menghirup aroma yang memberikan ketenangan dan efek terapis.
Kecuali, Asahi tidak mencium apa-apa. Sepertinya, apapun itu yang membuat Haruto sakit, mulai menular padanya.
"Menyusahkan," gerutunya.
Ia memberikan Junkyu kesempatan kedua dan mendengarkan penjelasannya.
-----
![](https://img.wattpad.com/cover/290879208-288-k415420.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.