Ketika Haruto tiba di halte pemberhentiannya, Junkyu tengah tertidur lelap. Jadi, dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Jeongwoo mengantarnya sampai ke pintu, menolak tawaran untuk mampir, dan langsung pulang.
Di rumah, Haruto segera melepas hanbok yang dia pakai dan memasukkannya ke mesin cuci. Dengan singlet dan celana pendek, ia berlarian ke mandi. Karena tidak memperhatikan, ia tidak sengaja menyenggol adiknya yang keluar dari lorong dapur.
"Maaf, Airi!"
Haruto lebih dahulu menghilang di balik pintu kamar mandi sebelum adik kecilnya bisa mengatakan apapun.
Selesai mandi, putra sulung keluarga Watanabe itu duduk di ruang makan dan menceritakan apa saja yang dia dan Jeongwoo lakukan di Istana Changgyeong. Ibu dan ayahnya tengah menyiapkan makan malam, mereka sesekali berkomentar.
Airi, adik perempuannya, yang duduk beseberangan dengannya, merajuk karena tidak diajak.
"Kita bisa pergi bersama saat hari libur," kata ayahnya.
"Minggu depan kalau begitu."
"Bukan libur hari Minggu," sang ibu mengoreksi. "Maksud ayahmu, liburan semester."
"Tapi itu lama sekali!" protes Airi.
Haruto tertawa. Dia sudah memakai piyama, sengaja memilih setelan berlengan panjang yang akan menutupi bekas kemerahan di tangannya.
Setelah makan malam, Haruto pergi ke kamar dan menyiapkan tas sekolahnya untuk besok. Pukul sembilan lebih, dia mulai mengantuk. Meletakkan kepala di bantal, dia lelap dengan cepat, dan bermimpi soal kupu-kupu di hoodie Junkyu Hyung.
-----
Di dalam mulutnya, lidah Junkyu bergerak gelisah, menyapu gigi taringnya yang entah mengapa terasa gatal. Rasanya, ia kembali menjadi anak-anak, giginya tanggal, dan gusinya terasa tidak nyaman saat gigi baru akan tumbuh.
Dia berbaring di sofa panjang bernuansa baby blue, masih mengenakan hoodie kupu-kupunya. Tas dan barang bawaannya tergeletak di meja kaca. Junkyu tidak sedang melamun bermalas-malasan, dia sedang berpikir.
Ibunya menanyakan sesuatu yang aneh hari ini. Junkyu baru tiba dari study tour-nya, memasuki rumah, dan memeluk ibunya. Jika dipikir-pikir, tadi, sang ibu juga memandangnya dengan cara yang aneh.
Kemudian, dengan nada ringan, seolah sedang membicarakan cuaca, ibunya bertanya pada Junkyu. "Apa kau menginginkan seorang adik?"
Mata Junkyu, yang bulat dan lebar, hanya mengerjap. Tidak, dia tidak menginginkan seorang adik. Tidak lagi. Terlebih setelah kejadian mengerikan beberapa tahun lalu, di mana ia menemukan sang ibu tergeletak di kamar mandi dengan darah mengalir di antara dua kakinya. Hari itu, calon adik Junkyu melebur menjadi gumpalan merah. Dia pergi, dan nyaris membawa serta ibunya.
"Tapi, aku sudah punya Noona," jawab Junkyu.
Noona yang dimaksud adalah Ruby dan Angdu. Dua kucing peliharaan yang tengah berlarian di antara kaki-kaki Junkyu.
Nyonya Kim tersenyum, tetapi matanya redup, sedikit sedih. "Belakangan ini kau bersikap aneh, dan kau pulang dengan ...." Sejenak, wanita itu terdiam, kehilangan kata-kata.
"Eomma bisa mencium anak-anak di pakaianmu, Eomma pikir, kau bermain dengan anak-anak TK sepulang sekolah." Wanita cantik itu tertawa, meraih tangan Junkyu, dan mencium telapak tangannya yang berbau susu.
Junkyu tidak tahu harus berkata apa. "Eomma, aku--"
"Junkyu-ya, jika kau ingin seorang adik." Jemari mereka bertaut erat. Sang Ibu memandangnya tepat di mata. "Katakan saja. Ibu akan mengusahakannya."
Junkyu lahir dari ayah seorang beta dan ibu yang merupakan seorang omega. Bahwa Junkyu tumbuh mendewasa sebagai seorang alpha, adalah sebuah keajaiban.
"Kau anak ibu, kau berhak mendapatkan hal-hal yang membuatmu bahagia."
Di momen-momen tertentu, Junkyu menyesalkan hidungnya yang tidak berguna. Dia ingin bisa mencium aroma tubuh ibunya. Ingin mengenal omega seperti apakah dia. Junkyu ingin, seperti yang dikatakan teman-temannya, mengetahui perasaan dan mood seseorang dari aroma mereka.
Namun, sekeras apapun Junkyu berusaha, yang dapat ia tangkap hanyalah samar parfum dan shampo yang dipakai sang ibu.
Larut dalam rasa kesal,
secara tidak sengaja, Junkyu menggigit lidahnya. Remaja itu meringis.Samar-samar, Junkyu mendengar suara ayahnya yang keluar dari dapur sambil bersenandung. Sejurus kemudian, diikuti suara pintu dibuka, lalu ditutup.
Dengan terburu-buru, Junkyu bangun dari sofa.
"Eomma!" panggilnya.
Junkyu berlari di koridor dan merangsak memasuki kamar ayah dan ibunya tanpa mengetuk pintu.
Di dalam, sang ibu yang duduk di meja rias dan tengah memakai krim malam, tampak terheran-heran. "Junkyu-ya?"
Sang anak menoleh ke sana kemari, lalu bertanya. "Kemana Appa?"
Merasa terpanggil, Tuan Kim menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar mandi. "Ada apa?"
"Appa, kenapa tidak pakai pakaian?!"
Junkyu segera mendorong ayahnya kembali ke dalam kamar mandi dan menutup pintu. Kemudian, dia naik ke kasur dan duduk di tengah-tengahnya.
"Ini sudah malam, Junkyu tidak ingin tidur?" tanya sang ibu.
Junkyu melipat tangannya di depan dada. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ia sudah memutuskan. "Aku akan tidur di sini."
-----
Haruto terlonjak bangun dari tidur. Sekujur tubuh penuh dengan keringat dan napasnya tersengal. Sepasang matanya, ketika terbuka, seperti pemandangan malam berkabut. Otaknya mencoba mengingat, mengejar mimpi yang lari dari ingatan.
Menarik napas dalam-dalam, menenggelamkan diri di kasur yang aromanya familiar. Seprei hitam, yang baru dipasang kemarin, seperti terbanjiri tumpahan susu. Seolah aroma tubuhnya menguar tak terkendali ketika ia tidur.
Ada perasaan aneh di perutnya yang perlahan pudar. Sebelah tangan Haruto menelusup dan bergerak di bawah selimut. Di kegelapan, pipinya memanas. Celananya terasa basah dan lengket.
Remaja itu menendang selimut. Dia bangun dari tempat tidur dan berhati-hati untuk tidak menyentuh apapun sepanjang perjalanannya menuju kamar mandi. Di westafel, Haruto mencuci tangannya dengan sabun.
Matanya menangkap bekas kemerahan di pergelangan tangan, tepat di mana Junkyu menggigitnya kemarin sore. Bentuknya seperti bulan sabit, warnanya masih merah muda, tidak pudar sama sekali. Ketika Haruto mencoba menekan bekas gigitan itu, dia tidak merasakan nyeri atau ketidaknyamanan.
Bekas gigitan itu bersanding dengan tali merah di pergelangan tangannya. Seperti sepasang souvernir.
Hari itu, Haruto mandi pukul tiga pagi. Khawatir akan membangunkan orang-orang rumah, ia berusaha untuk tidak membuat banyak suara. Setelah memakai handuk dan mengeringkan rambut, anak itu berpikir apa yang harus dilakukan dengan piyama kotor yang ia letakkan di atas toilet duduk.
Tidak mungkin ia membiarkan ibunya mencucinya, 'kan?
Masalahnya, detergen dan mesin cuci ada di ruangan lain di sudut rumah. Untuk sampai ke sana, ia harus melalui lorong gelap.
Tadi malam, sebelum tidur, Haruto dan Asahi bicara lewat telepon. Remaja yang lebih tua bercerita soal film horor yang dia tonton. Temannya itu menceritakan segalanya dengan detail, dan sekarang, Haruto takut untuk keluar kamar. Bagaimana jika dia bertemu hantu di lorong gelap?
Pada akhirnya, Haruto mencuci pakaiannya dengan sabun mandi, menjemurnya, dan berharap ibunya tidak menemukan keanehan pada setelan piyama yang di biarkan menggantung di balik pintu kamar mandi putranya.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.