Di Bawah Halte Bus

228 32 5
                                    

Ini adalah sebuah kejutan. Sebuah kejutan yang bagus, memang. Tetap saja, setelah semua yang terjadi, Kim Junkyu telah memutuskan kalau dia tidak menyukai kejutan.

Haruto berdiri di sisi gerbang sekolahnya dengan gakuran, seragam hitam yang dikenakan anak sekolah Jepang dengan deretan kancing emas yang berkilau. Dia memakai sepatu putihnya, dan sebuah jaket kulit yang familiar. Tentu saja, itu jaket milik Junkyu, yang tempo hari dia tinggalkan di rumah Haruto.

"Apa yang kau lakukan di sini? Kau baru sembuh. Kenapa bepergian begitu jauh?"

Mulut Junkyu sibuk mengomel, sementara tangannya menaikkan resleting jaket yang dikenakan Haruto.

Anak itu hanya tersenyum hingga gusi merah mudanya terlihat. Sore itu, rambutnya berkilau sehat. Pipinya hangat berseri.

Perasaan Junkyu saja, atau memang Haruto semakin tinggi?

"Oh, iya." Haruto tiba-tiba membungkuk sembilan puluh derajat di depan Junkyu. "Terima kasih sudah merawatku saat aku sakit."

Junkyu segera membuat Haruto berdiri, menyadari orang-orang  mulai melihat ke arah mereka. Dia kemudian menggiring Haruto keluar dari area SMA Seocho, jauh dari predator haus gosip di belakang mereka.

Sayang, tindakan protektifnya ini disalahartikan oleh sosok yang lebih muda. Haruto pikir, Junkyu malu untuk terlihat bersamanya di depan teman-teman sekolahnya.

"Maaf, Hyung."

Alis Junkyu berkerut. "Kau kenapa? Kenapa tiba-tiba meminta maaf?"

Sosok itu berbalik dan memperhatikan teman kecilnya yang hanya menunduk memandangi retakan kecil di permukaan pedestarian. Junkyu bertanya-tanya, apa wajah trotoar Seocho-gu sebegitu menariknya?

"Dengar, aku tidak marah padamu, ok? Aku hanya mengalami hari yang menyebalkan di sekolah. Kau tahu rasanya, 'kan? Seperti saat kau tidak mendapat nilai sempurna di mata pelajaran favoritmu, atau saat kau pergi ke toilet dan airnya tidak menyala, atau saat tali sepatumu terus terlepas di jam olahraga. Sangat menyebalkan. Kau mengerti, kan?"

Haruto tertawa kecil.

"Nah, begitu. Tertawalah." Junkyu menepuk-nepuk pipi Haruto dan meyakinkannya. "Merawatmu untuk satu hari bukan hal yang sulit. Jadi, tidak perlu berterimakasih."

Mereka, Kim Junkyu dan temannya yang memakai gakuran, melangkah tanpa tujuan di atas trotoar yang dipenuhi guguran daun ginkgo.

"Nanti," kata Junkyu, "aku akan merawatmu seumur hidupku."

Haruto membuka mulutnya untuk merespons, tapi selembar daun kering yang nakal jatuh dan hinggap di sela bibirnya.

Anak itu terbatuk kaget, nyaris tersedak.

Junkyu merengut. Cemburu, bahkan kepada selembar daun ginkgo yang telah gugur.

Rupanya mereka telah berjalan cukup jauh. Keduanya hanya fokus pada satu sama lain, hingga tidak menyadari kemana langkah-langkah kecil itu membawa mereka.

Junkyu melihat halte tua, pohon besar yang meranggas, dan ranting yang membentuk kanopi, dengan pandangan rumit.

"Ruto-ya," panggilnya. "Kau ingat tempat ini?"

Angin yang berembus menggugurkan dedaunan. Junkyu merasakan sebagian dari mereka masuk melalui celah-celah kecil di hatinya. Remaja itu menggigil tanpa sebab.

Dia melanjutkan, "Ini tempat kita pertama kali bertemu."

Langkah kaki Haruto terdengar renyah di atas dedaunan kering. Dia mungkin tidak mengatakan apa-apa, tapi Junkyu merasa lebih hangat dengan Haruto berdiri di sampingnya.

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang