Di Balik Pintu Lemari

367 52 10
                                    

Junkyu mengembalikan ponsel Asahi yang ia gunakan untuk menghubungi ibunya. Televisi di sisi lain ruangan menampilkan layar default. Film yang mereka tonton telah usai sejak tadi, tapi hujan seolah tidak mau berhenti. Dari jendela kaca yang berembun, Junkyu melihat bahwa hari sudah gelap. Bukan gelap mendung, tapi gelap karena waktu bergulir di luar kesadarannya.

Haruto relatif tenang dalam tidurnya. Dia tidak menendang atau berguling. Tubuhnya tentram dalam selimut. Dia juga, sengaja atau tidak, menggunakan kaki Asahi sebagai bantal. Remaja berkacamata itu kini terperangkap, tidak bisa kemana-mana.

"Ini sudah malam," kata Junkyu.

Asahi melepas kacamata dan membersihkan lensanya dengan sapu tangan. "Kau bisa pulang besok pagi, dan anak ini akan tetap bertanya kenapa kau pergi begitu cepat."

"Dia tidak pulang?"

Asahi menggeleng. "Dia tidur di sini. Ibunya akan menjemput besok pagi."

"Orangtuamu tidak keberatan?"

"Kenapa keberatan? Dia juga anak mereka." Asahi lalu menambahkan, "Kau juga boleh menginap."

Junkyu sedikit skeptis. Baginya, sosok orang tua Asahi sedikit terlalu chill untuk menjadi nyata. Tentu, ayahnya Asahi membiarkan Junkyu menumpang di mobilnya, dan Nyonya Hamada memasak semangkuk ramen untuknya. Namun, mengizinkan sleepover di pertemuan pertama mereka, rasanya tidak mungkin. Junkyu masih tahu diri.

"Kau membiarkan orang asing bermalam di rumah?"

"Orang asing?" Asahi memiringkan kepala. Jemarinya menyentuh wajah Haruto, menepuk pipinya pelan, seolah memastikan apakah teman kecilnya itu benar-benar tidur.

Melihatnya, dada Junkyu berdenyut dengan irama yang tidak menyenangkan. Rasa awas dan ketidaksukaan itu muncul kembali, tapi hanya sesaat. Junkyu segera memendamnya dalam-dalam. Dia tidak akan membiarkan perasaan irasional itu mempengaruhi akal sehatnya. Dia bukan alpha yang semacam itu.

"Dia menceritakan segalanya padaku. Aku tidak bisa menganggap Hyung sebagai orang asing, bahkan jika aku mau."

Ada sesuatu yang kompleks, dan sulit dimengerti pada diri Asahi. Mungkin penyebabnya adalah selera humornya yang unik, atau kepribadiannya yang tertutup, mungkin itu adalah cara eksentriknya dalam menunjukkan kalau dia peduli.

"Kurasa kau harus segera pergi."

Di sepersekian detik pertama, Junkyu berpikir kalau anak laki-laki itu mengusirnya. Rupanya tidak. Dia mengikuti pandangan Asahi yang tegak lurus ke arah jendela. Di luar, sebuah mobil terparkir di sisi jalan dengan lampu sorot menyala.

Junkyu sedikit terkejut, ketika menyadari bahwa dirinya tidak siap untuk pergi. Dia ingin tinggal lebih lama dan bicara dengan Asahi tentang Haruto. Setelah ini, entah kapan mereka punya kesempatan untuk bertemu lagi.

"Kita berteman, kalau begitu?" Junkyu bertanya, sekadar memastikan.

Asahi berdecak kesal."Kenapa masih bertanya?"

-----

Junkyu menerobos hujan dan memasuki mobil dengan terburu-buru. Dia membawa sebuah paper bag, yang lantas dia letakkan di kursi belakang.

Nyonya Kim memandang penasaran. Wanita itu menyadari putranya mengenakan pakaian yang berbeda. Kaos berwarna pastel yang tampak sesak di bagian pundak, dan celana senada yang terlalu pendek untuknya. Aroma tubuhnya, yang setajam kopi, kini menjadi lebih lembut. Seperti campuran kopi dan susu.

Biasanya, saat sang ibu menjemput Junkyu dari acara sekolah atau tempat-tempat dimana dia bertemu banyak orang. Anak itu akan mengeluh kalau dia merasa lelah, ingin segera pulang ke rumah, dan pergi tidur.

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang