Setelah berpamitan, Haruto meninggalkan kediaman Hamada dan berjalan menuju taksi yang menunggu di seberang jalan. Haruto memegang sepatunya di tangan, lengannya berayun, dan kakinya berjinjit cepat menuju pintu belakang yang terbuka.
Di dalam taksi, Nyonya Watanabe tertawa geli. "Kenapa Ruto-kun berjalan seperti itu?"
Haruto meletakkan sepatunya di lantai, merangkak menaiki jok belakang, dan duduk di samping ibunya.
"Oka-san!" Dia memeluk. "Selamat pagi!"
"Pagi, Sayang." Sang ibu mencium rambut putranya yang harum. "Kau sudah mandi?"
Haruto mengangguk, lalu berbalik sebentar untuk menutup pintu. Taksi mulai berjalan meninggalkan kompleks perumahan.
"Oka-san, aku boleh meminjam ponsel?"
"Untuk apa?"
"Temanku memberikan nomor ponselnya, aku ingin menyimpannya."
Nyonya Watanabe mengeluarkan ponsel dari tas. Wanita itu berpikir kalau teman yang dimaksud adalah Asahi, tapi bukankah mereka sudah menyimpan nomor ponsel Asahi?
"Apa Asahi mengganti nomor ponselnya?"
"Tidak," kata Haruto. Namun, dia tidak menjelaskan lebih lanjut.
Sebuah pertanyaan muncul di kepala wanita usia empat puluhan itu. Namun, dia urung bertanya dan hanya menyerahkan ponselnya kepada sang putra.
Lewat sudut matanya, ia melihat bagaimana Haruto segera membuka menu panggilan dan mulai memasukkan sederet angka. Untuk suatu alasan, sesekali dia akan menunduk dan melihat ke lantai taksi.
Koreksi. Bukan ke arah lantai. Lebih tepatnya ke arah kaki kanannya, yang telapaknya diwarnai tinta neon. Jemari kakinya menekuk, antara gugup dan gembira.
Ada senyum sendu yang merekah di wajah sang ibu. Dia tidak menyangka masa-masa itu akan datang begitu cepat. Putranya mungkin akan mulai memiliki rahasia-rahasia kecilnya sekarang. Akan ada hal-hal yang ingin dia simpan sendiri. Bukan karena dia tidak ingin berbagi. Dia hanya mulai dewasa.
"Dia menulisnya disana? Di telapak kakimu?"
"Eum." Haruto menjawab ragu. Kaki-kakinya merapat dan bergerak gelisah. "Iya."
Sang ibu memproses jawaban kecil itu sembari bergumam pelan. "Temanmu ini, dia punya cara yang unik untuk mendapatkan perhatianmu."
Ada pendar yang muncul di mata Haruto ketika dia menatap sang ibu. Dia bertanya dengan suara kecil. "Oka-san berpikir kalau dia mencoba melakukan itu? Mendapatkan perhatianku?"
Mungkin, di balik kepercayaan diri dan keberanian yang senantiasa ia pertontonkan. Ada petak kecil di hati Haruto yang senantiasa haus akan afirmasi. Sebuah celah di mana ia merasa kecil dan rendah. Waktu-waktu tidak terduga dimana ia perlu diyakinkan.
Haruto, terlepas dari segala hal yang membuatnya luar biasa, pada akhirnya hanyalah seorang anak remaja.
"Tentu saja," kata sang ibu, penuh keyakinan. "Semua orang menginginkan perhatianmu."
Jemarinya menyisir rambut Haruto, dan menepuk kepalanya penuh sayang. Suaranya merendah, seolah-olah yang akan dia katakan selanjutnya adalah sebuah rahasia.
"Terkadang mereka menunjukkannya dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Tapi, itu hanya sebagian kecilnya."
Ada jeda sebentar. Pandangan Sang Ibu jatuh pada deretan angka yang tampak kontras di kaki Haruto.
"Sebagian besar lainnya, menunjukkan perhatian dengan cara manis yang akan membuat hatimu berdebar."
-----
Ponsel yang diletakkan di meja dapur berdering singkat dengan notifikasi pesan masuk. Layarnya menyala, dengan gambar amplop yang terus berkedip.
Nyonya Watanabe hanya melihat sekilas. Pesan itu dari kontak yang disimpan dengan nama 'Hyung'. Wanita itu kembali meneruskan kegiatannya mencuci piring tanpa membuka isi pesannya.
Terbesit beberapa kali di pikirannya, untuk membeli satu lagi ponsel untuk digunakan putranya. Namun, Haruto tidak pernah meminta untuk memiliki ponselnya sendiri.
Daripada bertukar pesan, anak itu lebih sering menghubungi Asahi menggunakan telepon rumah. Dengan temannya yang lain, Park Jeongwoo, Haruto lebih sering bertukar pesan. Terlepas dari kenyataan bahwa sembilan puluh persen percakapan mereka berisi tentang pertanyaan dimana dan kapan mereka bisa bermain bersama.
Namun, beberapa hari yang lalu, saat sedang memeriksa kotak masuk, dirinya menyadari sebuah label percakapan baru telah muncul. Nyonya Watanabe tidak mencoba untuk membaca pesan-pesan itu, meski ia sangat penasaran. Fakta bahwa putranya meninggalkan riwayat percakapannya begitu saja untuk dilihat semua orang. Itu sudah lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa apapun yang dia bicarakan dengan teman-temannya, semuanya berada dalam kendali dan bersifat sewajarnya.
Kemudian, Sabtu sore, hampir dua minggu setelah sang ibu menjemputnya di kediaman Hamada. Haruto memberanikan diri untuk mengatakan kalau Hyung-nya akan berkunjung di hari Minggu.
Keduanya duduk di sofa, mengobrol sambil melipat pakaian. Respons ibunya cukup kasual, sedikit terlalu kasual, hingga Haruto menaruh curiga. Hanya sedikit, karena setelahnya rasa lega memenuhi dirinya. Berhari-hari ia menunda untuk menyampaikan hal ini. Sekarang, setelah mengatakan segalanya kepada sang ibu, pundaknya terasa ringan.
Nyonya Watanabe mengangguk antusias dan mengatakan, "Kita perlu berbelanja."
Jadi, Haruto, Airi, dan sang ibu, berjalan sejauh dua blok menuju supermarket terdekat. Begitu mereka sampai, Haruto langsung mengambil keranjang dorong. Ketika ia berbalik, adik perempuannya telah menghilang di balik rak-rak mainan. Tertinggal sang ibu yang berdiri di depan deretan showcase berisi buah-buahan.
Nyonya Watanabe mengeluarkan sebuah catatan kecil dari sakunya. Isinya adalah daftar kebutuhan rumah yang stoknya mulai menipis. Wanita itu berkeliling dan berhenti di rak-rak tertentu, Haruto mengekor di belakang sambil mendorong keranjang yang mulai terisi.
"Haruto-kun, menurutmu apa yang harus kita masak untuk hari Minggu?"
Mereka berdiri seraya memperhatikan deretan freezer berisi nugget dan aneka daging. Haruto tidak menjawab, dia tampak melamun sambil memandangi rak telur. Ketika sang ibu menarik lengannya, barulah ia tersadar. Remaja itu mengerjap bingung untuk beberapa saat.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya sang ibu.
"Entahlah," jawab Haruto. "Aku memikirkan apakah semua orang suka makanan Jepang?"
"Oka-san tidak begitu yakin soal itu. Tapi, sesuatu yang klasik seperti sushi, semua orang menyukai sushi, 'kan?"
"Bagaimana jika Junkyu Hyung tidak menyukainya?"
Ini pertama kalinya Haruto menyebutkan nama dari sosok misterius yang berencana mengunjungi kediaman mereka dalam waktu dekat.
Junkyu. Itu nama yang bagus.
Sepasang tangan keibuan menangkup wajah Haruto. Ibu jarinya menyapu kulit lembut, hidung mancung, dan rona merah jambu yang merebak di sepanjang tulang pipi.
Wanita itu bilang, "Jika datang, dia mungkin sama sekali tidak akan melihat makanannya."
Sang ibu tertawa kecil melihat ekspresi bingung di wajah putranya. Ia menjelaskan, "Hyung-mu itu, dia akan terlalu sibuk melihatmu."
"Kau tumbuh menjadi seseorang yang terlalu tampan, terlalu cantik, dan kadang-kadang terlalu baik. Itu membuat Oka-san khawatir."
Sang ibu mengetuk hidung putranya dengan jari telunjuk. Dia berpesan, "Jadilah sedikit nakal, eh? Kalau seseorang memukulmu, kau juga harus memukul mereka."
Dari ujung lorong, Airi datang berlarian dengan sebuah kotak berisi boneka di tangannya. Gadis kecil itu hendak meletakkan bonekanya ke dalam keranjang belanja. Haruto lalu, tanpa ragu, memukulnya.
"Aduh!" Airi mengelus lengan yang sebenarnya tidak sakit. Matanya melotot. "Kenapa aku dipukul?!"
-----
![](https://img.wattpad.com/cover/290879208-288-k415420.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.