"Lihat ini, cantik, 'kan?"
Junkyu berhenti di salah satu meja display di toko yang menjual aksesori. Jari telunjuknya mengarah pada sebuah ornamen berbentuk mawar dengan pita merah yang berkilau. Haruto, yang tengah melihat-lihat rak kalung, segera bergerak ke sisi Junkyu.
Ornamen yang dimaksud Junkyu memang terlihat cantik, Haruto harus mengakui itu.
"Tapi, apa ini?" tanya Haruto.
Mengambil ornamen yang menarik perhatiannya dari rak display, Junkyu lantas meletakkannya di sisi kepala Haruto, terselip di antara rambutnya.
"Jepit, mungkin?"
Haruto meraih tangan Junkyu. Keduanya punya jemari yang sama indahnya. Dia menunjukan jarum pengait di sisi bawah ornamen dan mengatakan. "Jepit tidak memiliki jarum seperti ini."
Seorang staff penjaga toko menjelaskan bahwa benda di tangan Junkyu adalah sebuah pin. "Biasanya digunakan di leher seperti dasi, atau disematkan pada jas untuk acara formal."
"Sangat cantik," kata Junkyu, lagi. Remaja itu sepertinya sangat menyukai pin itu. Matanya yang berbentuk kelopak sakura memandang Haruto. "Bagaimana menurutmu? Kau suka?"
"Itu bagus, tapi yang hitam kelihatannya lebih keren."
Ah, tentu saja. Haruto ada di usia dimana ia berpikir segala sesuatu yang keren harus berwarna hitam. Tadi, saat Junkyu bertanya t-shirt mana yang lebih bagus, Haruto juga menyarankan warna yang sama.
Junkyu mengangguk paham, dia pernah melewati masa-masa itu. Apakah Haruto akan tetap berpikir demikian di masa depan? Junkyu tidak sabar untuk mencari tahu.
"Tapi, karena aku sudah membeli baju yang berwarna hitam, aku akan mengambil pin yang merah."
Sepasang bahu Haruto terangkat. Dia membalas, santai. "Asalkan Hyung suka, terserah saja."
Setelahnya, Junkyu menemani Haruto bermain Dance Dance Revolution di arena Arcade.
Remaja berpostur tinggi itu berdiri di atas lantai LED yang berpendar warna-warni, sebelah tangan berpegangan pada pagar besi di belakangnya. Musik dengan ritme menghentak beradu dengan bunyi mesin capit dan voice over permainan balapan digital yang posisinya berdekatan dengan area DDR. Melodinya tumpang-tindih dengan percakapan orang asing yang berlalu-lalang dan bilik karaoke yang suaranya merembes keluar.
Junkyu memangku dua boneka koala yang dia menangkan dari mesin capit dan menonton Haruto.
"Kau punya ritme yang bagus!" seru Junkyu.
Untuk sesaat, Haruto mengalihkan pandangannya dari layar di depannya dan tersenyum pada Junkyu. Kakinya bergerak lincah, tidak lepas dari beat musik. Anak itu punya kepekaan tersendiri terhadap tempo, dan gerak refleks yang membuat Junkyu iri.
Menyenangkan dan pandai menari. Tidak pemalu, tidak juga haus perhatian. Haruto adalah seseorang yang sempurna untuk diajak pergi clubbing.
Ketika Haruto bertanya apakah Junkyu juga ingin mencoba bermain DDR, Junkyu segera menolaknya.
"Aku tidak begitu pandai menari," ungkap Junkyu. "Aku lebih suka menyanyi."
Sepasang matanya melebar. "Junkyu-hyung menyanyi?"
"Tentu."
Haruto melompat turun dari lantai DDR, menggandeng tangan Junkyu, dan menggiringnya menuju sektor karaoke di sisi lain pusat hiburan dengan penuh semangat. Mengantre sebentar di konter, seorang staff wanita yang tampak ramah memberikan dua cover mic sebelum mempersilahkan mereka untuk memilih ruang karaoke.

KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanficJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.