Asahi punya satu figura besar di ruang tengah rumahnya. Figura itu membingkai sebuah kolase raksasa. Ada potongan majalah, prangko, lembaran surat dengan tulisan berantakan, amplop, dan foto-foto terpisah dari dua anak laki-laki yang tampak tidak asing.
Haruto berdiri di antara Junkyu dan figura itu. Dia mencoba menutupi wajah-wajah anak laki-laki yang tersenyum ceria, tapi tangannya hanya ada dua, sedangkan ada banyak foto yang terpajang di sana.
Diam-diam berjinjit, Junkyu mengamati sebuah foto, di sudut atas kolase, yang tidak disembunyikan Haruto. Remaja itu bertanya-tanya, foto-foto siapa ini? Anak laki-laki yang berkacamata jelas adalah Asahi. Sedangkan anak yang satu lagi, Junkyu tidak begitu yakin, tapi bentuk mata dan senyumnya tampak familiar.
"Apa ini kau dan Asahi?"
Dari dalam kamar yang dibiarkan terbuka, Asahi menyahut. "Memangnya siapa lagi?"
Haruto tertawa ketika Junkyu, memanfaatkan tubuh yang lebih tinggi dan lebih kuat, berusaha menggesernya dari depan kolase. Kaki-kaki mereka yang berlapis kaos kaki membuat suara decit di lantai.
"Aku ingin melihat," kata Junkyu.
"Hyung, jangan. Aku malu!"
Sejurus kemudian, Haruto menyerah. Dia merosot ke lantai dan mulai melepas kaos kakinya yang basah. Sedangkan Junkyu, dia menikmati kemenangannya dengan memandangi kolase itu sepuasnya. Sayangnya, anak SMA itu tidak mengerti aksara Jepang, jadi ia tidak mengerti isi dari surat-surat yang diabadikan dalam figura.
Asahi keluar dari kamarnya dengan membawa dua setel pakaian ganti. Dia memberikan satu untuk Haruto. Anak itu mungkin terbiasa bermain di rumah Asahi dan menganggapnya sebagai rumah sendiri. Tanpa rasa canggung, dia mulai melepas pakaiannya.
Junkyu berkedip, dan segera berpaling. Mengusahakan agar matanya tidak beralih dari scrapbook raksasa di depannya.
Asahi, di balik air wajahnya yang senantiasa datar, rupanya merasa gemas. Dia mencubit pinggang Haruto.
"Aduh!"
Dua remaja keturunan Jepang itu saling pandang, mata mereka sama-sama menuduh. Haruto membuka mulutnya, tapi sang tuan rumah mendahului. Mata Asahi, dengan penuh makna, mengerling ke arah Junkyu.
Detik itu juga, Haruto ingat kalau ada orang lain di rumah ini. Memungut pakaiannya yang berceceran di lantai, dia segera masuk ke kamar Asahi dan mengunci pintu.
Udara lorong penuh dengan keheningan canggung. Asahi pura-pura batuk dan menyerahkan satu setel pakaian kepada Junkyu. "Kamar mandi ada di ujung lorong, sebelah kiri."
Junkyu menerima pakaian bernuansa pastel dari Asahi dengan gestur kikuk. "Terima kasih."
Keduanya saling membungkuk, lalu berdiri di sana seperti patung.
Asahi menggaruk keningnya yang tidak gatal. Kemudian, ia coba mencairkan suasana dengan melempar canda. "Ganti baju di tengah lorong juga tidak masalah."
Namun sayang, Asahi dan Junkyu punya selera humor yang berbeda. Guyonan remaja Osaka itu hanya masuk lewat telinga kanan Junkyu dan keluar lewat telinga kirinya.
"Hah?" Sosok yang lebih tinggi terheran-heran. "Apa katamu?"
-----
Mampir sejenak di kediaman Hamada, menurut Junkyu, terasa seperti sebuah wisata. Ada aura khas di ruang makan, yang membuat Junkyu merasa kalau dia sedang ada di negara yang berbeda. Mungkin, penyebabnya adalah corak-corak khas pada furnitur ruangan, atau lukisan samurai yang terpajang di dinding, atau meja berkaki pendek yang memiliki sistem penghangat.
Sambil menyesap kuah ramen dengan penuh semangat, Junkyu menimbang-nimbang dan memutuskan. Alasan sebenarnya mengapa suasana jadi terasa berbeda adalah dua orang yang duduk di sisi lain meja.
Asahi memasang raut wajah tidak suka ketika ia menemukan potongan tomat di mangkuknya. Lagi-lagi, potongan tomat itu diberikan kepada Haruto, yang membuka mulutnya lebar-lebar ketika disuapi.
Junkyu memupuk keberanian untuk memulai percakapan.
"Sejak kapan kalian saling kenal?""Aku dan Asahi sudah saling kenal sebelum kami pindah ke Korea," jawab Haruto.
Itu sama sekali tidak terbesit di pikiran Junkyu. "Oh, ya? Bagaimana kalian bertemu?"
"Kami tidak bertemu." Menyadari ekspresi bingung di wajah Junkyu, dia lantas menjelaskan. "Aku menemukan Asahi di majalah."
"Oh, apa Asahi-ssi seorang model kanak-kanak?" Junkyu bisa membayangkan Asahi sebagai model, dia sekilas seperti sosok yang fotogenik.
Asahi, yang belum selesai makan, menggeleng cepat.
"Ada sebuah majalah anak yang terbit di Jepang. Aku melihat foto Asahi di lembar volunteer. Hyung tahu program itu? Di mana kita bisa mengirim surat kepada anak-anak lain. Seperti sahabat pena?"
Junkyu mengangguk paham.
"Di foto itu, dia memakai kacamata bundar."
Telunjuk dan ibu jari Haruto menyatu, membuat sepasang lingkaran yang di
posisikan di mata. Seperti kacamata."Jadi, aku mengirim surat padanya untuk mengatakan kalau dia terlihat lucu."
Asahi, yang tengah menyesap secangkir teh, mendadak terbatuk. Ia buru-buru menurunkan cangkirnya.
Haruto bergeser dari meja dan menyamankan diri di karpet. Berbaring seperti itu, membuat tubuhnya terlihat lebih tinggi.
"Saat itu, Asahi masih tinggal di Osaka. Kami saling mengirim surat selama bertahun-tahun, tapi tidak pernah menyadari kalau ayah kami bekerja di perusahaan yang sama!"
Sambil mendengarkan, Junkyu mulai menumpuk mangkok kotor dan merapikan meja makan. Asahi pergi selama beberapa saat dan kembali dengan setumpuk bantal serta selimut yang ia lempar begitu saja ke arah Haruto.
"Kau belum menelepon ibumu," Asahi mengingatkan. Haruto buru-buru berdiri dan setengah berlari menuju meja telepon. Di tengah jalan, ia tidak sengaja menabrak Nyonya Hamada yang keluar dari kamar mandi. Keduanya tertawa geli dan berbagi pelukan singkat.
Asahi mengambil alih cerita. Dia membeberkan bagaimana ayahnya dipindahtugaskan ke Seoul, bagaimana ia kesulitan untuk beradaptasi, dan mempertimbangkan opsi untuk kembali ke Osaka dan tinggal bersama neneknya.
"Kemudian, secara tidak terduga, ayahnya," Asahi menunjuk Haruto, yang telah kembali dan sibuk memilih DVD. "juga dipindahtugaskan."
"Rasanya hampir seperti mimpi." Asahi mengulas senyum tipis, sarat melankoli. Dia menambahkan, "Aku terus berpikir kalau dia berbohong, sampai dia datang mengetuk pintu rumahku."
Itu cerita yang manis. Junkyu merasa sedikit cemburu. Matanya melirik kolase di ruang tengah, yang rupanya bukan sekadar kolase. Mereka adalah diorama. Ada dua anak kecil yang hidup abadi di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.