Anak Kecil Dalam Dirimu

349 46 6
                                    

Tiga porsi dakgangjeong yang baru saja digoreng, dikemas dalam karton, dan diletakkan di keranjang.

Junkyu mengayuh sepeda. Haruto duduk di kursi belakang dan berpegangan padanya. Keduanya melaju melalui jalan-jalan kecil yang tidak terlalu ramai. Haruto merentangkan tangan, ujung jarinya menyentuh bunga-bunga yuchae yang tumbuh liar di pinggir jalan.

Sesekali, sosok yang lebih muda akan memberitahu Junkyu jika dia harus berbelok. Haruto bertanggung jawab sebagai navigator.

"Junkyu-hyung dan Jihoon-hyung tidak pernah sekalipun berkomunikasi?" tanya Haruto, penasaran.

"Tidak sejak kami lulus SMP."

"Tidak pernah bertemu juga?"

"Baru hari ini."

"Hyung tidak punya nomor ponsel Jihoon-hyung?"

Junkyu menjelaskan kalau dia tidak biasa menyimpan nomor ponsel teman-temannya.

"Lalu? Bagaimana Hyung bisa menghubungi seseorang? Bagaimana jika itu situasi yang genting?"

"Jika itu benar-benar darurat, aku akan menghubungi orangtuaku. Bukankah semua anak pasti mengingat nomor ponsel orangtua mereka?"

"Bagaimana dengan teman-teman?" tanya Haruto. "Bukankah mereka juga penting?"

"Jika mereka cukup penting, aku seharusnya juga mengingat nomor ponsel mereka."

Untuk sesaat, Haruto cukup terkesan. Setidaknya sampai Junkyu mengungkapkan bahwa ia hanya menghapal empat nomor ponsel.

Sepasang matanya diliputi rasa sedih. Suara Haruto menipis ketika dia bertanya. "Junkyu-hyung tidak punya banyak teman, ya?"

"Tidak," jawab Junkyu. "Hanya Mashiho." Ada jeda sejenak. "Dan juga Jihoon, kurasa."

"Oh?"

Junkyu tidak menyebutkan namanya. Itu membuat Haruto sedikit kecewa. Pegangannya pada bagian belakang kaos yang dipakai Junkyu perlahan melemah dan lepas.

"Bagaimana denganmu?" tanya Junkyu.

Sibuk dengan kemelut di kepalanya, Haruto tidak begitu mendengar pertanyaan Junkyu. "Huh?"

"Bagaimana denganmu?" Junkyu mengulangi pertanyaannya. "Kau punya banyak teman?"

"Hyung sudah bertemu Asahi, kemudian Jeongwoo, lalu ada Yoshi-hyung dari kelas bahasa Korea." Haruto menyebutkan beberapa nama temannya.

"Saat home schooling, aku tidak keberatan jika tidak memiliki teman. Aku punya Airi, dia saudari sekaligus temanku."

Ada jeda sebentar, Haruto menginstruksikan agar Junkyu mengambil belokan ke kanan di persimpangan selanjutnya.

Dia melanjutkan kalimatnya. "Tapi sekarang, membayangkan tidak bisa bertemu Asahi atau Jeongwoo. Aku mungkin bisa gila."

Junkyu mengeluarkan bunyi dengung yang penasaran. "Begitukah?"

"Uh, huh." Haruto mengangguk. Dia menarik pelan kaos Junkyu. "Hyung."

"Hm?"

"Hyung adalah anak satu-satunya, 'kan? Hyung tidak pernah merasa kesepian?"

"Tidak juga," Junkyu menjawab ringan. Matanya melirik ke arah Haruto. "Kenapa? Apa aku terlihat kesepian?"

Haruto diam sebentar, memilah kata-katanya dengan hati-hati agar tidak membuat sosok yang lebih tua tersinggung.

"Meski sekilas terlihat seperti seseorang yang dingin dan tidak peduli. Aku rasa, Hyung adalah seseorang yang sensitif," tuturnya.

Haruto menengadah, memperlihatkan wajah gusarnya. Dia bercerita tentang Junkyu kepada langit-langit Kota Seoul.

Double Shots (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang