"Junkyu-ya, mau ke mana?"
"Keluar," jawab Junkyu, singkat.
Remaja itu duduk di lantai, fokus memasang tali sepatu. Di sampingnya, sebuah kunci motor tergeletak bersama ponsel, helm, dan jaket kulit--hadiah ulang tahun dari sang ayah, yang belum pernah Junkyu pakai sebelumnya.
"Menaiki motor? Bukankan ini sedikit terlambat untuk sunday morning ride?"
Junkyu menggeleng dan mengatakan kalau ia bukan keluar untuk sunmori. "Aku mungkin akan keluar sepanjang hari."
Nyonya Kim terheran-heran. "Tidak biasanya," gumamnya.
Junkyu memakai jaket dan helmnya, lalu berjalan menuju garasi. Dari belakang, sang ibu mengikuti. Kain parasut yang menutupi badan motor dibuka, menampakkan motor pabrikan Hyosung. Dengan hati-hati, Junkyu mendorong motor itu keluar melalui ruang kosong di antara mobil dan dinding garasi.
"Rasanya baru kemarin kita membelinya." Nyonya Kim bernostalgia. "Tidak terasa sudah hampir tiga tahun."
Sang ibu ingat bagaimana kaki-kaki Junkyu harus sedikit berjinjit saat pertama kali menaikinya. Sekarang, sepatu Junkyu dapat menapak dengan sempurna, tubuhnya menyangga beban motor dengan mudah.
"Eomma, aku pergi dulu." Junkyu menyalakan motornya. "Jangan tunggu aku."
"Sebentar, Junkyu-ya." Sang ibu menahan. "Katakan dulu kau mau pergi ke mana?"
Ketika menjawab, Junkyu bersikeras untuk tidak menatap mata ibunya. "Ke rumah temanku."
Dia tidak mencoba menjelaskan siapa teman yang dimaksud, atau di mana tempat tinggal mereka. Dia pergi, dan ibunya terus memandang hingga punggungnya menghilang di sudut jalan.
-----
Jarak antara Distrik Seocho ke Distrik Mapo sekitar empat belas kilometer. Jika Junkyu mau, dia bisa saja tiba dalam waktu singkat. Namun, alih-alih menjadi seorang pembalap, dia terlanjur tumbuh menjadi pengendara yang ekstra hati-hati.
Junkyu berhenti sebentar di Jembatan Mapo yang menghubungkan Distrik Yeongdeungpo dan Distrik Mapo. Ibunya bilang, kalau dulu jembatan ini bernama Jembatan Seoul. Untuk suatu alasan, namanya berganti menjadi Jembatan Mapo di tahun 1984.
Remaja itu berdiri di tepi jembatan dan berpegangan pada pagar kaca. Di bawah sana, Sungai Han yang mengalir deras seolah memanggilnya. Mungkin inilah alasan mengapa begitu banyak orang memutuskan untuk melompat dari jembatan. Bukan sekadar untuk mengakhiri hidup, tapi untuk menyatu dengan arus Sungai Han. Untuk bepergian jauh, ke tempat di mana mereka tidak merasakan sakit.
Ponselnya berdering singkat. Notifikasi pesan masuk. Dari teman kecilnya yang rupanya tidak sabaran. Hyung, jangan terlalu lama. Makanannya akan segera dingin.
Junkyu tertawa. Pikirannya terdistraksi dari gemericik Sungai Han yang rupanya lebih berbahaya dari yang dibayangkan.
-----
Ketika membuka pintu dan mendapati seorang pemuda tampan berdiri dan melambaikan tangan di teras rumahnya. Hal yang pertama kali dilakukan Airi adalah kembali menutup pintu, tepat di wajah sang tamu.
"Oka-san! Oka-san!" Anak perempuan itu berlarian ke dapur dengan wajah berseri dan berseru lantang. "Lee Jong Suk-ssi datang ke rumah kita!"
Nyonya Watanabe, yang tengah menata kudapan di piring saji, dibuat heran. "Lee Jong Suk-ssi? Lee Jong Suk yang seorang aktor itu?"
"Itu mungkin Junkyu-hyung," kata Haruto. Sesaat setelah mengatakan itu, ia segera pergi untuk memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.