Junkyu mondar-mandir di depan halte bus bersama orang-orang asing berwajah cemas. Dia berani bertaruh bahwa mereka ini memiliki tujuan yang sama, pergi ke Itaewon untuk menjemput kolega atau sekadar memastikan kenalan mereka baik-baik saja.
Berkali-kali Junkyu menelepon Asahi, meninggalkan pesan di KakaoTalk agar remaja itu segera menghubunginya. Setengah jam berlalu, dan belum ada respons. Matahari telah tenggelam sepenuhnya, tapi berita yang Junkyu dapat hanyalah update situasi Itaewon yang semakin memburuk.
Ketika remaja itu berbalik dan mendapati beberapa orang berjalan di trotoar dengan riasan menyeramkan, jantungnya nyaris copot. Junkyu lupa kalau ini adalah malam Halloween.
Dia menunggu taksi atau bus, apapun itu yang bisa mengantarnya ke Itaewon. Junkyu tidak bisa pulang untuk mengambil motor atau meminjam mobil milik sang ibu, wanita itu pasti akan melarangnya untuk pergi. Namun, kursus hari ini dipulangkan lebih awal, Junkyu punya waktu sekitar satu setengah jam sebelum ibunya bertanya-tanya soal keberadaannya.
Matanya menangkap sesuatu di kejauhan. Sebuah bus dengan kabin biru dari Distrik Yongsan. Itaewon adalah bagian dari Yongsan-gu. Ini adalah bus yang Junkyu tunggu.
Bus biru itu berhenti di sisi trotoar. Pintu kemudian terbuka. Seseorang yang familiar berdiri di sana.
"Sung Chani?" Mata Junkyu membulat melihat teman sekelasnya.
Sung Chani, dengan maskara yang luntur, kostum Phantom of The Opera yang lusuh, dan rambut berantakan, berlari menuruni bus. Gadis itu memeluk Junkyu dan menangis, sedang Junkyu membeku.
Ketika remaja laki-laki itu selesai dengan keterkejutannya, dia bahkan tidak perlu bertanya. Sung Chani meracau di telinganya, menceritakan semuanya.
"Itaewon sangat mengerikan, terlalu banyak orang yang terjebak di gang. Mereka ... mereka tidak bisa bernapas dan ...."
Junkyu tidak mendengar semua ucapan Sung Chani. Pikirannya berkabut, percakapannya dengan Haruto kembali terlintas di kepalanya.
Haruto dan Asahi pergi ke Itaewon untuk merayakan Halloween. Mereka mungkin saja terjebak dalam crowd crush yang tengah terjadi.
"Sung Chani, Sung Chani!" Junkyu mengguncang bahu gadis itu.
"N-ne?"
"Apa kau melihat Ruto di Itaewon?"
"Siapa?"
"Kau melihatku bersamanya tempo hari, kau ingat? Dia seharusnya memakai kostum Phantom of The Opera, sama sepertimu. Katakan, apa kau melihatnya?"
Gelengan lemah. "Aku ... aku tidak yakin," cicit gadis itu.
Junkyu mengerang frustrasi. Dia mondar-mandir sebentar di hadapan Sung Chani, kemudian nekat menaiki bus biru yang beberapa saat lalu ditumpangi gadis itu.
"Tunggu, Junkyu. Kau mau ke mana?" Sung Chani sedikit histeris. Matanya membulat sempurna.
"Ke Itaewon!" sahut Junkyu, setengah berteriak. Bus mulai melaju.
"Kau gila!" Sung Chani menjerit, dia mencoba mengejar bus dengan kaki yang masih gemetar. Itu sia-sia. "KIM JUNKYU!"
-----
Distrik Yongsan seperti sebuah set film psikologikal thriller atau dokumenter kerusuhan. Ada tubuh yang menggelepar di jalan, orang-orang yang berusaha melakukan resusitasi, dan lampu rotary dari ambulans yang terus berputar.
Junkyu awalnya tidak mengerti apa yang dia lihat. Situasi ini sedikit tidak masuk akal. Dari tempatnya berdiri di tepi jalan poros, dia melihat kerumunan orang yang tidak bergerak di kejauhan. Dari mulut gang, hingga jalan menanjak, tampak penuh sesak. Ketika dia berjalan mendekat, barulah dia mendengarnya, jeritan panik dan tangis putus asa. Orang-orang itu terjebak, terkompresi oleh sesamanya. Tidak bisa bergerak atau bernapas.
Tanpa sadar, Junkyu berjalan ke arah barikade di dekat Hotel Hamilton yang dipasang untuk menghalau massa. Seseorang dengan seragam polisi menghentikannya.
"Tolong berputar arah, kau tidak boleh mendekat."
Junkyu melihat, dengan mata kepala sendiri, bagaimana petugas mencoba untuk mengendalikan keramaian. Meneriakkan instruksi hingga wajah mereka merah dan berkeringat. Mereka tengah berada di puncak musim gugur, tapi situasi malam ini begitu panas. Kemudian, dia melihat seseorang memanjat tiang listrik dan properti, mencoba menyelamatkan diri.
"Teman-temanku, aku mencari mereka." Junkyu menjelaskan, mencoba untuk tetap tenang.
"Dan kami mencoba untuk menyelamatkan orang-orang ini. Tolong bertindak kooperatif dan bantu kami."
Junkyu terombang-ambing, di antara rasa cemasnya dan kepala yang sibuk mencari cara agar ia bisa menyelinap melewati barikade petugas kepolisian yang berjaga. Kemudian, dia mendengar samar bunyi ketukan kaca, yang seharusnya tidak mungkin dia dengar di antara lolong sirine dan teriakan putus asa.
Remaja itu menoleh ke seberang jalan, melihat billboard restoran yang lampunya terus berkedip, dan mendapati dua sosok familiar yang mencoba menarik perhatiannya di balik dinding kaca.
-----
Junkyu memeluk Haruto erat, menghirup harum rambut dan tubuhnya. "Aku sangat khawatir," katanya.
Asahi bergerak gelisah, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jas, mengeluarkannya, lalu memasukkannya kembali. Matanya yang penuh rasa bersalah, enggan menatap Junkyu atau Haruto.
Dia tampak menyedihkan dengan riasan badut yang setengah luntur, jadi Junkyu juga memeluknya.
"Aku sangat lega." Junkyu perlahan melepas pelukannya. "Kalian berdua baik-baik saja?"
"Kami baik-baik saja, seperti yang kau lihat," kata Asahi.
Haruto mengangguk. "Asahi memutuskan untuk pergi lebih awal karena gangnya terlalu ramai. Kami pergi tepat waktu, sebelum situasi berubah menjadi tidak terkendali."
Junkyu bertanya pada Asahi. "Kau tidak membawa ponselmu? Aku menelepon beberapa kali."
Sebagai jawaban, Asahi menunjukkan ponselnya. Layarnya benar-benar hancur karena jatuh terinjak-injak. Ponsel itu masih menyala, tapi LCD-nya yang rusak tidak merespon saat disentuh.
Ketiganya duduk di satu sofa di sebuah restoran, pemiliknya berinisiatif untuk mengunci pintu utama setelah mengetahui situasi genting yang terjadi, tapi membiarkan pelanggan menetap di dalam restoran sampai mereka siap untuk pergi. Televisi di sudut ruangan menyiarkan berita tentang crowd crush yang terjadi, dan angka korban berjatuhan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Memikirkan bagaimana Haruto dan Asahi hampir menjadi salah satu dari mereka, membuat bulu-bulu halus di tengkuk Junkyu meremang.
Haruto membantu Asahi menghapus cat di wajahnya dengan tisu makan yang dia celupkan ke dalam gelas air mineral.
Perayaan halloween tahun ini telah berubah menjadi mimpi buruk. Junkyu mendengar suara sirine yang seolah tanpa henti. Itaewon yang terkenal sebagai distrik hiburan dan tempat bersenang-senang dalam sekejap berubah menjadi rumah hantu.
Besok, akan ada ratusan hantu baru yang lahir di Itaewon.
Asahi menghubungi orang tuanya melalui ponsel Junkyu, dengan suara bergetar meminta untuk segera dijemput. Haruto terus melihat televisi, tangannya yang dingin ada di genggaman Junkyu.
"Trick or treat," kata Junkyu, mencoba menghibur kedua remaja itu. Tangannya memegang dua bungkus Kit Kat.
Haruto tersenyum, matanya seperti gelas kaca. "Treat!"
Asahi mendengkus, dan menyambar salah satu batang Kit Kat tanpa sepatah kata. Di lain kesempatan, Junkyu mungkin akan bersikap menyebalkan dan menjauhkan Kit Kat itu dari jangkauan Asahi, tapi tidak hari ini.
Mereka bisa bercanda besok, asalkan bukan hari ini.
Junkyu tidak melepaskan pandangannya dari Haruto sampai dia menghabiskan Kit Kat-nya. Asupan gula dan rasa manisnya memberikan warna pada pipinya yang pucat.
Setengah jam setelahnya, mereka pergi meninggalkan Itaewon.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.