"Mau sampai kapan berdiri di sana?" tanya Junkyu.
Bagi Haruto, nada bicaranya terdengar ketus dan tidak senang. Itu membuatnya takut. Siswa SMP itu patuh, segera duduk. Tubuhnya meringkuk, berusaha menjadi sekecil mungkin.
Takut-takut, matanya melirik Junkyu. Ketika remaja yang beberapa tahun lebih tua darinya itu hanya diam menatapnya, Haruto menjadi resah.
"Kau tidak punya sesuatu untuk dikatakan?" tanya Junkyu.
Dorongan kecil itu dengan cepat membuat Haruto ingat akan alasan lain mengapa ia kemari. Anak itu merutuki diri dan refleks memukul keningnya sendiri. Haruto tidak melihat, tapi tangan Junkyu sudah sedikit terangkat, mencoba untuk menghentikannya.
"H-hyung!" Haruto sedikit tergagap. "Terima kasih sudah menghentikan busnya. Tanpa bantuanmu, aku dan Jeongwoo-ya mungkin harus berjalan kaki sampai ke Mapo-gu."
Haruto membungkuk sembilan puluh derajat ke arah remaja yang lebih tua, tapi jarak yang sempit di antara mereka membuat kepalanya berakhir di pangkuan Junkyu dan hidung mancungnya terbentur lutut anak SMA itu.
"Aduh!"
Haruto mengaduh, menegakkan punggung, dan mengelus hidungnya yang memerah. Antara rasa malu atau rasa sakit, entah mana yang membuat matanya berkaca-kaca. Mungkin alasannya adalah Junkyu, yang irit reaksi, seolah tidak peduli.
"Itu saja?" Katanya, dengan ekspresi tidak puas.
"Ma-maaf!" cicit Haruto.
"Maaf untuk apa?"
Gugup, Haruto menarik-narik benang merah di pergelangan tangannya, mengumpulkan keberanian untuk bicara. Itu gestur yang tidak lepas dari pengamatan Junkyu.
Remaja dengan hanbok biru berbisik. "Untuk waktu itu ... saat turun dari bus."
Junkyu hanya tersenyum miring. "Kurasa, masing-masing dari kita punya alasan untuk meminta maaf, huh?"
Haruto, untuk sepersekian detik yang sangat tidak nyaman, merasa kata-kata Junkyu seolah mencambuknya. Rasa malu, marah, dan sedih menjadi satu. Rasanya, dia ingin kembali ke belakang, dan duduk bersama Jeongwoo.
"Tidak perlu minta maaf." Remaja bermarga Kim memandang lurus ke depan. "Tidak ada satupun dari kita yang terluka karena kejadian itu."
Sepasang mata berbentuk almond melirik penuh harap. "Jadi, Hyung memaafkan aku?"
"Bukankah itu sudah jelas?"
Ucapan itu membuat tali kusut di kepala Haruto terurai dengan sendirinya. Yang tersisa tinggal rasa penasaran.
Haruto bertanya, "Kenapa Hyung membantuku?"
"Jangan mengkhawatirkan hal-hal semacam itu," balas Junkyu. Dia melipat tangannya di depan dada.
"Tapi kenapa? Kita hanya dua orang yang tidak saling kenal. Akan lebih masuk akal kalau Hyung tidak melakukannya."
Terus diberondong pertanyaan, Junkyu berdecak kesal. "Kita memang dua orang yang tidak saling kenal."
Remaja usia delapan belas tahun itu memandang lawan bicaranya tepat di mata. "Akan lebih masuk akal jika hari itu kau mengabaikan aku, tapi, kau tidak melakukannya."
Junkyu mendekatkan wajahnya ke arah Haruto, membuat anak itu merangsak mundur hingga bagian belakang kepalanya menempel pada punggung kursi. Sampai di situ, Junkyu tidak berhenti, dia terus mendekat. Sangat dekat.
Peringatan sang ibu, bahwa ia tidak boleh mencium siapapun lagi, sebelum memperkenalkan mereka kepada keluarga, terngiang di kepala Haruto.
"Hyung--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Double Shots (END)
FanfictionJunkyu adalah seorang Alpha. Haruto--yang masih belia--tidak mungkin bermanifestasi sebagai apapun kecuali Alpha. Masalahnya, Junkyu tidak bisa lepas dari gravitasi seorang Haruto Watanabe.