Bab 3. Bantuan Berbahaya

33.1K 2.6K 391
                                    

Berhubung ini malam Minggu, Momi kasih bonus update deh buat kalian meski belum rame. Bilang apa ke Momi?
.
.
.
Sudah siap baper? Balas lewat emot di sini.
.
.
.
Jangan lupa vote dulu sebelum baca, biar gak lupa dan makin cepet update bab selanjutnya.

.


.
Komen di setiap paragraf yang menurut kalian gemeeessinnnnnn.
.
.
.
Dan kenalin ini Bang Buaya aka Jevan, kasih emot yang mewakili perasaan kalian ke Bang Jevan ...

Dan kenalin ini Bang Buaya aka Jevan, kasih emot yang mewakili perasaan kalian ke Bang Jevan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Jevan baru selesai mandi ketika suara ketukan pintu terdengar. Diambilnya handuk yang tadi dilempar ke kasur, lalu kembali melilitnya di pinggang. Dia tidak ingin membuat orang yang mengetuk pintu menunggu terlalu lama. Saat pintu dibuka, Blaire berdiri dengan wajah datar. Di tangan wanita itu ada kotak P3K. Jevan sudah paham maksudnya hingga tanpa bicara dia menggeser posisinya agar Blaire bisa masuk.

Blaire duduk di sofa bed, menunggu Jevan yang sedang memakai celana pendek. Dibukanya kotak obat itu dan mengeluarkan satu persatu peralatan yang akan digunakan.

"Kenapa belum tidur?" tanya Jevan. Dia sudah duduk di samping Blaire.

"Menurut Lo, gue bisa tidur nyenyak setelah kejadian tadi?" sinis Blaire.

"Nggak usah dipikirin omongan dia," hibur Jevan, walau tau itu terdengar seperti tong kosong, makanya Blaire tersenyum sinis.

Blaire memencet salep berbentuk gel ke ujung jarinya. Lalu menarik wajah Jevan agar lebih dekat, cukup kasar sampai pria itu meringis.

"Pelan-pelan kali, bukannya sembuh malah tambah memar muka gue." Jevan mengatupkan bibirnya ketika mata tajam Blaire menghunus.

Blaire mengolesi setiap memar pada wajah Jevan secara merata. Terakhir di sudut bibir, membuatnya teringat kembali pada ciuman pertamanya dengan pria ini. Rasa hangat merayap di perutnya, efek dari kenangan lama yang ternyata belum sepenuhnya dilupakan. Shit!

"Aw!" Jevan mengaduh ketika dengan sengaja Blaire menekan bibirnya itu. "Bagus Lo nggak jadi perawat, bisa mati semua pasien di tangan Lo."

Blaire hanya mencebik. "Bagian mana lagi yang perlu ditonjok?" tanyanya.

Jevan terkekeh. "Galak amat sih, Non. Inget, gue udah bantuin Lo. Perhatian dikit dong, dirawat dengan penuh kelembutan," godanya.

"Nggak ada yang minta bantuan Lo." Blaire tidak akan berterima kasih. "Ini gue obati juga terpaksa, jangan ge-er."

Lagi-lagi Jevan terkekeh. "Oke ..." Lalu mengalah. Dibukanya kaus oblong warna putih itu, memamerkan susunan rapi dari otot-otot perutnya.

Blaire tidak gampang histeris melihat itu, karena otak dan hatinya sudah dilatih untuk tahan godaan sejak lama. Terdapat memar di bagian kiri bawah tulang rusuk Jevan. "Kayaknya harus dikompres kalau ini. Punya es nggak?" tanyanya.

Sweet JealousyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang