Komen mulai sepi nih, jadi update sekarang hanya akan 1 Minggu sekali aja ya. Bingung sama sider, padahal nulis sepanjang ini jauh lebih capek dibanding sekedar komen dikit (Momi ngambek).
***
Dokter akhirnya menyarankan Ceysa untuk dirawat di rumah sakit, karena trombositnya sangat rendah. Awalnya wanita itu menolak, tapi setelah Jevan membujuknya, barulah dia mau. Itu pun dengan syarat, kalau tidak boleh ada yang meninggalkannya meski satu detik pun. Untuk itu, ke-empat sahabatnya akan bekerjasama secara bergantian, untuk menjaganya. Ceysa tidak punya siapapun di kota ini, dan dia juga melarang mengabari papinya yang sudah memiliki istri baru.
"Akhirnya dia bisa tidur juga," desah Blaire. Dia benar-benar kasihan pada Ceysa yang terlihat cemas berlebihan saat masuk ke kamar pasien, sampai tangannya terus digenggam dan takut ditinggalkan.
"Efek obatnya udah bekerja." Jevan memegang kening Ceysa, "suhunya masih tinggi."
Blaire menatap Ceysa lekat.
"Kamu juga istirahat, biar aku yang jaga," suruh Jevan.
"Aku nggak apa-apa," tolak Blaire.
"Jangan bandel. Semalem kamu udah kurang tidur, jangan sampai ikutan sakit. Istirahat dulu," paksa Jevan sembari menggandeng Blaire untuk berbaring di sofa bed.
Jevan sengaja memilih kamar super VVIP untuk Ceysa demi kenyamanan bersama. Fasilitasnya lengkap untuk yang menjaga pasien, ada bed khusus untuk yang jaga dan sofa bed. Kamar mandi sudah dilengkapi water heater, dengan peralatan mandi yang cukup lengkap. Pendingin ruangan sudah pasti, ditambah televisi, water dispenser dan beragam fasilitas lain. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah mereka diizinkan jaga berempat sekaligus saat malam hari.
"Udah, sekarang kamu juga tidur. Aku jagain kalian di sini," suruh Jevan.
Blaire mendesah, "Maksa banget sih nyuruh aku tidur. Emangnya kamu nggak capek gitu? Kamu juga, kan, sama kurang tidur semaleman. Nanti sakit juga gimana?"
Jevan bukannya menjawab, malah menaikkan satu lututnya ke atas sofa dan membungkuk di atas Blaire. Lalu melumat bibirnya. Setelah wanita itu terengah-engah kehabisan napas, baru dia berhenti. "Aku udah minum multivitamin dari bibir kamu, jadi nggak akan sakit," kekehnya.
Blaire hanya mendesah.
"Tidur sana," suruh Jevan lagi.
Blaire pun mengangguk. Lama-lama dia mulai mengantuk. Sofa bed yang nyaman, suhu yang pas, ditambah usapan lembut Jevan di kepalanya itu membuat matanya perlahan terpejam.
Jevan tersenyum setelah Blaire mulai lelap. Diciumnya kening wanita itu. Dia pun beralih duduk di kursi dekat ranjang Ceysa, menepati janji kalau tidak akan ke mana-mana. Takutnya Ceysa bangun, lantas panik karena melihat tidak ada siapapun di dekatnya.
Ponsel Jevan berbunyi ...
"Halo Nyx," sapanya.
"Je, gimana keadaan Ceysa? Ini Allura nanya, kita perlu ke sana nggak?"
"Ceysa lagi tidur, habis minum obat tadi. Nggak perlu sih kalian ke sini sekarang, kelarin aja kerjaan dulu," suruh Jevan.
"Syukurlah kalau gitu. Kita emang lagi ada kerjaan sih ini, ketemu klien baru. Habis itu baru deh kita ke sana."
"Oke kalau gitu."
"Ya udah Je, kabarin kalau ada apa-apa."
"Sip."
Jevan menaruh ponselnya ke saku celana. Saat menoleh pada Ceysa, ternyata wanita itu sudah bangun. "Loh, kok bangun sih? Tidur lagi aja. Kata dokter, kan, Lo harus banyak istirahat," ucapnya begitu perhatian.
"Makasih ya Je," ucap Ceysa dengan tatapan sendu.
"Makasih kenapa?"
"Lo selalu ada di saat-saat terburuk gue."
"Ya ampun Cey, nggak perlu bilang terima kasih untuk hal yang emang seharusnya kita lakuin sebagai temen. Lo itu temen gue, jadi sudah menjadi kewajiban gue bantuin Lo," sahut Jevan.
"Iya. Temen." Ceysa tersenyum kaku.
Jevan balas tersenyum.
***
Malamnya, Allura dan Onyx datang membawakan pakaian ganti untuk Jevan dan Blaire. Kondisi Ceysa masih sama, demam tinggi hingga beberapa kali menggigil. Seharian Jevan dan Blaire bekerjasama merawatnya. Bila Ceysa butuh ke kamar mandi, Blaire yang akan turun tangan. Saat wanita itu susah makan, maka hanya Jevan yang bisa mengatasinya.
"Seumur-umur baru kali ini lihat Lo sakit yang sampai harus di-opname. Bikin khawatir aja tau nggak," omel Allura.
"Gue malah nggak kepengen nginep di sini. Mereka aja nih yang maksa," sahut Ceysa menyalahkan Jevan dan Blaire.
"Heh, itu dokter yang nyuruh. Dokter nggak akan nyuruh opname kalau sakit Lo nggak parah," balas Blaire.
"Sabar Non, sabar." Allura mengelus punggung Blaire, lalu tertawa geli. Dia sebenarnya senang berada di sini, jadi seperti punya suasana baru. Bosan di rumah terus. "By the way Je, bisa kali akhir tahun kita liburan?" tanyanya.
Jevan yang sedang sibuk dengan ponsel pun memandang Allura sejenak, "Bisa aja kalau target tercapai kayak tahun lalu," jawabnya.
"Reward kali ini jalan-jalan ke mana, Je?" tanya Allura lebih antusias. Dia yakin target pasti tercapai, karena sisa sedikit lagi.
"Dengar-dengar sih Bali," jawab Jevan.
"Yes!" Allura begitu senangnya. "Gila, lama nggak ke pantai. Akhirnya gue bisa kembali ke habitat."
"Emang dulu kamu kerang, Sayang?" ledek Onyx.
"Ihhh, bagusan kek Duyung. Ngeledek kok Kerang," protes Allura, membuat Ceysa dan Blaire tertawa.
"Makanya Cey, Lo harus sembuh. Kita tinggal satu bulan lagi loh ini," dorong Allura.
"Iya tenang aja." Ceysa mengesah.
Jevan mencolek pundak Blaire. "Kita makan yuk!" ajaknya. Perutnya sudah lapar, ingin makan tapi tadi masih menunggu kedatangan dua lainnya agar Ceysa tidak sendirian. Bisa saja dia ke kantin sendirian, tapi tidak yakin Blaire akan makan kalau tidak ditemani.
"Eh iya kalian belum makan malam loh. Makan gih sana Bi sama Jevan," suruh Ceysa. Dia tidak merasa takut karena sudah ada Onyx dan Allura.
"Ya udah, kita makan bentar ya?" pamit Blaire.
Jevan mengambil kunci mobilnya, dan lalu tanpa sadar menggandeng Blaire. Namun karena refleks Blaire melepaskan tangannya cukup cepat, jadi tidak ada yang menyadarinya.
"Mau makan di mana?" tanya Blaire setelah sampai di luar kamar.
"Cari restoran enak di luar aja. Kita harus makan yang banyak biar nggak sakit dan punya tenaga." Jevan kembali menggandeng Blaire, tapi kali ini tidak dilepas oleh wanita itu.
"Kasihan ya Ceysa. Aku tau dia selalu tegang kalau dokter atau perawat dateng. Dia masih cemas," ujar Blaire.
"Iya, aku juga bisa lihat."
"Tapi salut deh, bisa-bisanya kamu bikin dia selalu tenang dan nurut. Itu kira-kira pake ilmu apa?" ledek Blaire.
"Nggak perlu pake ilmu kali. Kamu aja kalau lagi sama aku bisa tenang dan nurut, kan?" kekeh Jevan. Dia balas merangkul Blaire, tapi tangan tetap saling bertaut.
"Beda cerita. Ceysa itu dulu ke kamu, kan, anti banget. Kamu duduk terlalu dekat aja, dia alergi." Blaire tertawa.
"Mungkin karena sekarang dia sadar aku nggak seburuk yang dikira selama ini." Jevan menaik-turunkan alisnya.
"Hati-hati loh Je, nanti Ceysa malah suka sama kamu."
Jevan terdiam.
Seakan tahu.
***
Sampai ketemu Sabtu depan lagi, tapi kalau Momi inget ya 😌
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Jealousy
RomanceWarning: Khusus 18+ bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai usia ya. Blaire dikhianati oleh kekasihnya, lalu menerima bantuan Jevan untuk balas dendam dengan cara yang berkelas. Tapi Blaire lupa kalau Jevan justru lebih brengsek. Ibaratnya, keluar...