Blaire tidak berselera makan pagi ini, sebab omelan Oma tadi membuatnya kenyang. Tidak bisa dipungkiri, mood jadi sangat buruk gara-gara itu. Meski rasanya ingin kembali ke kamar saja, tapi pasti akan menambah masalah. Blaire pun bertahan di sana.
"Ini siapa yang masak, Ma? Enak. Aku udah lama nggak makan sop buntut," tanya Jevan.
"Yang pasti bukan istri kamu. Dia saja baru ke dapur setelah semua selesai dimasak," sahut Oma menyindir.
Imelda melirik suaminya.
Sang suami langsung tertawa untuk mencairkan suasana. "Tapi yang pasti bukan Mama juga, kan, yang masak? Soalnya kalau Mama yang masak, ini pasti asin," ledeknya.
"Kamu ngejek Mama?" ketus Oma.
Imelda mengulum senyum. Dia jadi teringat terakhir kali makan masakan ibu mertuanya itu, rasanya sangat asin. Penyebabnya bukan karena Ibu suaminya itu tidak bisa memasak, tapi lantaran usia yang membuatnya pikun sehingga memasukkan garam berkali-kali.
Jevan ikut mengulum senyum.
Blaire hanya diam, mengaduk-aduk makanannya tanpa dimakan. Humor jenis apapun tidak akan memperbaiki mood-nya yang terlanjur hancur.
"Kamu kenapa kok diem aja?" tanya Jevan setengah berbisik.
Blaire hanya menggeleng.
Imelda melirik Blaire dan Jevan, lalu merasa cemas. Dia sangat mengerti bagaimana perasaan Blaire, karena saat awal-awal tinggal dengan ibu mertuanya itu, rasanya seperti ingin kabur saja. Apapun yang dilakukannya pasti selalu dianggap salah. Setiap hari telinganya panas mendengar ceramah soal mana yang wajib dilakukan seorang istri.
Jevan memegang tangan Blaire dari bawah meja, tapi ditepis oleh wanita itu. Dia pun semakin bingung kenapa Blaire bersikap seperti ini. "Kamu kenapa sih?" tanyanya lagi.
"Biasakan jangan mengobrol di saat sedang makan," cetus Oma.
Jevan pun kembali fokus makan. Dia tidak dekat dengan Oma tirinya itu, malah sangat jarang bertegur sapa saat sedang main ke rumah ini.
Setelah selesai sarapan, Blaire masih di dapur mencuci piring kotor. Dia tidak keberatan bila harus melakukan pekerjaan rumah, tapi yang membuat kesal itu saat Oma masih mengomel seperti sekarang.
"Kamu itu sebenarnya belum siap jadi ibu rumah tangga, masih harus banyak belajar. Lihat ini, piringnya masih licin." Oma dengan kasar menyerobot tempat Blaire, memberi contoh cara mencuci piring dengan benar. "Gosok yang kuat, biar bersih. Makanya kuku dipotong, jadi kalau kerja nggak manja."
"Iya Oma," sahut Blaire mengalah.
"Tapi kamu bisa makan, kan?" tanya Oma menatap Blaire lekat.
"Masih belajar Oma," jujur Blaire. Dia tidak mau asal bicara, karena bila Oma memintanya masak maka akan ketahuan kalau berbohong.
"Jadi nggak bisa?" Oma terlihat kaget.
Blaire menggeleng.
"Ya ampun, kamu nggak bisa masak, tapi sudah berani ambil keputusan menikah? Memangnya suami kamu mau dikasih makan apa?" Oma mulai ceramah lagi. "Kasihan suami kamu kalau harus gaji pembantu, padahal itu tugas dan kewajiban istri."
Dalam hati Blaire menjawab, zaman sekarang makan tinggal buka aplikasi online dan duduk manis di rumah.
"Kalau begitu kamu harus tinggal di sini lebih lama. Belajar dari Oma atau Ibu mertua kamu," putus Oma tanpa meminta pendapat Blaire. "Apa kata leluhur, keturunanku ada yang nggak bisa masak," gerutunya.
"Maaf Oma, tapi aku punya toko yang harus diurus di Jakarta. Jevan juga harus kerja. Kita nggak bisa tinggal di sini," tolak Blaire dengan lembut.
"Zaman sudah edan. Kamu nggak bisa masak, tapi lebih ngutamain kerjaan di luar rumah. Jevan sangat sial dapet istri yang begini," ejek Oma.
"Oma salah, justru aku merasa sangat beruntung punya istri yang modern. Ketimbang fokus masak atau ngurus rumah, aku lebih suka dia fokus ke aku aja." Tiba-tiba Jevan datang dan menyela omongan Oma.
"Baru menikah ngomongnya emang gitu, coba aja nanti kalau udah lama. Percaya sama Oma, kamu nggak akan betah." Oma mencebik.
Jevan tersenyum, tapi sarat emosi. Dia lantas memeluk Blaire dari belakang. "Aku baru akan menyesal kalau nanti istri aku nggak bisa menghargai cucu menantunya," sindirnya.
Blaire terkejut Jevan bicara seperti itu pada sang Oma, tapi sekaligus senang karena ternyata suaminya itu membelanya.
Wajah Oma sontak memerah. "Mel, ajarin anak kamu ini sopan santun!" hardiknya sembari ke luar dari dapur.
Jevan mendesah. "Udah tua bukannya banyak dzikir, malah sibuk ngurusin orang," omelnya.
"Heh!" Blaire memukul perut Jevan.
"Kesel abisnya lihat kamu digituin." Jevan ternyata sudah menguping sejak awal Blaire diomeli oleh Oma. Itu berkat Mamanya yang mengadu kalau Blaire tadi pagi dimarahi oleh Oma, jadi dia memeriksanya sendiri.
"Tapi tetep aja kamu nggak boleh bersikap kasar sama orang yang lebih tua. Gimanapun Oma itu mertuanya Mama kamu, jangan bikin masalah yang nantinya merugikan Mama."
Jevan memeluk Blaire dari belakang. "Kita pulang ke Jakarta hari ini," ucapnya.
"Pulang? Bukannya lima hari lagi?" tanya Blaire kaget.
"Aku nggak mau kamu dijahatin Oma di sini, jadi mending aku bawa pulang aja. Lagian Mama yang nyuruh kok, katanya kita pulang aja biar aman," beritahu Jevan.
"Emang nggak papa?"
"Ya nggak papa. Bilang aja kita punya urusan mendesak di Jakarta," jawab Jevan.
Blaire merapatkan tangan Jevan agar lebih erat memeluknya. "Makasih ya, Je, kamu ternyata lebih belain aku," ucapnya.
"Bi, kamu itu istri aku. Jelas udah jadi kewajiban aku buat lindungi kamu." Jevan mencium puncak kepala Blaire.
Blaire tersenyum senang.
"Ehm, pengantin baru mesra-mesraan di dapur bikin iri aja," goda Imelda dengan senyum jahil.
Blaire melepaskan pelukan Jevan dan menggaruk kepalanya, malu. "Mama, makasih ya," ucapnya sembari memeluk ibu mertuanya itu.
"Loh loh, makasih buat apa sayang? Emang Mama ngelakuin apa?" tanya Imelda.
"Mama udah belain aku, malah nanti Mama yang dapet masalah." Blaire mengurai pelukan.
"Kalau Mama udah biasa, jadi nggak akan diambil hati lagi. Kamu nggak usah khawatir." Imelda tersenyum.
"Tapi aku nggak papa kok Ma di sini dulu lima hari lagi. Kan, udah janji ke Mama buat nginep seminggu." Blaire meyakinkan.
"Jangan, kasihan kamu kalau tetap di sini. Mama udah seneng banget kamu jadi menantu Mama, karena Jevan jadi lebih baik lagi sejak sama kamu." Imelda memegang tangan Blaire. "Makasih ya Bi, berkat Jevan nggak menjauh lagi dari Mama."
Blaire melirik Jevan dan tersenyum.
Jevan memeluk kedua wanita yang disayanginya itu.
"Inget pesen Mama ya Je, jadikan Bi prioritas utama kamu. Jangan kamu sakiti hatinya, apalagi fisiknya. Kalau kamu berani macam-macam, Mama yang akan hadapi kamu," ancam Imelda.
Jevan tertawa. "Mama tenang aja, dia jauh lebih galak kok. Nggak berani aku macem-macem," ledeknya.
"Ih apaan, aku lemah lembut gini kok dibilang galak," tepis Blaire.
"Mama percaya nggak dia pernah nampar aku kenceng banget," tambah Jevan.
"Oh ya?" Imelda tertawa geli.
"Itu karena dia selingkuh, Ma."
***
Pantengin terus ya gaes, season 2 akan segera meluncur 🤌🤌
BTW mulai skr kalau komennya di bawah 500, Momi updatenya gak akan cepet-cepet ya.
Minimal kalian tau, nulis itu capek Shay, cuma ngetik komen doang bisalah yaaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Jealousy
RomanceWarning: Khusus 18+ bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai usia ya. Blaire dikhianati oleh kekasihnya, lalu menerima bantuan Jevan untuk balas dendam dengan cara yang berkelas. Tapi Blaire lupa kalau Jevan justru lebih brengsek. Ibaratnya, keluar...