Jevan kembali ke ruang tamu, duduk di lesehan tepat belakang Blaire. Dia lingkarkan tangan ke leher wanita itu sehingga bersandar di dadanya. Lalu dengan santainya, dia mencium pipi Blaire sebelum akhirnya menaruh dagu di pundaknya. Semua yang ada di sana melihat penuh tanya, karena selama ini Jevan dan Blaire tidak pernah menunjukkan kalau mereka punya hubungan.
Blaire tadinya berniat menghindar, namun kemudian berpikir mau sampai kapan sembunyi-sembunyi? Dia pun diam saja, malah terlihat sangat nyaman bersandar di dada bidang pria itu. Sementara ini dia belum terlalu gugup karena Ceysa belum terlihat.
"Ehm, apaan nih maksudnya pamer kemesraan?" sindir Allura. Dia senang bila memang Jevan dan Blaire akan go public.
Jevan terkekeh di telinga Blaire, tidak menjawab dengan kata-kata tetapi melalui bahasa tubuh. Setiap kecupan yang pria itu labuhkan di pipi Blaire sudah lebih dari menjawab.
"Kalian pacaran?" tanya Serly serius. Sejujurnya sudah menjadi rahasia umum kalau Serly suka sama Jevan sejak dulu, namun tidak pernah mendapat respons.
Jevan dan Blaire lagi-lagi hanya tersenyum.
"Berarti yang Lo cerita ke gue lihat Pak bos sama Blaire lagi ciuman itu bener?" tanya Gusti pada Dimas.
"Ha, serius?!" Serly dan Andin makin kaget.
"Ya iyalah. Lo aja nggak percaya. Dua kali gue lihat mereka lagi ciuman," sahut Dimas.
"Anjir," Viko menyeringai. "Bukannya nggak boleh pacaran satu tim? Kirain cuma Allura sama Onyx aja, taunya bos kita sendiri." Dia menggeleng.
Blaire meringis.
"Kalau kalian masih kepengen satu tim sama kita sih, jaga aja rahasia ini. Tapi kalau kalian berharap kita dipecat, bolehlah disebarkan sampai atasan denger," kekeh Onyx.
"Untung gue dapet tim dan bos yang baek. Tutup mulut deh gue," sahut Gusti.
"Gue juga. Tapi inget, kelemahan kalian berempat ada di tangan kita. Awas aja semena-mena," sungut Viko.
Keempat orang yang disebut tertawa.
Blaire sudah berulang kali menoleh ke atas, menunggu kedatangan Ceysa. Dia sudah tidak sabar ingin melihat reaksi wanita itu. "Ceysa ke mana ya, Ra?" tanyanya.
"Tau tuh nggak turun-turun. Lo nggak ngeliat dia di atas, Je?" tanya Allura.
Jevan menggeleng tipis. Dia teringat kembali pada apa yang terjadi, dan itu sangat tidak terkendali. Refleks matanya terpejam saat ingat seperti apa rakusnya dia mencumbu dada wanita itu. Bego Lo, Je. Bisa-bisanya Lo nggak ngenalin, Blaire.
"Apa jangan-jangan udah tidur?" Serly ikut bertanya. Mengingat Ceysa yang paling tidak bisa begadang, dan lebih suka tidur saat semua orang masih merasa larut malam itu pagi.
"Bisa jadi." Semua mengangguk.
"Gue cek deh." Allura berdiri.
"Gue juga." Saat Blaire akan berdiri, Jevan memeluknya dengan mesra dan berkata, "di sini aja. Aku dingin."
Sontak semua orang mencebik ingin muntah. Blaire meringis, dipukulnya lutut Jevan yang tengah mengapit tubuhnya.
"Kalau bukan atasan gue, sumpah udah gue lempar asbak."
***
Allura masuk ke kamar, tadinya ingin ke luar lagi saat melihat Ceysa sedang tidur. Tapi begitu mendengar suara isak tangis, dengan cepat dia naik ke atas ranjang dan menggoyang pundak wanita itu.
"Cey, Lo nangis?" tanya Allura cemas.
"Gue mau sendiri dulu, Ra. Lo turun aja nggak papa," usir Ceysa dengan suara serak.
"Hei, tapi kenapa Lo nangis? Lo nggak mau cerita sama gue?" Allura mana mungkin bisa tenang, terlebih Ceysa menangis tanpa sebab.
"Gue beneran nggak papa, Ra. Please leave me alone," mohon Ceysa lagi.
"Tapi Cey ..."
"Gue bakal cerita nanti. Jadi sekarang biarin gue sendiri dulu," potong Ceysa.
"Ya udah deh kalau gitu. Tapi beneran Cey, gue siap kapan aja kalau Lo mau cerita," ucap Allura.
Ceysa mengangguk.
"Gue turun ya ..."
"Jangan cerita ke siapapun ya Ra. Kalau yang lain nanya, bilang aja gue udah tidur," minta Ceysa.
"Iya." Allura mengusap punggung Ceysa dengan lembut. Sebenarnya dia masih ingin di sini, minimal memeluk wanita itu. Ceysa jarang menangis, ini berarti hatinya benar-benar terluka.
"Apa karena dia udah tau hubungan Jevan sama Blaire ya?" gumam Allura di luar.
Sepeninggal Allura, Ceysa makin sedih. Dia menyembunyikan wajahnya di balik bantal agar suara tangisnya tidak sampai ke luar.
Hatinya terasa sakit. Jevan bagaikan sedang melepasnya ke jurang, setelah sempat membawanya terbang. Rasa terhina melekat begitu dalam, sampai dia tidak punya muka lagi untuk menemui siapapun. Meski yakin Jevan tidak mungkin menceritakan kejadian tadi pada orang lain.
"Kenapa Lo selalu ngedorong gue sih, Je? Terus harapan yang Lo kasih selama ini tuh maksudnya apa?" isak Ceysa dalam hati.
***
Allura turun dengan wajah lesu, tapi buru-buru tersenyum saat Blaire melihat ke arahnya. "Udah tidur dia," decaknya berbohong.
Blaire mendesah. Kenapa di saat dia sudah mempersiapkan diri untuk jujur pada Ceysa, malah timing-nya tidak tepat.
"Hujannya udah berhenti nih, gimana kalau kita cabut?" ajak Gusti, disambut antusias oleh beberapa di antaranya.
"Gue sih no, udah males." Onyx menolak. Dia merangkul Allura, "dan bebeb aku juga nggak boleh pergi."
Allura mencebik kesal, padahal dia sangat ingin menikmati dunia malamnya Bali. "Kalian berdua pergi?" tanyanya.
Jevan dan Blaire kompak menggeleng.
"Yah, nggak seru." Serly berdecak.
"Kita berlima aja," ajak Dimas.
Andin mengangguk setuju. Serly pun mengangguk.
Gusti, Dimas, Viko, Serly dan Andin pun pergi. Untungnya mereka sudah menyewa mobil pribadi selama di Bali ini sehingga mudah bila ingin ke mana-mana. Ditambah lagi Gusti besar di Bali, sehingga tidak perlu lagi membayar guide tour.
"Kita ngapain nih?" tanya Onyx pada ketiga lainnya.
"Tidur!" Allura yang kesal karena tidak bisa pergi, langsung cabut duluan.
"Yah, sayang kok ngambek sih?" Onyx langsung buru-buru mengejar Allura.
Jevan dan Blaire saling pandang, lalu tertawa geli. Keduanya masih ingin duduk-duduk di sana sambil minum sisa-sisa alkohol di gelas.
"Kok minum?" tanya Jevan. Soalnya tadi Blaire lebih memilih menjawab pertanyaan ketimbang minum.
"Dingin," jawab Blaire sebagai alasan.
"Kalau dingin, kan, ada aku." Jevan menarik Blaire lebih dekat padanya, lalu menciumi tengkuk wanita itu.
"Ihhh, nanti ada yang lihat." Blaire mendorong wajah Jevan.
"Nggak papa ada yang lihat. Kita udah go public, kan?" Jevan menggigit daun telinga Blaire, mengisapnya.
Blaire merinding, tapi sulit menolak. Meski rasanya tidak pantas bermesraan di tempat terbuka seperti ini, tapi nafsu sudah terlanjur menguasai. Dia pun membalikkan badan, duduk di paha Jevan. Mereka berciuman dengan hasrat yang meluap-luap.
Jevan menarik tengkuk Blaire lebih dekat, memperdalam ciumannya. Kini tangannya sudah berada di bawah bokong wanita itu, meremas dengan lembut.
***
Lanjutannya? Cusss ke Karyakarsa aja biar gak kentang.
Hehhh ... Wkwkwk
Tapi kalau mau skip juga nggak apa-apa kok, gak mempengaruhi alur cerita. Part tambahannya cuma untuk happy-happy aja, hihihi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Jealousy
Storie d'amoreWarning: Khusus 18+ bijaklah dalam memilih bacaan yang sesuai usia ya. Blaire dikhianati oleh kekasihnya, lalu menerima bantuan Jevan untuk balas dendam dengan cara yang berkelas. Tapi Blaire lupa kalau Jevan justru lebih brengsek. Ibaratnya, keluar...