Bab 29. Perpisahan

15.3K 1.4K 95
                                    

Beberapa hari setelah kembali dari Bali, Ceysa membuat keputusan yang teramat mengagetkan semua orang. Dia memutuskan untuk resign dari pekerjaan dan kembali ke Kota orang tuanya. Tidak main-main, dia datang ke kantor hari ini hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri pada Jevan, yang nantinya akan diteruskan ke HRD.

"Lo pasti nge-prank kita semua, kan, Cey?" tanya Allura tak percaya.

"Jangan main-main deh Cey. Kalau itu surat sampai ke tangan HRD, lo nggak akan bisa balik ke sini lagi," tegas Onyx.

"Apaan sih, Cey? Kalau ada apa-apa tuh cerita dong," tanya Blaire sebelum semua pertanyaan terjawab.

"Guys, gue cuma berhenti kerja. Kok pada lebay sih? Alasan gue tuh cuma mau ganti suasana aja," jelas Ceysa dengan kekehan geli.

"Kenapa tiba-tiba?" tanya Blaire. "Lo seenggaknya bisa ngobrol dulu sama kita di rumah. Kalau ada masalah, kita cari solusinya bersama. Lo nggak harus berhenti kerja."

"Gue beneran nggak ada masalah, Bi. Ini pure karena gue pengen ganti suasana baru aja, cari kerjaan yang nggak dikejar target. Maybe, melamar jadi sekertaris pribadi CEO tajir." Kekehan Ceysa makin menyebalkan di telinga mereka semua.

Tidak ada yang percaya, sebab mereka sudah mengenal Ceysa lebih dari siapapun. Wanita itu bukan tipe yang suka pindah-pindah kerja lantaran malas beradaptasi dengan lingkungan baru. Ceysa juga tidak bisa berteman akrab dengan siapapun kecuali benar-benar nyaman.

"Sumpah, gue nggak setuju." Blaire berkata dengan tegas. "Oke kalau Lo mau resign, tapi tetap tinggal sama kita dan cari kerja di Jakarta aja."

"Bener." Allura mengangguk.

"Gue juga nggak setuju deh. Soalnya mana seru kalau nggak ada muka sejutek Lo di rumah, nanti gue tambah malas bersih-bersih loh," ujar Onyx diselingi canda.

Ceysa tertawa, tapi terdengar sangat gambar. Dia langsung terdiam saat tak sengaja menatap mata tajam Jevan. Sejak tadi pria itu diam saja dan tak beralih sedikit pun dari menatapnya.

"Gue boleh ngomong berdua sama Ceysa dulu?" minta Jevan, terdengar sangat serius dan tegas.

Saat Jevan sudah berekspresi seperti itu, tidak ada yang berani membantah perkataannya. Semua pun pergi dari ruangan itu, sambil melempar sebuah harapan semoga Jevan berhasil membujuk Ceysa untuk tetap tinggal.

Ceysa meremas tangannya, sekali lagi tidak berani menatap mata Jevan. Dia merasa deg-degan.

"Kenapa mau resign?" tanya Jevan. Pertanyaan itu sudah ditanyakan oleh yang lainnya tadi, tapi dia tidak puas dengan jawabannya. Pengulangan ini pertanda kalau Jevan butuh kejujuran dari Ceysa.

"Lo pasti tau jawabannya," jawab Ceysa tak mau berakting lagi.

Jevan mengangguk, jawaban itu yang ingin dia dengar sejak tadi. "Kalau Lo emang merasa nggak nyaman dengan kita berdua, biar kita yang pergi, Cey. Lo tetap stay di sini, karena potensi Lo untuk naik jabatan sangat besar," ujarnya.

"Heh, Lo gila ya? Nggak gitulah. Gue nggak terobsesi sama jabatan, mau itu setinggi apapun."

"Terus?"

"Gue beneran cuma mau cari suasana baru, Je. Minimal kasih gue waktu buat nenangin diri," mohon Ceysa.

"Lo egois ya, nggak mikirin perasaan kita semua," desis Jevan.

"Terus Lo mau gue tetap bertahan dari rasa sakit setiap kali Lo sama Bi bermesraan di depan mata gue, Je?" Ceysa meluapkan isi hatinya.

Jevan terdiam.

Ceysa menekan dadanya. "Sakitnya nggak main-main, Je. Gue nggak akan sanggup pura-pura selamanya," mohonnya.

"Minimal sampai gue berhasil bunuh perasaan gue buat Lo. Setelah itu gue janji bakal kembali," tambah Ceysa.

Sweet JealousyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang