1. ODETTA

10K 2.1K 101
                                    

Bima [Kok aku cek gak ada lamaran kamu di kantorku???]

Pesan tersebut sudah masuk ke dalam kolom aplikasi chatting Odet sejak jam sebelas siang, dan sekarang sudah pukul dua siang, itu tandanya Odet berhasil mengabaikan pesan Bima selama tiga jam. Kebiasaan yang tidak pernah Odet lakukan kepada Bima.

Tepat saat menatap pesan itu, layar di ponselnya berubah menjadi panggilan video. Bima pasti melihat centang biru di pesan yang dikirimkannya, itu sebabnya Bima langsung menghubungi tanpa mau basa basi.

"Mbak Alfa Odetta Mayoris!"

Odet langsung membisukan ponselnya dan berdiri mengikuti namanya yang diserukan. Ini hari pertamanya wawancara di salah satu perusahaan televisi swasta. Niat semula memang melamar pekerjaan di perusahaan Bima yang bergerak dibidang teknologi. Odet berniat menghindari bekerja di stasiun televisi milik ayahnya, dan di sinilah dia berada sekarang, stasiun televisi saingan ayahnya sendiri.

Saat ayahnya tahu nanti, pria itu pasti mengatakan, "Ujungnya juga masuk di stasiun televisi, kan? Kenapa malah dukung rival ayah, sih, Mbul?"

Biarlah nanti ayahnya tahu dengan sendirinya, Odet tidak akan mau mengatakan apa pun. Sekarang, sudah saatnya move on dari Bima maupun stasiun televisi ayahnya. Odet tidak bisa jika berada di salah satunya, inilah keputusan terbaik yang bisa Odetta ambil.

Semoga segalanya dimudahkan seperti doa ibu. Aammiinn.

*

Anggada Prabu. Memangnya siapa yang tidak tahu jika dia adalah salah satu pimpinan stasiun televisi? Maksudnya, Odetta sudah sering mendengar nama itu dari ayahnya yang suka menggosipkan mengenai kepemimpinan rivalnya.

Sampai sekarang Seda Dactari masih menjadi pemilik sekaligus pemimpin tertinggi. Banyak orang mencibir, karena tidak bisa melahirkan penerus laki-laki, Seda tidak juga turun dari tahta. Padahal, yang Seda mau adalah Odet menggantikan pria itu. Namun, Odet tak memiliki keinginan semacam itu. Dia mau menjadi biasa saja.

"Kamu berani sekali melamar pekerjaan di sini?"

Pertanyaan yang dilemparkan tanpa konteks itu membuat Odet bingung. Apa ini pertanda bahwa Odet tidak akan diterima karena anak Seda Dactari?

"Maaf sebelumnya, Pak. Saya berniat untuk bekerja, dan saya yakin dengan kemampuan yang saya punya. Itu sebabnya saya berani melamar pekerjaan di perusahaan yang menjadi cita-cita saya."

Tiga orang yang lainnya menatap Anggada Prabu dengan ngeri. Seperti takut jika ada konflik antara sesama anak pemilik stasiun televisi besar di Indonesia.

"Oke. Langsung kerja besok pagi, tunggu di depan ruangan saya. Jangan kemana-mana sebelum saya datang. Sebelum jam tujuh sudah harus standby, paham?"

Odet menatap bingung pada Anggada.

"Saya diterima, Pak?"

"Belum tentu. Saya akan lihat kinerja kamu lebih dulu. Setelah itu, baru saya tentukan kamu diterima atau tidak."

Ah, rupanya Anggada ingin mengerjainya. Jika begini, hanya Odet yang tidak diberi kepastian secara langsung. Jelas Odet akan dirugikan. Masalahnya melamar pekerjaan di perusahaan lain juga melihat usia maksimal. Kalau begini, alamat Odet akan dipaksa ayahnya untuk mewarisi stasiun televisi milik ayahnya.

"Kenapa? Kamu nggak bersedia?"

"Saya bersedia, Pak."

Seringai yang muncul disudut bibir Anggada Prabu membuat Odet enggan menanggapi. Niatnya di sini adalah untuk bekerja, bukan bertengkar dengan anak rival ayahnya.

*

Sudah selesai. Odet harus segera pulang agar ibu dan ayahnya tidak panik. Ya, bagaimana, ya? Odet itu anak pertama yang tidak memiliki kegiatan seperti anak lain. Sebelum melamar kerja, dia sudah bekerja sebagai asisten dosen di jurusan Jurnalistik.  Sampai sekarang masih ada saja undangan untuk mengajar menggantikan dosen yang banyak acara. Hanya saja Odet terkadang juga sering kelelahan hingga Seda lebih protektif dari biasanya.

"Assalamualaikum, Bu."

"Nah, itu akhirnya pulang juga."

Odessa menyambut putri pertamanya dengan cerah. "Ditungguin Bima dari tadi, tuh."

Tidak dilayani di telepon, Bima rupanya sudah siap sedia berada di rumah Odet.

"Oh, hai, Bim!" sapa Odet dengan lemas.

Pria itu berdiri dan segera menempelkan punggung tangannya di dahi Odet. "Lemes banget, Det. Jangan sampe kecapekan."

Odet menghindari tangan Bima yang tidak kunjung turun dari keningnya. "Iya, tenang aja." Melipat lengan kemejanya, Odet menatap ke arah tangga. "Aku ke kamar, Bim. Duduk bentar terus mandi. Kamu masih mau nunggu di sini?"

"Ak—"

"Kalo nggak kamu pulang aja, sih, Bim. Bisa jadi aku ketiduran. Capek banget soalnya hari ini." Odet sengaja menyela Bima yang belum selesai bicara apa-apa.

Bima tidak terlihat akan menyerah. "Nanti malem kalo gitu aku ke sini, kamu bisa punya waktu buat tidur dulu."

Odet menghela napasnya samar. "Yaudah, terserah."

Berniat meninggalkan Bima sendiri, Odet tetap tidak bisa tidak membalikkan badan ketika berada di anak tangga ketiga untuk mengamati Bima. Pria itu tersenyum dan menggerakkan tangannya supaya Odet naik ke kamar, seolah diabaikan oleh Odetta bukan masalah bagi Bima sama sekali.

Aku pengen kamu menjauh dengan sendirinya, Bim. Bisa nggak, sih?


[Siap-siap kezel sama Bima di sini. Kalo Seda nggak peka, di sini Bima denial abeeeezzz!]

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang