45. ODETTA

4.6K 987 31
                                    

Pernikahan mereka tidak dirancang dengan sederhana. Meski bagi Seda Dactari ini memang sangat biasa ketimbang pernikahan para artis yang disiarkan di televisi swasta. Seda memiliki kuasa untuk menyiarkan pernikahan putrinya secara eksklusif di stasiun televisi miliknya. Namun, itu hanya akan membuat kesan norak bagi kolega Seda dan Bima. Mereka akan terlihat seperti keluarga haus akan popularitas dan sengaja memanfaatkan kekuasaan untuk dilihat khalayak ramai.

"Kamu undang Anggada?" bisik Odet pada Bima ketika melihat pria itu masuk ke tempat acara dilaksanakan.

Bima mengikuti arah tatapan sang istri, Anggada berada di sana sedang berusaha berbaur dengan tamu, dan cepat atau lambat pasti akan datang kepada mereka untuk bersalaman dan berfoto.

"Kami kerjasama, Det. Itu masih berlangsung, karena acara produksinya memang masih terhitung baru berjalan. Awalnya aku ragu, terus aku tanya sama ayah, beliau bilang tetap undang Anggada untuk menghindari permusuhan."

Odet memejamkan matanya sejenak. "Aku susah payah resign dari tempatnya, Bim. Aku takut kalo dia bikin masalah di sini. Dia nggak suka sama ayah," ucap Odet.

"Mereka nggak bermusuhan, Det. Mereka rival, bukan musuh. Makanya ayah nggak keberatan dia datang. Kalo orangtuanya aku yakin nggak akan mau datang, makanya Anggada datang sendirian." Bima masih melihat wajah cemas Odetta yang entah kenapa begitu ketakutan. "Det, nggak ada yang perlu kamu takutkan. Anggada nggak akan segila itu untuk bikin masalah di sini."

Meski mendengar kalimat penenang dari Bima, itu tidak membawa dampak yang kuat bagi Odetta. Bima mungkin tidak akan memperkirakan sikap Anggada.

"Jangan percaya gitu aja, Bim." Kali ini Odet menggenggam tangan Bima yang sudah resmi menjadi suaminya.

"Oke, oke. Kamu maunya aku berbuat apa?" tanya Bima pada akhirnya.

"Utus orang kamu buat jaga-jaga dimana pun. Aku nggak bisa bilang ini ke bodyguard yang ayah sewa untukku. Kamu aja yang suruh anak buah kamu pastiin nggak ada hal mencurigakan dimanapun. Kalo bisa diseluruh sudut gedung ini. Oke? Aku nggak tenang."

Demi memberikan ketenang pada istrinya, Bima mengangguk. Pria itu meminta salah satu panitia acara memanggil anak buah Bima yang bekerja secara diam-diam seolah mereka hanyalah panitia biasa. Bima memastikan istrinya tahu apa saja titah yang Bima berikan dan pada akhirnya Odet bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya sebelum Anggada naik ke atas panggung pelaminan dan menyapa dengan senyuman tipis.

"Selamat atas pernikahan kalian." Itu bukan kalimat aneh untuk diucapkan, tapi bagi Odet, itu sangat aneh.

"Terima kasih," jawab Bima mewakili Odet yang enggan bicara pada Anggada.

Setelah pria itu bersalaman dan berfoto, tidak ada hal aneh yang sekiranya terjadi. Bima juga tidak melihat pria itu membisikkan sesuatu pada Odet. Bima bisa tenang saat ini.

"Kayaknya dia udah ikhlas."

Odet menggerakkan kedua alisnya ke atas. "Bukan masalah ikhlas nggak ikhlas, tapi ini masalah dia ada dendam atau nggak. Setelah punya konflik sama ayah, terus nggak berhasil denganku, aku nggak yakin kalo dia nggak dendam."

"Kamu cemas karena dia dendam atau karena dia mantan kamu yang masih kamu sayang?"

Pertanyaan Bima yang ini langsung membuat Odet menoleh pada suaminya. Nada yang digunakan oleh Bima tidak seperti sebelumnya yang ringan saja untuk didengar. Kalimat pertanyaan yang ini malah membuat Odet meringis karena tak mau suaminya cemburu ditengah resepsi mereka yang masih akan berjalan selama beberapa jam lagi.

"Jangan cemburu, Bim. Aku nggak cemas dengan hal yang berkaitan dengan perasaan. Kamu udah denger ceritaku soal Sabrina dan projeksi yang dilakukannya selama ini, kan? Aku juga nggak punya perasaan dalam ke dia, karena memang awalnya nggak ada niatan ke sana. Aku murni penasaran."

"Hm."

"Jangan ngambek, dong, Bim. Kalo kamu ngambek aku cium kamu di sini, ya?"

"Kayak berani aja," cibir Bima yang masih agak kesal dengan pemikirannya.

"Oh, kamu nggak tahu, ya aku bisa aja nekat—"

Bima menarik tangan istrinya untuk tetap duduk di tempat. "Oke, oke. Aku nggak ngambek, ciumannya simpen buat nanti malem aja." Bima tidak bisa membuat istrinya malu sendiri nantinya, meski senang dengan kemungkinan diciumi oleh Odet, tetap saja mereka akan dinilai tak senonoh meski sudah sah.

"Kak Odet sama kak Bimbim ngomongin apaan, sih?" Dastari menghampiri mereka yang terlihat serius bicara berdua. Anak itu membawakan dua gelas minuman yang diminta oleh Odet. Sedangkan adik Bima membawakan dua piring pasta untuk pasangan yang lapar dipajang seharian di atas pelaminan.

"Makasih, Tari." Bima memberikan ucapan terima kasih pada adik iparnya itu.

"Kok, cuma aku aja yang dibilangin makasih, Kak? Ini kak Irama nggak dibilang makasih?"

Irama tertawa karena Dastari sangat kritis. "Tari, kamu harus tahu. Kak Ira, nggak mau cuma dikasih ucapan terima kasih aja." Bima memberikan jawaban.

"Terus?"

"Maunya makasih yang dikirim lewat rekening."

Odet tertawa saat Irama menepuk bahu kakaknya. Tak mau dinilai 'matre' oleh Dastari yang selalu kagum dan bahkan menjadikan Irama sebagai idola karena bisa kuliah sendiri di luar negeri.

"Kak, aku mau gitu juga, dong!" kata Dastari pada Odet.

"Apa?"

"Kirimin aku ucapan makasihnya via rekening, aku udah dibikin rekening sama ayah, kok."

"Das. Ta. Ri!" Anak itu langsung mengajak Irama untuk pergi dari sana dan membiarkan Odet kesal.

"Hei, jangan ngomel-ngomel di acara nikahan kita, Det." Bima mengelus punggung tangan Odet.

"Yaudah, aku ngomel-ngomel nanti malem sama kamu!"

"Iya, nggak apa-apa. Aku seneng kamu omelin kalo di kamar." 

[Bab 50 dan 51 sudah update di Karyakarsa.]

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang