11. ODETTA

6.7K 1.6K 73
                                    

Odet menerima surat yang tidak lupa diberi nama oleh pengirimnya. Surat itu sudah berada di atas meja rias kamarnya. Selama dua hari Odet melihat kedatangan Bima di rumah, dan sekarang dia disambut dengan sepucuk surat dari Bima saja. Rasanya ada yang sangat berat ketika Odet menarik napas dalam.

"Aku kenapa, sih?" Odet mengusap wajahnya dengan rasa lelah yang luar biasa menghimpit dirinya.

"Susah banget buat bisa hidup tenang."

Ya, setidaknya Odet tenang memiliki keluarga yang dia punya saat ini. Rasa tidak tenangnya hadir karena orang-orang diluar keluarganya. Kenapa, sih, urusan fisik membuat orang lain kebingungan dan begitu dipusingkan? Padahal, keluarga dan Odet sendiri saja tidak mempermasalahkan hal itu.

Anggada P. [Besok, kamu akan tanda tangan kontrak kerja.]

Odet menatap pesan pribadi itu dengan mata menyipit. Apa benar Anggada akan menerimanya saat baru dua hari masa percobaan terjadi?

Anggada P. [Mulai besok juga, perhatikan penampilan kamu. Pakaian, gaya rambut, dan riasan. Kamu akan menjadi asisten Anggada Prabu, bukan menjadi asisten biasa.]

Bahkan di dalam bahasa pesannya saja Anggada bisa bersikap sombong. Mengatai Odet dan ayahnya sombong, padahal pria itu lebih dari segalanya. Jika Odet lebih jahat, dia akan mengecam Anggada bahwa pria itu hanya CEO, bukan pemilik utama!

Memilih untuk menutup perpesanan itu, Odet menaruh ponselnya santai dan membiarkan notifikasi lainnya masuk.

Anggada P. calling ...

"Hah? Ngapain ini orang malah video call segala?!"

Odet enggan untuk kembali berhadapan dengan Anggada, lelah sekali bicara dengan pria itu. Apa Anggada tidak puas mengerjainya selama di kantor? Kenapa juga harus mengganggu waktu pribadi Odetta?

Ketika panggilan itu tak kunjung Odet angkat, pesan pria itu lagi muncul pada papan notifikasi ponsel Odet.

Anggada P. [ Kenapa gak kamu angkat?!!!]

Sudah jelas nada kemarahan yang pria itu berikan di dalam pesan tersebut. Sama sekali tidak mengherankan, karena memang sikap semacam itulah yang dimiliki Anggada sejak pertama kali bertemu dengan Odet.

Anggada P. [Ini kenapa juga kamu nggak bales pesan saya?!!!!!]

"Ini orang kenapa, sih? Sakit jiwa apa, ya?"

Sekali lagi Anggada mencoba untuk menghubunginya melalui video call. Kali ini Odet tidak akan menghindar dan mengangkatnya dengan malas. "Selamat malam, Pak."

Odet sengaja menekankan kata selamat malam supaya Anggada sadar bahwa ini sudah bukan jam kerja dan waktunya Odet memiliki jam-nya sendiri.

"Kamu baca pesan saya, kan? Jangan cuma dibaca, tapi dipahami. Ini bukan hal biasa Odetta. Kamu harus berpenampilan baik karena saya pasti akan sering mengenalkan kamu kepada bawahan dan rekan bisnis. Untung-untung kamu bisa ketemu sama artis—"

"Saya sudah sering ketemu artis sejak kecil, Pak. Bahkan artisnya sering datang ke rumah saya."

Anggada memberengut tidak bisa membantah apa yang Odet ucapkan. Sejak kecil sudah pasti Odet merasakan kehidupan orang yang setara dengan kehidupan Anggada. Sepertinya pria itu lupa satu fakta tersebut.

"Ya, saya bilang supaya kamu siap-siap dengan baik. Jangan malu-maluin saya."

"Apa nggak ada kalimat baik yang bisa Anda ucapkan, Pak? Kenapa saya selalu mendengar kalimat yang menyakiti hati, ya? Padahal ini bukan jam kerja juga."

Begitu banyak hal yang tidak bisa Odet terima ketika ada orang yang merendahkannya. Jika memang ada konteks profesionalisme di dalamnya, Odet akan menerima hal tersebut. Namun, sekarang bukan lagi jam kerja. Odet memiliki hak untuk membela dirinya yang diremehkan begini.

"Apa? Kamu malah bahas hal lain? Kenapa hal itu penting untuk saya lakukan karena saya nggak punya waktu untuk memuji kamu ini dan itu."

Odet tidak menunjukkan wajah yang menyenangkan. Senyuman itu tidak berarti untuk Odet berikan karena sekarang saatnya Odet menyatakan rasa tidak sukanya terhadap orang yang tidak menghargainya.

"Kalo gitu apa pun yang Anda sampaikan sekarang ini tidak penting bagi saya. Saya nggak punya waktu untuk mengiyakan perintah yang seharusnya saya dengarkan saat jam kerja. Selamat malam." Tidak Odet harapkan pembicaraan lebih lagi. Suasana hatinya semakin buruk jika terus menerus mendengar ocehan Anggada yang malah bisa memancing emosinya.

Sekarang, Odet ingin membersihkan tubuhnya lebih dulu sebelum semuanya semakin membuat Odet badmood.

Sayang seribu sayang, begitu dia akan memasuki kamar mandi ponselnya kembali berbunyi dan sekarang bukan lagi Anggada yang mengganggu.

Bima calling...

"Sekarang apa lagi, sih? Suratnya aja belum aku baca, udah nelepon lagi!" Odet mengetuk keningnya sendiri. "Udahlah, bodoamat!"

Odet tidak akan termakan keinginan untuk berbicara dengan Bima. Dia akan memblokade nomor Bima setelah ini.

Odet tidak menghiraukan hal itu. Odet tidak akan memilih untuk mempertahankan persahabatan dengan Bima, karena dalam dirinya sudah menginginkan lebih dari sekadar sahabat.

Jika meneruskan persahabatan, maka Odet hanya akan menyakiti dirinya sendiri. Tidak akan ada untungnya bagi Odet untuk melanjutkan hal semacam ini. Cukup saja menyakiti dirinya sendiri dalam ikatan persahabatan.

Bima [Det. Kita hrs bicara banyak. Ada hal yang aku tahu dan itu berhubungan sama kamu. Det, aku butuh bicara sama kamu. Ini penting. Jangan kerja di sana lagi, Det. Jangn. Aku mohon sama kamu.]


[Siap seneng-seneng?🖤]

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang