47. ODETTA

4.6K 997 48
                                    

"Pagi," bisik Bima. Lagi dan lagi pria itu suka sekali berbisik sekarang.

"Eung, kamu bikin aku curiga sekarang, Bim." Odetta mengolet kembali, Bima tak masalah, dia justru senang melihat tubuh istrinya yang bergerak, apalagi jika tak memakai apa pun saat melakukannya.

"Curiga apa?"

"Itu. Gara-gara semalem kamu manggil aku juga pake nada bisik-bisik, terus minta jatah, aku jadi curiga kalo kamu bilang apa pun pake acara bisik-bisik begini."

Bima tertawa senang mendengar penuturan istrinya yang ternyata masuk akal juga jika dipikirkan lagi. Bima memang suka berbisik sekarang karena tak mau terlalu excited dengan situasi baru mereka yang sudah sah menjadi pasangan.

"Malah ketawa. Kamu bilang 'pagi' pake bisikkan itu ada maunya, nggak?"

Bima menggeleng. "Aku udah mandi, rapi, udah pesen sarapan juga sama room service hotelnya. Laper aku, Det. Dari semalem sibuk gempur kamu."

Odet menepuk bibir Bima kesal. "Gempur, gempur! Emangnya aku apaan?!"

Bima tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Odet memang tidak pernah terlihat cantik saat bangun tidur selayaknya tokoh film, perempuan itu terlihat kacau dan kusut. Namun, Bima yang sudah terbiasa dengan pemandangan Odet bangun tidur cenderung suka mencari momen lucu. Tadi, Bima bangun lebih dulu dan melihat bibir Odet yang menganga hingga Bima mengabadikannya di ponsel untuk menjadi potret untuk disimpan. Besok, mungkin akan ada hal lucu lagi yang akan membuat Bima tertawa-tawa atau tersenyum bodoh saat membuka galeri ponselnya ketika suntuk.

"Mau langsung mandi atau sarapan dulu?" tanya Bima yang menarik selimut dan membantu istriny duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Biiiiimmm, aku bisa nyender sendiri. Kenapa kamu bantuin, sih?" protes Odet karena Bima terlalu aneh.

"Kamu bisa jalan? Nggak sakit? Yang pernah aku baca, katanya kalo baru pertama kali bakalan jalan agak awkward gitu, Det. Aku takut kamu ngerasain sakit juga sekarang. Aku nggak mau kamu nahan nyeri tanpa aku tahu."

Odet menatap Bima yang memang terlihat tulus mengatakan semua itu. Apa yang lo lakuin, Det? Bima semanis ini. "Aku nggak apa-apa, Bim. Makasih, ya, udah sebegini perhatiannya."

"Aku suami kamu sekarang, Det. Manja-manja atau sengaja nggak mau ngelakuin apa pun sendiri itu wajar. Mama sama adekku aja suka manja, kok. Kamu lebih manja juga nggak masalah buatku."

Odet tidak bisa melepaskan tatapannya dari Bima. Perhatian ini membuat dada Odet sesak seketika. Dia mendapatkan Bima dalam versi yang lebih baik—sangat baik.

"Makasih, Bim. Makasih."

Bima mengernyit. "Kamu bilang makasih terus dari semalem, aneh." Bima berdiri dan mmenyelipkan tangannya pada punggung dan lipatan kaki istrinya. "Ke kamar mandi atau keluar makan?" tanya pria itu tanpa peduli apakah Odet akan mengatakan rasa nyeri akibat malam pertama mereka atau tidak.

"Mandi," jawab Odet yang menahan suara seraknya. Perempuan itu menghidu aroma pakaian Bima dibagian dada, ini jauh dari pengalaman yang dibayangkan Odet—jauh lebih baik.

*

Tepat saat Odet tengah menyuapkan santapan paginya, ponselnya berbunyi dengan nyaring di meja. Mulut perempuan itu penuh dan berusaha bicara, "Ihuu, Yahyah."

Bima yang mengerti lebih dulu memberi sapuan pada sudut bibir Odet dengan tisu sebelum mengambil ponsel Odet dan menjawab panggilan itu.

"Pagi, Yah. Ini Bima," sapa Bima dengan sopan.

"Odet masih tidur?" tanya Seda.

"Lagi sarapan, Yah. Mulutnya penuh, makanya saya yang angkat."

Panggilan ayah sudah pasti harus digunakan Bima pada Seda, karena hubungan mereka yang naik tingkat. Meski awalnya agak canggung karena Seda juga demikian, serasa baru memiliki anak lelaki yang langsung lahir dalam versi dewasa.

"Oh, kirain belum bangun." Seda memang tipe orang yang masih sulit bicara panjang lebar. Meski kata Odesaa sudah banyak kemajuan, tapi Bima sering merasa bingung mencari topik pembicaraan dengan ayah mertuanya itu.

"Ada yang mau diomongin, Yah? Odet ada di samping saya, kok. Saya loudspeaker."

"Hm ... Embul, kamu oke?"

Sontak saja Bima dan Odet saling bertatapan bingung dan canggung. Mereka diam-diam seolah mengatakan ayah nanyain soal semalem, kan? Odet menaikkan alis dengan isi kalimat di kepala iya, aku yakin soal malam pertamanya. Mereka tak bisa mendiskusikan jawaban yang tepat karena merasa itu urusan pribadi, tapi Seda juga berhak mendapatkan jawaban dari Odet.

"O–oke, Ayah. Emang aku harus nggak oke gimana?"

Seda terdengar berdehem. "Ya ... ayah cuma mau mastiin kamu oke. Siapa tahu Bima mainnya kas—"

"Itu kamu telepon anakmu yang lagi berduaan, Seda!?"

Terdengar perdebatan disambungan telepon itu. Sepertinya sang ayah menelepon tanpa persetujuan Odessa.

"Det, ayah telepon lagi nanti!"

Lalu panggilan langsung dimatikan begitu saja. Odet dan Bima semula terdiam, lalu perlahan tertawa. Ada-ada saja tingkah Seda yang sepertinya masih menganggap Odet seperti putri kecilnya.

"Ayah kamu kayaknya cemas, Det. Dia masih nggak rela kalo aku sentuh kamu."

Odet menggeleng pelan. "Ayah emang gitu. Aku yakin pas Dastari ketahuan punya pacar juga ayah bakal kepikiran jadiin Tari anak home schooling."

"Masa? Wah, bahaya juga ayah kamu, ya."

Odet mencibir Bima. "Awas aja kalo nanti kamu lebih parah dari ayah, Bim. Apalagi kalo punya anak perempuan. Kamu pernah cium cewek sembarangan, nggak? Jangan heran kalo nanti anak cewek kamu—"

Bima menghentikan ocehan istrinya dengan menyuapkan makanan pada mulut perempuan itu. Hal itu dilakukan karena Bima jadi bergidik ngeri membayangkannya. Duh, gue kayaknya harus tanya-tanya sama ayah Seda kalo Odet hamil anak cewek!

[Udah baca bab yang aku upload di Karyakarsa? Enaknya kita bikin Bima memutuskan apa?😌]

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang