12. ODETTA

6.6K 1.5K 51
                                    

Ada yang harus mereka bicarakan. Apa? Odetta tidak tahu apa yang harus dirinya bicarakan dengan Bima, dan ini berhubungan dengan diri Odet? Apa? Kenapa juga Bima harus melarangnya bekerja di perusahaan yang sekarang? Apa yang Bima tahu? Perusahaan Bima saja berbeda bidang dengan milik Anggada. Apa Bima juga bersaing dengan Anggada seperti ayahnya?

"Tumben pangeran Daniel kamu nggak ke rumah?"

Pertanyaan yang Seda layangkan membuat Odet langsung menatap ibunya yang bersikap biasa saja. Sepertinya sang ibu sengaja tidak membagikan informasih ini kepada Seda karena alasan tertentu. Padahal tadinya Odet yang tidak mendapati Bima karena Seda sudah tahu mengenai pertengkaran Odet dan Bima terjadi. Rupanya ibunya menyembunyikan hal ini. Memang lebih baik Seda tidak tahu untuk menghindari pertengkaran yang lebih memusingkan lagi. Namun, Odet tidak tahu harus menjawab apa jika begini.

"Kayaknya aku nggak pengen lagi ketemu dia lebih lama, Yah."

Seda menatap putrinya dengan teramat serius kali ini. "Kenapa? Bima bikin masalah? Ayah bakalan—"

"Jangan macem-macem sama anak yatim," sela Odessa yang menyadari suaminya mulai bersikap berlebihan.

Hal tersebut sukses membuat Seda terdiam. Ancaman Odessa tidak pernah tidak menyangkut sesuatu yang religius. Semakin mereka bertambah usia, Odessa selalu mengingatkan bahwa tidak ada yang akan dicari lagi selain usia yang tertutup atas kehendak Tuhan.

"Kenapa kamu bawa-bawa anak yatim, sih, Des?"

"Ya, emang kenyataannya begitu. Jangan main salahin satu pihak aja, Mas. Kamu harus ngaca, laki-laki kalo tanpa sadar suka nyakitin itu karena apa."

Seda menghela napasnya pasrah. Kembali disindir di depan putrinya sendiri membuat Seda harus mau banyak mengalah.

"Ayah nggak usah berlebihan, aku sama Bima emang harusnya mikir dari lama. Tapi baru sekarang aja bisa saling ngerti apa yang terjadi."

Odessa membalas ucapan Odet dengan cepat. "Emangnya dia udah tahu perasaan kamu?"

Kali ini Odet yang terdiam. Seda yang kebingungan hanya bisa melihat anak dan istrinya yang saling bertatapan.

"Ini aku yang nggak tahu apa-apa atau emang ini jadi urusan perempuan?" tanya Seda.

"Kamu diem, Mas."

Kali ini Odessa juga ingin menyadarkan putrinya bahwa tidak akan ada yang berubah jika Odet tidak mengatakan isi hatinya pada Bima.

"Odetta, ibu mau bilang, kalo dukungan ibu untuk nggak kasih izin Bima ke rumah itu adalah bentuk supaya kamu punya waktu untuk berpikir. Ibu nggak mau kamu menyesal karena Bima yang sepertinya punya perasaan sama kamu, tapi nggak sadar itu, malah ujungnya saling paham setelah kalian punya pasangan masing-masing."

Odet tidak ingin meneruskan pembicaraan semacam ini, tapi dia tidak akan bisa menghindari dari ibunya. Untung saja ini sudah masuk jam tidur Dastari, karena jika ada anak itu di sini, Dastari akan menjadi salah satu permasalahan yang seringnya membuat Odet kesal.

"Maksudnya aku harus bilang perasaanku ke Bima?"

"Iyalah! Apalagi? Jangan sampai urusan perasaan itu malah bikin kalian jadi selingkuh pas punya pasangan."

Seda langsung berdehem tak nyaman dan menggaruk lehernya dengan tatapan ke arah lain, menghindari istrinya yang sekilas juga bisa membaca maksud Seda.

"Jangan dipendam, kamu harus bicarakan. Apalagi kalo urusannya sama orang nggak peka. Nanti malah bikin masalah lain di hidup kamu. Ibu bilang gini karena berdasarkan pengalaman ibu sendiri, loh, Odet."

Odet langsung mengangkat kedua tangannya. "Oke, oke. Aku akan ingat semua nasihat ibu, tapi nggak bisa aku lakui dalam waktu dekat. Bima pasti bakalan kaget, bisa jadi malah dia yang nanti menghindar."

"Ya ... bener, sih. Pokoknya harus segera, Odet. Jangan tunggu sampe numpuk masalah."

Ya, Odet berharap tidak akan ada masalah yang terjadi nantinya.

*

Paginya, Odet masuk kerja dengan pikiran yang sedikit berkecamuk. Meski begitu, Odet tetap bersikap profesional. Apalagi yang menjadi atasannya adalah Anggada Prabu yang banyak maunya.

"Kenapa kamu jadi lebih kalem pas di kantor sekarang?" tanya Anggada yang berada satu lift dengan Odetta.

"Karena saya sudah resmi menjadi asisten Anda, Pak."

Anggada menganggukan kepalanya. Rupanya itu alasan yang Odet punya. Tidak akan ada yang bisa membuat perempuan itu menurut selain kejelasan.

"Temani saya makan," ucap Anggada sembari mendorong bahu Odet pelan.

"Apa?" Odet tidak tahu bahwa dirinya akan digiring oleh Anggada menuju parkiran. Niat semula Odet akan turun untuk makan siang di kantin, sayangnya Anggada sudah lebih cepat memutuskan segalanya.

"Pak? Saya mau makan di kantin."

Anggada yang memasang sabuk pengaman menggeleng tidak setuju. "Makanan di kantin itu menunya nggak sehat."

"Terus?" Odetta tidak paham dengan makna kalimat itu.

"Saya mau asisten pribadi saya mengonsumsi makanan sehat. Ini berhubungan dengan kesehatan dan fisik kamu. Ke depannya, akan semakin banyak acara yang kita datangi bersama. Kesibukan kamu akan sama dengan yang saya miliki."

Odet tidak ingin berspekulasi, tapi dia merasa bahwa jam kerjanya akan seperti sebelumnya. "Jadi ... saya harus lembur dan bekerja sesuai jam kerja Anda, Pak?"

Anggada menoleh pada Odet sekilas, bibirnya menyungging ke atas. Sepertinya tadi Anggada sedang menggoda Odet. Iya, kan?

Kenapa rasanya jadi kayak tokoh di novel roman? Atasan dan bawahan?

"Mikirin apa? Kamu jangan mikir hal yang aneh-aneh. Kita lembur buat kerja, bukan buat pacaran."

Odet mengernyit. "Bukan saya yang bilang. Lagi pula ... kok, Bapak bisa bilang hal itu? Bapak yang berpikir begitu, ya?"

Anggada memang tidak bisa bicara sembarangan di depan Odet. Dasar anaknya Seda Dactari! 

ODETTA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang