Seda menatap begitu dalam pada menantunya itu. Bima tetap terlihat kalut dengan fakta yang ada. Jika saja Bima hidup di zaman dimana Seda hidup, maka reaksinya mungkin akan lebih parah lagi. Dulu perempuan dituntut untuk menjaga kesuciannya dan hanya memberikannya pada suami mereka kelak. Seda juga tidak tahu bagaimana rasanya menjadi Bima, karena Odessa memang menjaga dirinya dengan baik. Kini, putrinya—Odetta, justru membuat ulah.
"Saya nggak nyangka Odet akan mengambil langkah sejauh ini, Bima." Seda memulai pembicaraan lagi setelah menenangkan diri dan memahami ucapan Bima mengenai pancingan Anggada.
"Ya, saya juga, Yah."
Tidak banyak yang bisa Bima katakan karena membayangkan wajah Odet dalam video yang diambil itu jelas sekali meruntuhkan kepercayaan dirinya.
"Apa ... kamu akan mempertimbangkan Odet sebagai pasangan?"
Bima langsung menatap mertuanya. "Mempertimbangkan apa, Yah?"
"Karena kamu bukan yang pertama bagi Odetta. Kamu juga sepertinya nggak tahu bagian ini. Berarti Odet nggak cerita bagian dirinya yang sudah lebih dari berpegangan tangan saja dengan Anggada."
"Itu bukan masalahnya, Yah. Siapa pun pria pertama bagi Odet, saya tetap suaminya."
"Tapi kamu terlihat terpukul. Kamu memikirkan kenapa Odet melakukan ini dan kecewa karena bukan lelaki pertama Odet."
Bima tidak memiliki pemikiran apa-apa awalnya. Dia tidak berpengalaman untuk mengetahui perempuan yang masih perawan atau tidak. Terlalu banyak informasi yang mengatakan malam pertama bagi perempuan harus berdarah atau kesakitan, tapi Bima juga pernah mendengar penuturan teman yang berkecimpung di dunia kesehatan bahwa keperawanan bisa saja hilang karena insiden kecelakaan atau ketidaksengajaan. Tidak perawan bukan berarti seorang perempuan kehilangan karena menjajakan diri diluaran.
Bima tak mau menyamaratakan semua perempuan tak perawan dengan kenakalan. Meski sisi manusiawi yang ia miliki sekarang memang memberontak dan menunjukkan reaksi kecewa pada video yang diputar tadi. Tetap akal sehat yang sekarang Bima butuhkan, bukan emosi yang hanya akan disesalinya kelak.
"Saya hanya terkejut, Yah. Tidak akan ada hal yang bisa menggoyahkan saya untuk hidup bersama Odet. Semua manusia memiliki sisi tidak sempurnanya, begitu pula saya."
"Lalu, kamu bisa menatap Odet seperti biasa setelah melihat video itu? Saya yakin kamu tidak akan bisa menghadapi Odet dengan tatapan seperti biasanya. Ada sisi yang tidak bisa menerima semua itu."
Bima tidak mengelak. Dia memang merasa tak akan sanggup jika berhadapan dengan Odet sekarang. Apalagi dengan penilaian seperti sebelumnya.
"Saya ... kecewa karena nggak sanggup melindunginya dari Anggada, Yah." Tangisan Bima tidak pernah Seda sangka akan muncul seperti ini. Bukannya marah meledak-ledak, Bima justru malah menangis. Ini mengingatkan Seda pada dirinya sendiri saat tahu bahwa Odessa nyaman bercerita pada orang lain yang tidak dikenalnya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri." Seda meremas bahu Bima. "Ini murni karena sudah takdirnya begini. Saya juga kecewa karena Odet tidak bisa menahan dirinya sendiri hingga menyerahkan diri pada Anggada."
Bima menganggukan kepala tidak tahu untuk apa, karena sekarang tangisannya semakin deras. Ingin sekali menyalahkan orang lain, tapi percuma saja. Yang harus Bima lakukan adalah menerima dan proses menerima itulah yang membutuhkan waktu, entah berapa lama.
*
Odet tidak tahu sudah berapa lama dirinya menunggu di kamar dan Bima belum juga muncul. Tadi Odet memang masih terkejut bertemu dengan Anggada, tapi sekarang dirinya sudah bisa mulai berpikir jernih.
"Kok, belum muncul? Apa Bima belum pulang, ya?" Odet bertanya pada dirinya sendiri. Kepanikan mulai merajai dirinya.
Odet ingin membagikan cerita yang dialaminya hari ini pada Bima, tapi pria itu belum menunjukkan batang hidungnya.
Odet berusaha melihat deretan mobil yang ada di halaman rumah orangtuanya melalui balkon kamarnya. Di sana sudah terparkir mobil yang digunakan Bima.
"Berarti Bima udah di rumah? Dia ke mana? Kenapa nggak masuk kamar?"
Berniat untuk mencari keberadaan Bima, Odet terkejut karena pintu kamar lebih dulu terbuka saat dirinya hendak keluar. Wajah pria yang ditunggunya terlihat dengan kondisi yang tidak wajar.
"Bim," panggil Odet. "Kamu dari mana? Aku mau cerita kalo tadi aku—"
"Ketemu Anggada." Odet kaget mendengar selaan Bima.
"Kamu tahu?"
"Ayah yang kasih tahu dan aku juga tadi ketemu sama Anggada."
Wajah panik Odet tercetak jelas. "Ngapain dia ketemu kamu? Dia bilang apa, Bim? Dia pasti pengen bikin kamu salah paham sama aku, kan?"
Bima meraih flashdisk yang semula dia berikan pada Seda dan sudah mengetahui isinya. "Dia kasih ini," ucap Bima. "Katanya punya kamu."
Odet menerima flashdisk itu karena Bima memberikannya tanpa membutuhkan persetujuan Odet. Pria itu meletakkan alat penyimpanan itu ke telapak tangan Odet.
"Itu penting bagi kalian, Det. Makanya Anggada mau susah-susah kasihin itu ke aku." Bima mengecup kening Odetta. "Aku mandi dulu, ya."
Odet tertegun di tempatnya. Dia tak tahu harus melakukan apa dengan flashdisk itu. Sikap Bima juga masih santai, tapi wajahnya tidak setenang biasanya.
Saat sadar, Odet membalikkan badan dan berseru. "Ayo, lihat bareng!"
Bima menoleh. "Oh, tadi aku udah cek sama ayah. Kalo kamu mau mastiin sendiri cek aja. Kalo nggak juga nggak apa-apa, sih."
Apa, sih, isinya? Jika memang sepenting itu kenapa Bima sepertinya sangat santai? Odet benar-benar bingung saat ini. Buka atau nggak? Odet sangat dilema.
KAMU SEDANG MEMBACA
ODETTA [TAMAT]
ChickLit(repost) TERSEDIA EBOOK DI PLAYBOOK, DAN BAB SATUAN SERTA PAKET DI KARYAKARSA. Odetta memang memiliki nama yang serupa dengan tokoh Barbie kesukaannya. Putri angsa yang cantik. Sayangnya Odetta tak serupa dengan tokoh Barbie tersebut. Jauh dari perk...