30[Kritis]

8.7K 578 17
                                    

Syahlan>Alan

Saat sedang di sibukkan dengan banyak pekerjaan, Erlin menelpon. Di telpon itu Erlin mengatakan 'kak Alan, kak Bia di tem-tembak hiks' Erlin berkata sambil menangis. Sempat mengira anak itu bercanda, akan tetapi sasampainya di depan rumah perasaan mulai tidak enak.

Satpam dan beberapa pembantu bahkan bi Jumi sudah tergeletak dengan darah mengalir segar.

"Pak satpam, bangun!"

"Erik telpon ambulans!"

"Baik!"

"Erlin!"

Mendengar Isak tangis lantas gue melihat di bawah meja makan Erlin duduk sambil memeluk lututnya.

Anak perempuan itu keluar dari tempat persembunyiannya lalu memeluk gue erat.  "Kak Bia hiks-"

"Kak Bia kenapa?"

"Berdarah."

"Apa?! Dimana kak Bia?"

Erlin menunjuk ke ruang keluarga, Sesosok wanita sudah terbaring di lantai dengan darah mengalir dari perut dan dadanya. Lantai sudah di hiasi bercak darah bewarna merah.

Jntung seperti berhenti berdetak ketika kedua netra mata dengan
jelas melihat kondisi Salbia saat ini.

"Sal."lirih gue membawa kepala Salbia kepangkuan. "Salbia bangun!"

Tangan bergetar saat mengusap wajahnya yang sudah mulai pucat.

Tidak! Mimpi itu tidak boleh menjadi kenyataan. Wanita ini tidak boleh pergi dengan cara seperti ini!

Tidak lama mobil ambulans datang. Gue menggendong tubuh Salbia  kemudian meletakkan tubuhnya di atas brankar.

"Kamu tunggu di sini Erik. Pastikan beberapa korban yang lainnya di bawa juga ke rumah sakit!"Kata
gue di jawab anggukan oleh Erik.

Mobil ambulans mulai melaju menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan gue mengusap-usap tangan Salbia.

"Lo gak boleh pergi. Gak boleh!"

Sesampainya di rumah sakit Salbia segera di larikan ke ruang IGD. Rasa khawatir mulai menyelimuti diri.

Saat hendak menerobos masuk ke ruang IGD, suster siap menghentikan.

"Tuan, tolong tunggu di luar."

"Saya mau masuk ke dalam, Sus!"

"Tolong beri kami waktu untuk menangani pasien dengan tenang." Katanya lalu menutup pintu IGD.

Mengusap wajah kasar, air mata di pelupuk mata sudah penuh. Tanpa gue sadari gue menangisi wanita yang selalu membuat kesal dan jengkel.

Berjalan menghampiri Erlin yang mungkin masih trauma dengan kejadian itu. Gue berjongkok di depannya, dia lagi-lagi menangis.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" perlahan mengusap pipi basahnya.

"Saat Erlin berada di kamar mandi, Erlin mendengar suara tembakan. Terus kak Bia tanya suara apa itu, Erlin jawab itu suara tembakan, tapi kak Bia gak percaya sama Erlin. Kak Bia mau meriksa lebih jelas suara itu, dan nyuruh Erlin diam di dapur. Tapi setelah itu kak Bia malah-- hiks"

Jelas Erlin sesegukan. Memeluknya kembali, berusaha menenangkan.

Saat ini bagaimana bisa gue menenangkan Erlin sedangkan diri sendiri merasa panik dan cemas.

"Kak Bia pasti gak bakal kenapa-kenapa. Udah Erlin
jangan nangis lagi."

Lelah menangis, Erlin terlelap tidur di kursi tunggu. Melepas jas kemudian menyelimuti tubuh kecilnya.

Istri kampung ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang