32[Meninggal]

8.8K 593 20
                                    

Syahlan>Alan

Mengendari mobil dengan kecepatan tinggi untuk pergi menuju rumah sakit tanpa memperdulikan keselamatan diri sendiri.

"Salbia tunggu gue."

Sesampainya di depan rumah sakit, gue langsung berlari menuju ruang ICU. Perasaan kembali tidak tenang karena tadi dokter sempat menelpon dan mengabarkan bahwa tubuh Salbia tiba-tiba kejang dan gelombang denyut jantungnya tidak teratur.

Melihat mami dan papi diam termenung di depan ruang ICU, sedangkan Erlin hanya menangis memanggil-manggil nama Salbia.

"Mami Salbia nggak papa, kan?"Tanya gue mengatur nafas.

Mami tidak menjawab, dia menatap gue dengan kedua mata basahnya.

"Mami kenapa nangis?"

"Salbia gak papa, kan?"

"Pi istri Alan gak baik-baik aja kan?"

Keduanya sama-sama diam.

"Kenapa kalian diam? Jawab!"

Sedetik nya tangis mereka pecah seolah mengatakan bahwa terjadi sesuatu pada Salbia. Papi berdiri dari duduknya kemudian memeluk gue.

"Ikhlaskan."Katanya.

Ikhlaskan? Apa yang harus gue iklaskan? sungguh tidak mengerti.

"Sal--Salbia"

"Salbia kenapa?!"Sela gue naik oktaf.

"Salbia sudah pergi."

Deg!

Mendengarnya refleks gue mendorong tubuh papi menjauh.

Menggeleng kuat, tidak mempercayai ucapan Papi barusan. "Papi jangan becanda! Mana mungkin dia pergi."

Menerobos masuk ke ruang ICU, gue melihat para suster mulai melepas satu persatu alat-alat rumah sakit yang beberapa hari ini berusaha membantu Salbia bertahan hidup.

"Kenapa kalian melepasnya!"Teriak gue melihat salah satu suster
melepas alat bantu nafas Salbia. 

"Pasien sudah mening—"

"Gak! dia masih hidup!"

Berusaha memasangkan kembali
alat bantu nafas pada Salbia. Entah kenapa wajahnya sudah sangat pucat.

Perlahan gue menyentuh tangannya, dingin. "Tangan lo kok dingin, Sal?"

"Lo kedinginan ya?" Menyelimuti tubuh gadis itu sampai ke dada.

"Masa kata papi dan suster tadi
lo udah meninggal, mereka bercandanya keterlaluan banget."gue menyibakkan anak rambut yang sedikit menutupi wajah Salbia.

Terbelalak saat melihat mesin EKG yang sudah menunjukkan garis lurus. Meski begitu  itu gue masih berusaha untuk tetap berpikir positif.

"Sus, mesin EKG nya udah rusak tuh!"

"Masa rumah sakit sebesar ini masih memakai mesin EKG yang rusak!"
Ejek gue menatap para suster sinis.

"Mesinnya tidak rusak tuan." Perkataan lirih dari salah satu suster membuat gue seketika frustasi.

Memastikan bahwa perkataan mereka bohong, perlahan gue menempelkan daun telinga tepat di dada Salbia. Dan, bom! tidak mendengar detak jantungnya.

Merasa masih belum puas, gue beralih mengecek denyut nadinya,
Tidak berdenyut.

"Ini gak, gak mungkin--"

"lo cuma tidur kan, Sal?" Menepuk-nepuk pelan pipi Salbia, berusaha membangunkan tidur lelapnya. "Salbia bangun!"

Istri kampung ku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang