part 3 (Terlihat perbedaan)

8.3K 877 78
                                    

Zenith itu gendut, warna rambutnya senada dengan langit malam, matanya secerah bintang-bintang. Tapi ... saat Rose dan kedua kakaknya berkata :

"Zen warna rambut itu terlalu indah untuk kamu yang buruk rupa!"

Zenith kehilangan rasa percaya dirinya, gadis itu memangkas rambutnya dan mewarnainya menjadi cokelat kusam. Senada dengan milik para pelayan.

Matanya yang dulu indah, sekarang telah kehilangan binarnya. Queen berdecak kesal.

"Boleh nyekek gak sih?" Gadis itu memegang pipi bulat Zenith yang dipenuhi komedo. "Iwwwh pertama mari kita rawat wajahmu dulu, sayang!"

Zenith hanya diam, sejak malam saat Rose playing victim dan Samuel yang jelas-jelas hanya diam tidak membelanya. Gadis itu jadi murung seharian.

"Zen boleh aku memberi sebuah nasihat padamu?"

"Apa?"

"Kamu boleh mengejar semua ambisimu tentang pembalasan atau dendam. Tapi jangan lupa bahagia, ketika kamu mengejar dendam kamu akan jauh dari kebahagian. Namun, ketika kamu mengejar kebahagian maka secara sadar atau tidak dendam itu akan terbalaskan."

Queen membiarkan Zenith mencerna ucapannya, sebelum melanjutkan. "Bukankah pasti menyakitkan saat orang yang mati-matian berusaha membuatmu terpuruk, malah melihatmu menebar senyum diatas kebahagian?"

Zenith mengulas senyum, lalu tangannya merentang. Dengan ragu matanya menyorot Queen dalam, dan Queen melihat didalamnya ada setitik binar harapan.

"Boleh ... peluk?"

Harapan baru yang mungkin Zenith taruh pada Queen.

"Tentu sayangku!" Jawab Queen dengan senyum lebar sembari menubruk tubuh buntal Zenith hingga mereka berdua berguling di atas lantai yang penuh bunga.

"Gede ya?" Queen bergumam di tengah pelukan mereka.

"Apa?"

"Payudaramu."

"Gyaaah Queen mesum,mesum,mesum!!"

Queen tertawa saat melihat wajah memerah Zenith, mungkin jika ini animasi di telinga dan hidung si gadis akan keluar asap putih.

Tok!
Tok!

Pintu diketuk paksa, Zenith buru-buru mendorong tubuh Queen. Gadis itu membuka pintu perlahan, di luar sesosok pelayan berkacak pingang dengan ekspresi meremehkan.

"Tuan muda memanggilmu!" Serunya kurang ajar.

"Ulangi lagi," pinta Zenith.

"Kau tuli? Tuan muda memanggilmu!" Ulang pelayan itu dengan nada membentak.

Plak!

Zenith melayangkan tamparan hingga si pelayan kurus itu jatuh terhuyung kesamping. Bola matanya bergetar, tangannya menunjuk Zenith tidak percaya.

"Turunkan tanganmu," perintah Zenith dengan nada tegas, pertanda tidak mau dibantah. "Apa tamparan tadi masih kurang?"

Sang pelayan menarik tangannya takut.

"Kau hanya putri yang merupakan aib disini, jangan merasa sok!"

Zenith menyorotnya dingin. "Perlu kau ingat, kau hanya PELAYAN disini aku bisa menghukummu jika kamu kurang ajar."

Gadis itu lalu kembali menutup pintu, tentunya setelah melayangkan sebuah tatapan mengintimidasi yang membuat si pelayan berkobar marah.

Plok!
Plok! (Bukan suara adu kelamin)

"Ahh mantap, kau hebat sekali sayang!" Ujar Queen sambil bertepuk tangan.

"Aku kira kau akan lemah dan terus-terusan menangis seperti kemarin," sambungnya sambil merangkul Zenith banngga.

Zenith mengulum senyum. Queen mendadak ngeri.

"Senyummu sedikit ... khas ya?" Ujar Queen.

"Ah memang." Zenith memamerkan senyumannya. "Mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya senyum, karena selama ini terlalu capek menebar senyum palsu."

Queen ikut tersenyum, tampaknya Zenith memang telah benar-benar berubah. Hanya perlu sedikit bantuan dari Queen, Queen yakin Zenith sebentar lagi akan menjadi jauh lebih sempurna.

"Oh ya, tadi kau bilang aku akan menangis seperti kemarin? Tidak Queen, percayalah air mata kemarin adalah air mata terakhir yang aku keluarkan."

Zenith membawa langkah Queen ke depan balkon, mereka memandang matahari yang sebentar lagi tenggelam. Arunika menyentuh kulit keduanya yang terbuka, lalu satu binar lain muncul dari iris sewarna bintang milik Zenith.

"Kau yakin?" Queen mengangkat sebelah alisnya.

"Tentu saja, kau pikir apa yang aku takutkan lagi setelah kematian yang sudah berkali-kali aku lewati?"

Queen bangga.
Dia mengusak rambut Zenith.

"Temui ayahmu bukankah tadi dia memanggilmu? mungkin ada yang ingin dia bicarakan."

Zenith mengangguk.

"Aku juga perlu berbicara dengannya."

ZENITH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang