Gadis itu menampilkan seraut wajah dingin saat tubuhnya di hempaskan kedalam sel penjara yang kotor dan berdebu. Rasa pengap di dalam sini sudah tidak asing lagi.
"Zen." Sesosok pria mengengam jeruji besi yang mengurung tubuh kurus gadis malang itu.
Namanya Samuel De Eperanto---kakak keduanya. Rambutnya putih berkilau, matanya secerah permata, senyumnya terlihat amat tulus dan membuat orang mabuk kepayang.
Tapi kini ... Senyum yang dia tampilkan dihadapan Zenith adalah senyum paling memuakan.
"Gantikanlah adikmu untuk mati, kamu sayang kakak kan?"
Biasanya Zenith akan mengangguk seperti orang bodoh, menerima tebasan pedang atau kapak algojo yang memenggal kepalanya.
Tapi, kini Zenith mengangat wajahnya.
"Memangnya aku yang salah?"
Samuel mengulas senyum semakin lebar, wajahnya penuh aura hitam. Dia kesal.
"Bukankah kau bilang kau bisa hidup lagi kalau mati?" Samuel terkekeh, masih mempertahankan senyuman manisnya.
Zenith mengenggam ujung gaunnya marah, dadanya kembang kempis menahan gejolak emosi juga rasa sedih yang dia juga tak tahu harus diluapkan pada siapa.
Samuel tidak tahu ...
Ayah tidak tahu
Semuanya tidak tahu!!Betapa menyakitkannya kematian itu ...
Betapa menyakitkannya jika Zenith terus-terusan bangkit lagi dan hidup sebagai seorang pecundang.Apa dia hidup hanya untuk mati?
Hidup lagi, mati lagi? Menerima rasa sakit yang sama selamanya? Menerima kenyataan bahwa dia adalah anak yang merupakan aib keluarga? Menerima fakta bahwa dia sendirian ... dia tidak punya tempat untuknya bersandar?Zenith tertawa hambar, dia bahkan sudah tidak takut lagi pada kematian, dia hanya takut pada sebuah fakta bahwa saat dia matipun, keluarganya masih bisa tertawa bahagia.
"Pecundang." Gumam Samuel, tapi suara itu masih bisa di dengar Zenith.
Si gadis mengeluarkan belati dari balik gaunnya.
"Jangan bodoh!" Seseorang menghentikan belati yang sebentar lagi menusuk dada Zenith.
"Kau berpikir dengan mati di depannya Samuel akan menyesal? Tidak Zen ... dia tidak bisa ingat apa-apa ketika kau hidup lagi."
Zenith melihat sekeliling Samuel nampaknya tidak bisa mendengar suara itu. Terbukti wajah sang kakak hanya menatap lurus pada Zenith dengan seringai meremehkannya.
"Kau memang kakak yang baik, matilah dan gantikan semua kesalahan adikmu Rose!" Kekeh Samuel.
Jleb!
"Aaaaa!"
Zenith menjerit saat Samuel tumbang, darah menciprat mengotori gaun biru yang dikenakan sang gadis. Sementara di belakang tubuhnya sosok yang tadi mengeluarkan suara misterius tertawa gembira. Rambut birunya menyapu wajah Zenith yang pias.
"Aku berjanji kematian ini adalah kematian terakhir yang melambangkan rasa sakitmu."
Itu adalah ucapan terakhir sang wanita berambut putih sebelum menusukan sebilah pedang dengan lembut ke dada Zenith.
"Aku Queen ..." ujarnya.
"Gak nanya."
****
Aku promo cerita baru gaess baca, ini seru loh. Tapi tokoh Zenith jadi "antagonisnya."https://www.wattpad.com/story/332963559?utm_source=android&utm_medium=link&utm_content=story_info&wp_page=story_details_button&wp_uname=winwinwifewantwinwin&wp_originator=m1%2B6kbL3RsXnkppWfQoa2MVzFI0zyi3iE5JUkKuGRB5C%2FFAwPHtlMSZtRAY8fYk4G19u7MTnS3OkJngD%2FIzDAj9WjCkZn%2FLG40GxrUSiKGvnItoRguXPB6cvNsj75sLw
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENITH
FantasíaNona muda ini selalu mati dan hidup kembali. Tapi, dia selalu menjadi gadis bodoh dan buruk rupa dalam waktu yang lama. Setelah kematiannya yang ke-17 Zenith berubah, dia buang segala hal tentang hidup nona bangsawan. Awal mula perjalanannya yang pa...