BUKAN LAGI ADIK SAMUEL

3.6K 492 6
                                    

Samuel tidak bisa berpikir, otaknya mendadak panas. Tadi sore, dia bisa lihat ada ketakutan di kilatan iris sewarna bintang itu. Samuel tahu Zenith sebenarnya tidak seberani itu.

Gadis itu seperti menantang maut, berteriak liar sebelum menghilang dengan sihir. Lalu, tidak kunjung pulang padahal sudah hampir jam 2 pagi.

"Lily!" Teriakan Zenith membahana di depan gerbang. Lily---pelayan yang sedang menunduk di samping Samuel seketika mengangkat wajah dengan mata melotot. Samuel tidak dapat berpikir ketika Lily tiba-tiba berlari kurang ajar.

"NONA LARI ADA TUAN MUDA DI SINI!"

Samuel mendesah panjang. Nampaknya, Zenith dan pelayannya sama-sama gila.

"Apa yang kau lakukan?" Samuel menarik tangan pelayan itu, Lily nyaris saja jatuh. Gadis itu terlihat jelas ketakutan tapi dia mendongak dengan setitik keberanian di iris hijau cerahnya.

"Justru apa yang tuan lakukan? Apa tuan kemari ingin menghukum nona lagi? Mengurungnya? Memarahinya, atau sekedar mengingatkan bahwa Nona tidak pernah di anggap ada dan di buang di kediaman jelek tanpa pelayan ini?" Hardik Lily galak, tungkai kakinya sudah benar-benar lemas. Pada Zenith---adiknya saja Samuel bisa sangat kejam, apalagi pada dirinya yang cuman pelayan.

Samuel benar-benar terkesiap, dadanya berdesir. Masih dalam keheningan mencekam, pintu di buka paksa. Ada Zenith yang tersenyum lebar di sana.

"Astaga bahkan tak ada yang menjaga pintu depan, penjaga disini benar-benar makan gaji buta!" Serunya. "Kalau aku sudah jadi duchness akan aku gantung mereka semua, bagus kan Li---Lily?"

Zenith menggantung ucapannya ketika melihat Lily seperti kelinci kecil yang gemetar ketakutan, dalam genggaman harimau galak yang sekarang di tubuhnya menguar aura gelap.

"KEMANA SAJA KAU?" sentak Samuel dengan mata melotot. Zenith mengkorek telinga tak peduli.

"Aku seperti mendengar suara gongongan." Hatinya masih bergetar saat berujar seberani itu. Melihat wajah Samuel kian memerah, dan ekspresi pasrah Lily yang seakan bilang.

Aku ingin dikubur di padang rumput.

Zenith makin tidak karuan. Hari ini seperti roaler coster, mood Zenith meluncur naik turun. Tapi kini, saat berhadapan dengan Samuel dia merasa roaler coster itu patah dan jatuh ke jurang.

"Sialan, dasar gadis liar!"

Mendengar makian Samuel hatinya mendadak mengeras, tak ada lagi getaran kecil seperti sebelumnya. Matanya kini menatap Samuel nyalang.

"Aku baru pulang menjual diri, puas?!"

Zenith merasa ucapannya tidak salah, dia menjual dirinya untuk menjadi guru Jisung.

"Gajinya besar!" Cetus Zenith lagi. Samuel tidak bisa berkata-kata, sedangkan Lily melotot tak percaya.

"KAU!" Lantai ikut bergetar seiring langkah jengkel Samuel menuju ke arah Zenith. Tangannya sudah terangkat keatas untuk menampar pipi Zenith tapi tubuhnya langsung membatu melihat senyum Zenith.

Senyum hampa dan putus asa.

"Lakukan!" Teriak Zenith emosi. "Lakukan seperti yang biasa kau lakukan, lakukan seperti yang dulu-dulu."

Lily melejit cepat ke sampingnya ketika melihat Zenith menangis, mereka tinggal hanya berdua disini. Keduanya punya ikatan seperti teman, bukan tuan dan pelayan. Bagi Lily, kali ini dia menatap galak samuel atas nama teman Zenith. Bukan pelayan kediaman eperanto.

"Aku harap anda pergi dari sini!"

"Jangan ikut campur masalah keluarga kami!"

Mata keduanya beradu dengan sengatan listrik tanda betapa sengitnya itu. Tapi, langsung buyar ketika tawa keras Zenith memecah sunyi.

"Keluarga?" Tanyanya retorik. "Cuih, jangan bercanda."

"JANGAN MELAWAK, SEJAK KAPAN KAMU ANGGAP AKU KELUARGA? BUKANNYA KELUARGAMU HANYA ROSE, JIKA KAMU INGIN TAHU TAK ADA KELUARGA YANG MEMBUANG KELUARGANYA!!"

Samuel menendang vas bunga disampingnya hingga pecah, menimbulkan suara nyaring.

"Kau tidak sopan, harusnya kau sadar kenapa kau tidak bisa dibandingkan dengan Rose."

Nafas gadis itu terengah-engah dia menghirup nafas panjang sebelum kembali menatap penuh amarah ke arah Samuel.

"Tidak ada keluarga yang datang hanya untuk menampar keluarganya," gumamnya pelan, sarat akan luka.

Lily yang melihat itu ikut berkaca-kaca dia mengalungkan lengannya pada leher Zenith. Memeluknya. Berharap Zenith bisa berbagi luka yang sama dengannya.

Samuel berdecih, terlihat muak dengan drama di depannya. "Jangan gila, kau kekanakan."

Lily mengepalkan tangan. Bahkan, ketika sudah mendengar curahan hati zenith samuel sepertinya tidak terusik sama sekali. Sedangkan Zenith tidak heran lagi.

Pria di depannya adalah bajingan yang selalu menyuruhnya mati setiap saat, yang tertawa ketika melihat dia mati, yang menyodorkan pisau di setiap kali kematiannya dengan sebuah kata-kata yang sama.

Gantikanlah adikmu untuk mati.

Zenith melepaskan dirinya dari pelukan Lily, berdiri tegap sambil menatap Samuel lurus.

"Terimakasih sudah percaya padaku, ini kepercayaan pertamamu dalam 16 tahun hidupku dan 17 kali kematianku." Zenith membungkukan tubuhnya. "Terimakasih walau yang kau percaya hanya kebohonganku, kalau kau khawatir aku akan mencoreng nama Eperanto maka singkirkan kekhawatiran itu."

Samuel menyernyit heran. "Lagi-lagi kau bicara omong kosong!" Dengusnya tidak suka.

Zenith tidak peduli. "Aku selalu bertahan di rumah ini, karena kupikir suatu saat nanti aku bisa dipeluk kau dan ayah, bisa menghabiskan waktu menyenangkan bersama kalian seperti Rose. Tapi, itu khayalan bodohku."

Zenith mengambil langkah mundur. "Kali ini alasanku bertahan di rumah ini karena satu hal, karena di rumah ini tersemat nama paling indah sebagai satu-satunya duchnes terbaik di sejarah eperanto, ibuku." Ada nada bangga terselip di setiap kalimat Zenith.

"Aku berdiri bukan lagi sebagai darah murni keluarga eperanto. Tapi, sebagai putri ibuku. Tentang kekuatanku, jangan berpikir bisa merebutnya karena itu warisan dari ibuku!" Tekan Zenith dalam-dalam.

Samuel sedikit terhuyung. "Kau gila?" Sentaknya.

Zenith menatapnya dingin.

"Aku Zenith Nychtas." Gadis itu mengucapkan marga ibunya dibelakang namanya. Pikirannya kembali berantakan, hatinya bergemuruh. Tapi, zenith meyakinkan dirinya sendiri. "Memutuskan hubunganku denganmu, kita bukan lagi keluarga!"

" ... seperti keinginanmu."

ZENITH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang