Zenith keluar dari perpustakaan dengan kepala berdenyut pening, dia berusaha ingat semua. Tapi gagal, seakan ingatannya telah di atur dalam takaran yang pas. Yang mungkin akan pelan-pelan ditambahkan.
Untungnya, satu paragraf yang tersemat di akhir kalimat tadi bisa membuatnya mengerti.
Ini terjadi karena Suho menjual jiwanya, efeknya akan berupa ingatan Zenith yang acak-acakan atau kematian jika Zenith tidak kunjung berubah sebelum kematianya yang ke-17.
"Kau kenapa?" Samuel bertanya khawatir ketika melihat Zenith sempoyongan, nyaris saja jatuh jika tangan gadis itu tidak menumpu tembok.
"Ah?" Zenith mengusak rambutnya, mata bintangnya yang berkilau mampu membuat Samuel lagi-lagi membeku. Zenith secantik sang bunda.
Auranya juga makin berbeda.
"Kau khawatir?" Zenith bertanya dengan sebelah alis terangkat, itu jelas sekali sebuah sarkasme. Mengingat Samuel daridulu tidak pernah sekalipun peduli padanya.
Samuel memalingkan wajah.
"Aku hanya memastikan, tidak ada hal buruk padamu sebelum kekuatan itu jadi milikku sepenuhnya."
Zenith menyunggingkan senyum. "Kekuatan ini?"
Dia lalu meledakan kelopak mawar yang membawanya pergi entah kemana. Samuel mengeram, kesal setengah mati! Apakah gadis itu baru saja menantangnya?
"Gadis sialan itu,"desisnya marah.
***
Zenith hanya ingin istirahat ketika sesosok bocah berambut legam sedang tiduran nyaman di atas kasurnya.
"Kau?" Seru Zenith kaget.
Jisung menegakan tubuh. "Aku menunggumu lama, tau!" Rengeknya dengan nada sebal.
"Kenapa kau menungguku?" Alis gadis itu bertaut. "Terlebih lagi bagaimana kau bisa masuk ke kamarku?"
Jisung berdecak. "Keluarga Jung penyihir, aku harap kau ingat itu."
"Tapi tetap saja tidak sopan masuk ke kamar seorang gadis!" Tukas Zenith.
"Aku tidak menganggapmu gadis tuh," cibir Jisung.
"HEI?!"
"Mana ada gadis yang berteriak seperti itu," timpal Jisung lagi. "Kau bangsawan-bangsawan tau!"
Zenit menghela nafas, ugh ternyata Jisung semenyebalkan ini.
"Baiklah-baiklah, apa yang kau mau?" Tanya Zenith pasrah., engan memperpanjang masalah ini. Meski Zenith ingin sekali berteriak bahwa tidak pernah ada bangsawan yang memanjat kamar seorang wanita.
"Jadi guruku!" Pinta Jisung lantang.
2 hari yang lalu, saat Jisung mengucapkan hal ini bagi Zenith terdengar menggemaskan. Tapi, kali ini amat menyebalkan. Ini terdengar seperti pemaksaan.
Zenith mengacuhkan si pria kecil, dia membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Menyuruh Jisung melompat keluar dengan isyarat tangan. Seakan-akan bilang :
Kalau kau tidak pergi, kau mati!
"Tidak mau!" Jisung malah semakin menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal.
"Keluar atau kita tidak berteman lagi!"
Seketika saja, jisung langsung menghilang bersama desiran angin kuat---efek dari sihirnya. Zenith mendengus. "Kau masih disini Cung!"
Suara kekehan dari sisi lemari terdengar.
"Oke kakak sayang, aku akan kembali lagi muachh."
Sialan!
Bis--bisa bisanya Zenith memerah karena seekor bocah tengil!
***
Zenith sedang berjalan ke taman ketika seorang pemuda bersurai putih menghampirinya. Dia mendekat dengan beberapa ikat bunga.
"Hai!" Sapa chenle.
Zenith menatapnya malas, mengigit bibir pelan. Dia masih saja terlihat tampan! Batin Zenith tidak suka. Jika saja Chenle terkena adzab instan seperti kudisan mendadak misalnya, Zenith bisa saja dengan mudah menghapus cowok itu dari hatinya.
"Hai juga." Zenith mengukir senyum formalitas, tidak ingin terlihat lemah dihadapan cowok itu.
"Bunga di kediaman Eperanto sangat indah." Chenle menyodorkan satu tangkai ke arah Zenith. "Tapi aku baru melihat yang seindah kamu."
Zenith terdiam. Dia telah mencintai cowok ini selama beberapa kali kematian, melupakannya tentu saja tidak semudah membenci Rose.
Melihat Zenith yang terdiam, Chenle terkekeh ringan.
"Kau tidak mau bicara? Marah padaku?" Dia mendekat, menyentuh surai indah Zenith.
Mata gadis itu yang kosong mampu menangkap sebuah objek di atas pohon, objek mungil yang tengah mengerutkan dahinya dengan bibir tertekuk.
Lalu setelah gerakan jari Jisung mengantarkan angin kecil padanya gadis itu merasa hatinya meletup-letup, Zenith dengan berani mengelus dagu Chenle.
"Mana mungkin aku marah pada kakak, dan terimakasih juga soal pujian kakak," kata Zenith. "Tapi aku sudah tinggal dirumah ini selama beberapa tahun, apa kakak buta karena tidak melihatku?" Bisiknya retorik.
" ... atau karena sebelumnya kakak tidak pernah mengangapku sama sekali?"
AKU BALIK BISMILLAH WALAU ABSURD SEMOGA AMPE TAMAT YAAAA
KAMU SEDANG MEMBACA
ZENITH
FantasyNona muda ini selalu mati dan hidup kembali. Tapi, dia selalu menjadi gadis bodoh dan buruk rupa dalam waktu yang lama. Setelah kematiannya yang ke-17 Zenith berubah, dia buang segala hal tentang hidup nona bangsawan. Awal mula perjalanannya yang pa...