Terbuka pada Jisung

3.6K 470 9
                                    

Jisung mengamati wajah cantik yang sedang terlelap, setelah membuat satu keluarga kaget dengan tingkah absurd-nya, kepanikan bertambah ketika Zenith tiba-tiba jatuh pingsan.

Jisung menghela nafas, mengerti jelas perasaan gadis itu. Dia suka menyelinap ke kediaman Zenith. Gadis itu memang terlihat hebat, sudah tidak punya rasa takut, tapi dia masih manusia biasa yang punya emosi. Di buang keluarganya, di sisihkan pelayannya itu cukup membuat mental Zenith berantakan.

Wajahnya pucat dan lelah, bahkan ketika tidur keningnya masih berkerut dalam. Dia bahkan memikirkan masalah dalam tidurnya.

Jisung mengelus surai biru malam Zenith yang menghalangi wajah cantiknya. "Ceritakan padaku masalahmu, jika bisa berbagi denganku, pundakku cukup kokoh untukmu bersandar."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Jisung tertawa kecil. Menggelikan. Dia suka mengintip Chenle yang menggoda Rose atau Zenith.  Tapi, ketika dia mencobanya sendiri itu terdengar horor.

"Eugh!"

Zenith perlahan membuka kelopak matanya, iris sewarna bintang itu menubruk wajah hangat Jisung.

"Aku dimana?"

"Di hatiku."

"Ha?"

"Kau tuli?" Jisung berdecak, ekspresinya kembali tengil. "Aku bilang di kamarku."

Zenith tidak ambil pusing, dia mencoba bangun dari kasur. Kemudian, menubruk tubuh Jisung. Meski sempat terpaku, Jisung menaruh jemarinya di surai halus Zenith, mengusapnya pelan.

"Ada apa? Mau cerita?" Tanyanya pengertian, dia mengubah wujudnya ke bentuk bocah kecil yang imut. Senyum dan tatapan polosnya membuat Zenith yakin.

Seakan bilang, ceritakan semua masalahmu pada jiwaku yang masih polos ini.

Bercerita pada bocah kecil adalah solusi terbaik, mereka tidak akan menjudge dan menilai Zenith seperti orang dewasa memandangnya.

Zenith mengeratkan pelukannya.

"Boleh aku percaya padamu?" Tanya Zenith.

Jisung tersenyum. "Lakukanlah, seperti aku percaya pada kakak!"

Cerita mengalir dari mulut Zenith, tentang Queen, keluarganya, kematiannya, dan kakaknya. Jisung terkejut sampai tidak bisa berkata-kata, dia bahkan tidak peduli saat lengan  bajunya dipenuhi ingus si gadis.

Itu terlalu gila! Penyihir mana yang bisa melakukan hal segila itu. Yang pasti, mungkin orang itu sama gilanya dengan sihirnya.

"Aku benar-benar tidak mengerti hiks .. srooot!" Zenith kembali membuang ingusnya. "Perasaanku tidak pernah mati, aku tetap bodoh. Aku mati di usia ke 16 dan itu terus berulang-ulang. Sekarang, umurku mau 17 tahun. Aku  benar-benar ingin menemukan jati diriku sebelum ulang tahunku."

Jisung mendengarkan sambil sesekali tangannya bergerak mengusak surai Zenith, ingin memberikan ketenangan untuknya.

"Aku tidak pintar, aku tidak kuat, aku juga tidak jahat." Zenith melanjutkan kembali ceritanya. "Tapi yang pasti aku benar-benar bodoh, aku mungkin akan tetap jadi pecundang jika Queen tidak datang."

Jisung hanya bisa terpaku miris, kehidupan Zenith sama anehnya dengan kelakuan gadis itu.

"Kau tahu Cung?"

"Belum tahu."

"Yasudah, aku beri tahu." Zenith menjauhkan dirinya dari pelukan Jisung. "Aku tidak pernah meledak, setiap hari, setiap bangkit dari kematian yang menyakitkan, setiap terluka karena kakak dan ayah."

"Kenapa?" Jisung mengernyit heran, gila saja. Berkali-kali mati, gadis itu tetap bodoh dan lemah.

"Aku pikir awalnya karena aku benar-benar cinta keluargaku ..." suara gadis itu berubah lirih. "Tapi nyatanya itu karena aku ketakutan."

Zenith sudah meredakan tangisnya, dia kini menatap kosong ke luar jendela. Kakinya di lipat di depan dada, lengannya menumpu wajah putus asa.

"Takut?" Jisung semakin heran.

"Ya takut, sangat takut, aku hidup sendirian di rumah itu, di sisihkan dan dibuang aku bahkan tidak punya pelayan yang berpihak padaku. Aku takut, sangat takut hingga rasanya mau gila."

Jisung mengepalkan jemarinya, nada emosional Zenith mampu mengusik perasaanya. Ini mungkin sebuah rasa yang di sebut empati? Amarah? Khawatir? Atau perasaan tak enak karena tak mampu melindungi 'miliknya'?

"Setelah Queen datang, aku bukan kuat karena sihirnya, tapi karena kehadirannya yang membuatku merasa tak sendirian lagi. Aku hapus rasa takutku, tapi aku juga masih manusia normal, aku emosional." Queen mendongak guna menghalau air matanya yang mau jatuh lagi.

"Padahal aku sudah berjanji pada Queen untuk tidak menangis lagi, tapi ketika Queen pergi, aku kembali sendirian, aku kemballi ketakutan."

Jisung mengehentikan ucapan Queen dengan sebuah pelukan, wujudnya jadi pria tampan yang memasang seraut ekspresi menenangkan.

"Kata siapa kakak sendirian? Kakak punya aku, satu pria yang punya dua cinta." Sahutnya dengan nada lembut tapi masih tersemat kerlingan tengil yang sudah jadi ciri khas Jisung.

Zenith diam, Jisung mengengam tangannya,mensejajarkan tubuh mereka. Membiarkan Queen menyelam pada iris kelamnya yang menengelamkan.

"Kakak punya aku, jika kakak percaya padaku jangankan hanya kediaman Eperanto aku bahkan bisa melawan seluruh istana untuk kakak"

ZENITH Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang