Sudah lima belas menit berlalu setelah kejadian lari-larian di koridor rumah sakit. Caffa tidak bisa berpikir jernih, kalau bukan Kaya yang mengabari Pukis mungkin sampai sekarang Pukis belum tahu.
Kaya duduk di kursi tunggu, darah di pelipisnya mulai mengering, beberapa menit lalu seorang suster ingin mengobati luka gadis ini, namun menolak takut Kakaknya tiba ia tidak ada.
Caffa mondar-mandir, air matanya menetes deras, gadis berambut pendek ini tidak menyangka melihat kekerasan tepat di depan mata, tambah lagi korban adalah Kakaknya sendiri.
Suara derap langkah cepat mengintruksi kedua gadis yang sama kacau. Kaya berdiri ketika melihat Lio semakin mendekat.
Wajah Khawatir Lio berubah tegang, tangan besar miliknya menyetuh darah yang telah mengering di pelipis Kaya. "Siapa yang lakuin ini, Kaya?"
Kaya terdiam, menunduk. Suara Lio begitu rendah terkesan sangat dingin, ia tahu betul Kakaknya sedang menahan emosi.
Melihat keterdiam itu, Lio beralih mendekati Caffa, mencengkram bahu gadis yang terlihat sangat menyedihkan, mata sembab, wajah basah karena air mata, rambut lepek akibat tangis yang tak kunjung redah. Namun, Lio tidak perduli, ia malah membentak gadis itu. "Lo apain Adik Gue?!" bukannya jawaban yang di dapatkan Lio tapi bahu bergetar gadis itu semakin menjadi.
Kaya mendekati mereka. Merangkul Caffa, takut gadis di sampingnya semakin tertekan karena ulah sang Kakak. "Bang Io, Caffa gak tahu apa-apa, jangan gitu, Caffa lagi sedih."
Lio tidak menggubris ucapan Kaya, semakin kencang mencengkeram bahu gadis di hadapannya hingga sang pemilik bahu meringis pelan. "Sekali lagi gue tanya, lo apain Adik gue?!"
Caffa semakin tersegugu, bukan ingin menutupi kebenaran hanya saja mulutnya keluh akibat tangis tidak ingin berhenti.
"Lo bud---" ucapan Lio terhenti saat tangan yang bertengger di bahu Caffa terhempas, pandangan marah berkobar di bola mata gadis itu tapi, bila Lio boleh jujur itu terlihat lucu. Caffa melotot marah dengan mata sembab, pipi chubby basah, poni Dora yang lepek akibat keringat. Secepat kilat lamunan lenyap saat dorongan kecil yang gadis itu lakukan.
"Kenapa tanya aku! Tanya temen gila Kakak, apa yang dia lakuin sama kita, temen Kakak Monster, dia udah buat Kakak aku kesakitan!"
Seseorang menyetuh punggung Caffa, menoleh. Di sebelahnya berdiri Pukis dengan sisa tangis serta kekhawatiran. "Caffa jangan teriak, Sayang. Kita berdoa semoga Kakak baik-baik aja."
Caffa memeluk tubuh wanita paruh baya itu. Ini adalah hari yang menakutkan, biasanya kabar tentang Saka selalu membanggakan. Namun, kali ini kabar menyedihkan.
Pukis balas memeluk anaknya, ia juga terpuruk tapi, Pukis berusaha kuat agar dapat menenangkan sih bungsu. Pandangan wanita paruh Baya ini teralih pada wajah Kaya.
"Kaya, pelipis kamu, Nak."
"Kaya gak apa-apa, Bunda." Kaya tersenyum hangat.
"Gak apa-apa gimana, kamu obatin sana minta tolong sama... kamu siapa tolong temenin Kaya." Pukis beralih menatap lelaki yang di teriaki oleh anaknya tadi, melihat seragam mereka sama, Pukis berani meminta tolong.
"Saya Kakak Kaya." Lio menggandeng Kaya. Pergi tanpa mengatakan sepata kata apa pun.
Pukis hanya tersenyum, memaklumi tingkah kurang sopan anak jaman sekarang.
🕊️🕊️🕊️
Melirik Lio yang berdiri samping ranjang tempat ia duduk dan seorang wanita berpakaian putih khas perawat tengah melilit kain kasa di pelipisnya. Gadis ini tahu bahwa Lio sedang marah dan kesal akibat tidak becus menjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYANTA (ON GOING)
Teen FictionWarning : Banyak kata-kata kasar dan kekerasan. Ini tentang Gadis Bernama Kayana Aldaria yang mengklaim teman Kakaknya sebagai cinta pertamanya. Tentang perjuangan Kaya, mengejar lelaki yang bahkan enggan menatapnya. Tentang bagaimana ia berusaha un...