42. Tidak Terkendali

4.4K 240 15
                                    

Wanita paruh baya menghampiri suaminya di teras, sang suami mendesah frustasi setelah mematikan sambungan telepon. Ia usap lembut bahu suaminya.

“Kenapa? Ayah nggak bisa perpanjang cuti?” Tdak ada jawaban, lelaki yang ia tanya merespon dengan memijat pelipis.

“Mungkin Ayah nggak kerja di sana lagi. Ayah nggak akan bisa kerja saat seperti ini,” balas lelaki paruh baya itu setelah cukup lama hening. Beranjak duduk di kursi teras, tempat istrinya menghabiskan waktu menunggu kabar sang putri.

Lenggang sesaat, mereka berkecamuk. Keluarga ini seperti kehilangan arah saat si bungsu kesayangan setiap manusia di dalam rumah itu menghilangkan tanpa titik terang, tidak ada yang bisa membantu, bahkan keluarga jauh mereka yang mencoba ikut memcari hasilnya tetap sama, para aparat kepolisian apa lagi.

Fina kembali mendekati suaminya yang duduk, ikut duduk di kursi sebelah. “Umur Ayah gak mudah lagi, jika Ayah berhenti berkerja akan sulit mencari pekerjaan lagi, apa lagi posisi Ayah pada perusahaan itu tinggi, kita sudah membicarakan ini sebelumnya, bahwa kita masih bertanggung jawab untuk Lio, jika Ayah berhenti bekerja bagaimana kelanjutan pendidikan Lio, serta kebutuhannya.”

Wajah Reno semakin gusar, pening semakin menghantam kepalanya, kewarasan di pertaruhan saat putri yang selalu ia jaga mati-matian dengan mudah dibawa lelaki lain, dan dirinya tidak dapat bertindak lebih. “Bagaimana Kaya, Bun. Sampai kapan putri kita terjebak bersama anak iblis itu.”

“Yah, kenapa kita nggak terima saja penawaran teman Kaya, setidaknya di saat Ayah kerja ada orang-orang buat cari Kaya.”

Reno menoleh pada wajah lugu Fina, istrinya masih tidak menyadari siapa yang mereka hadapi. “Bun, meraka akan tetap sama, bungkam saat berhadapan dengan kekuasaan Ayah anak itu, kita lihat sendirikan, Ayah anak itu bahkan bisa membeli hukum.” tekan Reno agar istrinya mengerti.

Fina menggenggam erat tangan suaminya, tersenyum. Sepanjang sore tadi Fina merenung, bahwa ia cukup egois, terus berkabung dan membiarkan suaminya berpikir sendiri, jangankan meringankan ia malah menambah beban dengan kesedihan.

“Apa salahnya kita coba, Yah. Bunda bukan mau meremehkan Ayah, tapi apa yang kita harapkan dengan Ayah mencari sendiri sedangan lawan Ayah orang-orang seperti mereka.”

Hening kembali mencuri dialog suami istri ini. Fina menunggu jawaban suaminya sedangan Reno masih berpacu berpikir.

Cukup lama, helaan napas berat menjadi pemecah keheningan. Reno akhirnya mengangguk, tidak salah mencoba pendapat istrinya.

Suara bising motor besar mengalihkan atensi mereka. Lio turun membuka pagar, pakaian sekolahnya tadi pagi terlihat kotor, celana abu-abunya robek dibagian lutut.

Kedua pasangan paruh baya itu cemas, berdiri menghadang putra mereka yang hendak memasukan motor ke gerasi. Kecemasan mereka semakin mendidih melihat motor Lio penuh lecet dan penyok.

Lio terpaksa kembali turun dari motor saat kedua orang tuanya menghadang jalan menuju gerasi. Melepas helm, memperlihatkan wajah kusut serta lelah, hal pertama kali yang Lio dapatkan adalah pelukkan Fina.

Terdengar suara tangis, membalas pelukan dari wanita yang melahirkannya tidak kalah erat. “Bunda jangan nangis.”

“Kecelakan kecil Bun, Lio gak apa-apa kok.”

Fina menggeleng, menangis tersedu. “Maafin Bunda, Nak. Bunda gak perhatiin kamu, kamu pasti kesepian.”

Lio menghapus aliran sungai kesedihan di pipi Bundanya, tersenyum lembut. “Bun, Lio bukan anak kecil lagi, Lio ngerti keadaan kita sekarang, fokus kita sekarang ke Adek.”

KAYANTA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang