Wajah Kaya memerah. Bibir terbuka, berusaha mencari oksigen, sedangkan kedua tangannya berusaha melepaskan cekikan Arga yang semakin erat.
“Berani lo main-main, ha! Gue gak akan biarin lo seperti wanita penghianat itu!”
Cairan bening mengalir di sudut mata Kaya yang kian sayu, bahkan tenaga untuk melepaskan lengan Arga semakin melemah.
Melepas cengkramannya ketika melihat aliran dari sudut mata Kaya, seakan sadar dengan tingkah tidak terkendalinya. Ia menjauh, pandangan datar tanpa ekspresi menatap gadis yang dengan rakus mengambil napas, terdengar segugukan tangis di sela-sela hembusan napas yang kekasihnya ambil.
Arga beranjak keluar dari kamar, meninggalkan Kaya meringkuk bagai janin karena ketakutan. Ia memilih duduk di sofa menatap telivisi menyala dari tadi.
Cetar!
Remote terlempar ke televisi, bayangan Kaya yang tersiksa di bawah kukunganya terus berputar.
“Ini semua gara-gara lo, wanita sialan. Seharusnya lo gak ninggalin rasa takut kayak gini.” Meja kaca yang di hadapannya menjadi sasaran sampai pecah.
Meremas rambut frustasi. Ia mencintai Kaya, sangat. Namun, bayang-bayang sang Ibu pergi, meninggalkan kehidupan berantakan untuknya dan rasa sakit untuk Basta hingga bertahun-tahun membuat Arga selalu mengatur pergerakan Kaya, agar gadis itu tidak mempunyai cela untuk pergi dari hidupnya.
Cukup lama Arga meninggalkan Kaya untuk menenangkan emosi. Sedangkan gadis itu mulai turun dari ranjang, tidak perduli dengan wajah kacau, ia sempat menangis hebat saat mendengar suara pecahan dari luar kamar.
Kaya ingin keluar dari apartemen Arga, rasa takut yang mendominasi membuat ia gegabah melangkah, melupakan serpihan yang berserakan
“Aw!” Kaya berjinjit kembali ke ranjang, duduk pada tepian. “Bang Io, sakit.” ia menutup wajah dengan telapak tangan ketika melihat darah mengucur pada telapak kakinya.
Semakin erat menutup wajah saat merasakan usapan pada kepala. Ia tau siapa yang melakukan itu, dan tanpa bisa dikendalikan rasa takut Kaya semakin menjadi, tangisnya kian pecah.
“Atur napas lo.” Arga menarik kepala Kaya agar menempel di perutnya, memeluk gadisnya agar tenang.
Terasa mulai membaik, Arga mengurai pelukan itu, berjongkok menatap mata sembab Kaya. “Jangan bandel.” Menghapus pelan sisa tangis di pipi gadisnya
Meletakkan kaki Kaya di atas dengkulnya, mulai mencabut serpihan kaca kecil yang tertancap. “Tahan sayang,” ucapnya ketika melihat wajah kesakitan Kaya.
Kembali berdiri, mengecup kening kekasihnya. “Jangan bergerak tunggu di sini.”
Kaya menatap kepergian Arga. Tingkah manis lelaki itu tidak membuat rasa takut Kaya pudar, ada sedikit rasa menyesal ketika tidak mendengarkan kata-kata sang Kakak. Jika tahu begini Kaya memilih sakit hati saja.
tidak lama Arga datang dengan membawa kotak obat, lelaki itu kembali berjongkok, mulai mengobati telapak kaki Kaya dengan telaten dan membungkus luka itu dengan kain kasah.
Setelah selesai, duduk sebelah sang kekasih. Menyingkap rambut yang menutupi leher Kaya, menatap datar bekas cekikkan tadi.
“Laper?”
Kaya menggeleng kaku, merinding ketika Arga terus mengusap bekas cekikan di lehernya.
“Tidur di sini, nanti subuh aku anter.”
“Tap--”
“Jangan bandel.”
Kaya diam, tidak berani berkata-kata lagi. Jika dulu otaknya selalu di penuhi dengan rencana bagai mana cara untuk memiliki Arga sekarang telah berganti dengan bagaimana bisa lepas dari Arga.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYANTA (ON GOING)
Teen FictionWarning : Banyak kata-kata kasar dan kekerasan. Ini tentang Gadis Bernama Kayana Aldaria yang mengklaim teman Kakaknya sebagai cinta pertamanya. Tentang perjuangan Kaya, mengejar lelaki yang bahkan enggan menatapnya. Tentang bagaimana ia berusaha un...