41. Masa Lalu.

4K 241 25
                                    

Deruh napas pelan namun, begitu berat dalam ruangan redup. Cahaya yang lewat dari vantilasi sudah tidak ada lagi, ruangan itu semakin gelap, segelap iris lelaki yang terduduk dibalik pintu. Entah sudah berapa lama ia bertahan pada posisi itu.

Pilu lelaki ini rasakan tapi, siapa yang peduli. Orang-orang hanya tahu dirinya lelaki pemberontak, egois, urak-urakkan, pengacau dan semua kata negatif lainya.

Suara mobil berhenti seolah-olah menjadi alarm untuknya, berdiri. Gelap balik bola matanya membuat lelaki ini tersadar bahwa matahari telah berpulang.

Helaan napas menjadi pemisah antara sisi lain yang selalu ia sembunyikan sebelum membuka pintu lebar nan tinggi di belakang punggungnya. Berbondong-bondong cahaya masuk menyerbu ruangan gelap dan apak itu ketika pintu ruangan terbuka lebar.

Wanita paruh baya muncul setelah berlari kecil. “Tuan, baru saja saya mau ketuk pintu.” Rita tersenyum ramah.

Ia tatap datar pemilik suara tadi. “Gue nyuruh lo, teleponkan? Bukan datang ke sini.”

Rita tertunduk takut. Tahu tuan mudanya dalam keadaan berantakan, tidak ingin memancing masalah, ia segara menunduk, bergumang kata maaf.

Arga tidak menggubris, lelaki ini melangkah mendekati orang suruhannya bersama dengan dokter wanita yang mengurus gadisnya di rumah sakit waktu itu.

Setelah kepergian sang tuan, buru-buru Rita menutup pintu yang sejak awal telah dilarang untuk terbuka meski sesenti pun.

Sedangkan Arga, berdiri tenang diantara kedua manusia berbeda jenis kelamin itu.

“Tuan, ini dok--”

“Pergi!” Arga memotong ucapan yang menurutnya tidak penting sambil mengibaskan tangan.

Tidak perlu diperintah dua kali lelaki berkulit coklat, tinggi, dan liat pergi.

Tanpa banyak bicara ia melangkah santai mendekati kamar gadisnya yang tertutup. Dokter wanita yang sebenarnya jengah berurusan dengan keturunan Yudha hanya pasrah mengikuti langkah kaki lelaki tinggi itu.

Pintu terbuka, terlihat Ririn menoleh kaget disisi tubuh Kaya yang betah menutup mata.

“Apa yang lo lakuin?!” Arga melangkah cepat, memindai gadisnya yang terbaring lebah, memastikan jika tidak ada hal aneh terjadi

“Ririn cuma benerin selimutnya doang kok Arga,” jalasnya, ia tekan keras keras suaranya agar tidak terdengar bergetar, Ririn cemas, takut lebam yang ia tambah disadari oleh Arga.

“Keluar!”

Dokter dan gadis berambut seperti laki-laki yang ada di sana terkejut ketika mendengar suara teriakan Arga.

Ririn tahu, itu untuk dirinya. Buru-buru keluar dengan perasaan lega, lebam yang ia ciptakan di lengan Kaya tidak ketahuan.

Setelah kepergian Ririn, Arga memberi isyarat untuk dokter dewasa yang berdiri kaku di samping ranjang. “Gadisku belum bangun dari tadi siang.”

Arga memberi penjelasan ditengah-tengah kegiatan dokter memeriksa.

“Tidak ada yang serius, ia hanya pingsan karena syok terjatuh, lukanya juga tidak terlalu dalam, besok mungkin sudah kering.” dokter tersebut mulai menjauh membenahi barang yang ia keluarkan ke dalam tas.

“Dia gak sadar dari tadi siang!” Arga kembali emosi, merasa tidak puas dengan jawaban dokter wanita di hadapannya.

Sang dokter menghela napas. “Sepertinya ia kurang istirahat, jadi lama untuk sadar karena tubuhnya juga lemah.”

Diam, Arga tidak membantah, ia juga tahu bahwa tidur gadisnya sangat tidak cukup akibat selalu menangis di tengah malam.

Melihat tidak ada lagi cegahan wanita dewasa berbalut jas putih kembali membenahi peralatannya.

KAYANTA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang