14. Masa Lalu.

8.5K 411 4
                                    

Suara geraman terdengar nyaring dalam ruangan temaram, diiringi dengan suara pukulan samsak. Dering ponsel terus berbunyi dari tadi ia hiraukan ketika melihat nomor dari wanita yang selalu saja memancing emosi. Beberapa saat kemudian, berat hati lelaki berpeluh itu angkat, ketika tidak ada niatan dari penelepon untuk berhenti.

"Mama bakalan buat Papa alihin semua warisan ke aku, Kakak gak akan dapet apa pun. Tapi, Kakak bisa dapetin semuanya kalau Kakak mau nurutin rencana aku."

Suara dari seberang telepon menggema di pendengaran Arga. Muak dengan sikap Ibu dan anak yang sialnya menjelma menjadi anggota keluarga. Jadi apakah Arga bisa tidak dendam pada semua wanita terkecuali gadisnya?

"Ambil semuanya. Lo itu buruk rupa. Hati lo busuk, muka lo gak kalah busuk! Jadi setidaknya lo harus kaya supaya ada poin plus sedikit. Nurutin rencana lo, dengan nikah sama lo? Adik tiri yang malang, gue gak akan hidup satu atap dengan cewek penyimpan bangkai kayak lo." Tidak ada bentakan di sana, hanya suara berat yang terkesan lembut tapi menusuk. Arga mematikan sambungan telepon itu.

Memutuskan kembali memukuli samsak. Darah telah mengering di wajahnya kembali basah bercampur keringat. Dalam keadaan emosi ponselnya kembali berdering kencang, bahkan berkali-kali. Tanpa melihat siapa penelepon Arga langsung membanting ponselnya hingga hancur.

"Brensek!" Arga memukuli dadanya begitu kencang saat kenangan menyesakan itu tiba, saat hari itu terjadi, hari seperti gerbang penderitaan bagi Arga.

"Apa yang ada di pikiran kamu Lisa!" Teriakan lelaki begitu kencang diluar kamar Bernuansa biru langit.

"Kenapa?! Inilah kenyataannya! Aku terpaksa. Papa selalu mengecam akan bunuh dia kalau aku gak menikah sama kamu! Dan sekarang Papa udah gak ada, aku akan pergi sama dia!" Wanita dewasa itu membalas dengan tidak kalah berteriak

Di balik pintu kamar bernuansa biru muda, Anak kecil berusia delapan tahun mengintip kedua orang tuanya sedang berdiri berhadapan dengan amarah besar saling melingkupi. Sedangkan di pintu keluar lelaki dewasa santai menunggu pertengkaran itu.

Lelaki dewasa yang berteriak marah tadi berubah menatap sendu wanita di hadapannya. "Pikirkan lagi baik-baik, Sayang. Apa yang kurang dari aku, aku bisa kerja lebih keras jika kekayaan ini kurang, Lisa sayang, kita punya putra, bagaimana keadaanya nanti, ayolah Lisa kembali." Tertunduk di bawah kaki sang istri, menyerahkan segala harga dirinya pada wanita yang teramat ia cintai.

Wanita rambut sebahu ini mundur, menghindari tangan lelaki yang ingin menyentuh tangannya. "Gak! Aku gak peduli dengan apa pun yang ada di rumah ini. Aku akan pergi sama dia. Bahagia sama dia, itu impian terbesarku, membentuk keluarga bersama dia bukan sama kamu!" Ia menggeret kopernya mendekati lelaki di depan pintu, pergi tanpa repot menoleh.

"Lisa sayang, kembalilah kumohon, Lisa." Semakin tertunduk, tubuhnya meyeluruh ke lantai, memadukan rasa sakit bersama lantai yang dingin.

Sedangkan di balik pintu putih, anak lelaki yang sendari tadi mengintip berdiri dengan tangis. "Gaga nakal. Mama jadi pergi, Papa sedih. Ini semua salah Gaga."

Dan malam itu meluruhkan segala hormat anak lelaki ini untuk perempuan. Ia membenci perempuan ketika mengingat wajah Ayahnya yang berbulan-bulan murung bagai tidak ada kehidupan.

🕊️🕊️🕊️


Entah sudah berapa kali gadis yang telah rapi dengan pakaian sekolah ini, menatap pantulannya di cermin. Sudah tidak sabar untuk bertemu seseorang. Bahkan rela bangun pagi-pagi sekali demi membuat nasi goreng untuk lelaki itu.

Keluar menuju dapur. Di meja makan semua penghuni rumah telah duduk menunggu dirinya, ia melangkah dengan senyum yang terus mengembang.

"Gila? Senyum-senyum terus dari tadi." Lio mulai menyendok nasi gorengan, terkekeh sebelum di suap, tahu jelas kenapa adiknya begitu bersemangat hari ini.

KAYANTA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang