Seorang wanita paruh baya tergopoh-gopoh berlari menaiki tangga menuju kamar lantai dua, tempat majikannya berada.
Ia ketuk beberapa kali pintu kamar yang tertutup rapat, barulah wanita ini masuk setelah mendengar instruksi dari dalam.
Di dalam kamar Arga berdiri samping kasur, memandang wanita paruh baya yang tampak ngos-ngosan. “Sekah tubuh gadis gue, ganti pakaiannya. Gue di kamar utama, telepon jika sudah bangun.”
Mulai meninggalkan kamar ketika sudah mendapatkan anggukan dari orang yang ia suruh. Di ambang pintu yang terbuka lebar, Arga melihat gadis berambut pendek hendak masuk untuk menemani ibunya.
“Rita.”
Si pemilik nama menoleh, menatap punggung yang membelakangi dirinya.
Arga tidak berbalik memandang lawan bicara, pandangnya jatuh pada gadis yang ikut menghentikan langkah. “Lo tahu gue gak pernah pandang bulu, kalau ada orang yang berani menyakitinya selama gue gak ada, itu tandanya dia cari mati.”
Rita mengikuti arah pandang tuan mudahnya, di sana, dekat tangga berdiri Ririn. Tahu ucapan itu tertuju untuk putrinya. “Iya, tuan.”
Kembali melangkah, tujuan Arga adalah ruangan ujung sayap kiri, kamar paling besar. Pada langkah terakhir pintu kamar berukiran itu sudah terbuka lebar. Ia yakin, pelaku yang sangat lancang itu pastilah kekasihnya sendiri.
Arga masuk ke dalam, menutup pintu lebar itu rapat-rapat. Ketika cahaya dari luar telah terhalang oleh pintu yang tertutup, runtuh sudah pertahanannya, terduduk di lantai. Dadanya nyeri, dendam bergejolak bersama rasa bersalah dan menyesal. Menangis pilu dibalik pintu.
Kamar luas penuh kesakitan itu dibuat kedap suara hingga Arga leluasa menangis. Ketika memasuki menara dan melihat gaun yang di kenakan gadisnya, kenangan yang apak tapi menyakitkan kembali menguap.
Dendam pada wanita yang melahirkannya kembali bergejolak, hingga emosi tidak dapat terbendung. Arga selalu menangkis rasa sakit agar tidak terlihat rapuh, mengalihkan semua masa lalu buruknya dengan emosi, dan sial gadisnya sendiri menjadi sasaran emosi itu.
Menyesal dan bersalah. Menyesal tidak dapat mengendalikan diri, masih berputar dipikirannya ketika dengan begitu kasar menarik Kaya turun dari tangga curam. Kemungkinan menyakitkan terus mengepung kewarasan Arga.
Bisa saja gadisnya terjatuh dari anak tangga paling atas, atau bisa saja gadisnya jatuh di pembatas tangga hingga ke bawah. Kehilangan Kaya adalah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Arga, ia tidak ingin mengalah lagi, sudah cukup lelaki ini mengalah pada takdir dengan membiarkan masa kecilnya terenggut, membiarkan kedua orang tuanya pergi menyisahkan ia bak yatim piatu, membiarkan semua orang memfitnah. Untuk gadisnya, ia tidak ingin mengalah.
Saat melihat darah mengalir di pelipis Kaya, belum lagi lecet akibat gesekkan anak tangga saat terjatuh. Arga benar-benar merasa bersalah, ia tidak becus menjaga miliknya.
“Aghhh!!!” Arga memukul-mukul lantai, meluapkan emosi. Lintasan foto serta gaun di menara tadi terus berputar.
“Pergi lo wanita sialan! Jangan ganggu gue! Pergi dari otak gue!” Arga kesetanan dengan memukul kepala sendiri ketika bayang-bayang bersama wanita itu semasa kecil berputar tanpa bisa dicegah.
“Aghh!” Meraung hebat, meluapkan rasa sakit pada ruangan yang seakan menikam, bahkan darah segar mengalir pada sela-sela jemarinya akibat memukul lantai pun tidak sadar.
🕊️🕊️🕊️
Rita mulai melaksanakan tugas, membuka semua pakaian Kaya, menyisahkan pakaian dalam. Ia menyekah pelan tubuh lemah gadis remaja itu hingga selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAYANTA (ON GOING)
Teen FictionWarning : Banyak kata-kata kasar dan kekerasan. Ini tentang Gadis Bernama Kayana Aldaria yang mengklaim teman Kakaknya sebagai cinta pertamanya. Tentang perjuangan Kaya, mengejar lelaki yang bahkan enggan menatapnya. Tentang bagaimana ia berusaha un...