22. Keluar Malam.

7.3K 396 12
                                    

Cukup lama berdiri di balik pintu, lelaki ini masih mencoba menguasai amarah yang tiba-tiba berkibar dan tidak bisa terkontrol, ingatannya kembali pada kejadian semalam, kejadian yang semakin membuatnya kian erat merangkap gadis pemilik mata coklat terang itu, ia tidak ingin menjadi bodoh seperti lelaki di balik pintu yang begitu sulit untuk ia buka.

Setelah membersikan tubuh Arga mulai melangkah keluar, ingin menikmati makanan favoritnya. Namun, langkahnya tertahan di ambang pintu ketika mendengar lirihan di arah sofa, tempat mereka biasa mercanda tawa dulu.

“Lisa, lima tahun lagi, lima tahun lagi seharusnya impian itu terjadi, di mana aku mulai pensiun dan anak kita meneruskan semua usaha ini, lalu kita menghujudkan mimpi untuk menikmati masa tua bersama, berkeliling kota bersama. Aku gak nyangka Lisa, semua perlakuan kamu hanya tipuan, tapi kenapa tipuan yang kamu buat begitu menyenangkan.”

Napas Arga memburuh, sangat sensitif jika berkaitan dengan wanita itu. Berusaha membuka pintu, meski amarahnya masih bergejolak. Ketika pintu terbuka, menampilkan lelaki paruh baya yang duduk di kursi kerja, sedangkan di sofa panjang berhadapan lurus dengan meja kerja ada dua wanita dengan ekspresi sedih dan tersakiti.

Arga berdecak pelan melihatnya, Mencoba abai, menghampiri kursi kebesaran Basta.

“Kenapa?” Tanya Arga langsung.

Basta mulai mengangkat pandangan yang semula tertunduk, memandang kedua wanita di hadapannya, memberi kode agar keluar. Namun, salah satu wanita itu seperti menentang lewat tatapan.

“Keluar Maudy.” Desis Basta.

“Kenapa?! Aku ingin tahu bagai mana jawaban anak tidak tah--”

“Cukup! Keluar!!”

Maudy kaget mendengar bentakkan itu, ia mulai gentar. Merangkul putrinya agar ikut keluar, belum habis tubuhnya tertelan pintu ia kembali bersuara. “Kamu harus tepati janji, anak yang di kandung putriku harus dapat pertanggung jawaban.”

Pintu tertutup menyisakan kedua ayah dan anak di dalamnya. Basta mengintruksi lewat pandangan untuk duduk di sofa.

Arga duduk, wajahnya masih menyimpan emosi. Ingatan kembali pada kejadian semalam, di mana keadaan sang Ayah sangat memperhatikan. Bertahun-tahun berlalu, Ayahnya masih menyimpan cinta beracun dari wanita itu, memendam rindu hingga menjadi bau bangkai.

“Kamu sudah sangat-sangat keterlaluan, Arga,” Basta berucap lirih, terlihat jelas kerutan lelah di wajahnya.

Sedangkan Arga masih santai menunggu fitnah apa lagi yang di lempari padanya.

“Kali ini Papa tidak bisa membersihkan masalah kamu, kamu harus tanggung jawab.”

Masih diam, Arga masih menyimak dengan baik perkataan ayahnya.

“Setelah semester ini, kamu harus segera menikahi Stella, mempertanggung jawabkan perbuatan kamu.”

Arga mengangkat satu alisnya, mengepal tangan kuat, menahan emosi. “Cerita apa lagi yang di buat putri kesayangan anda itu?”

“Arga! Berhenti bertele-tele seperti tidak bersalah. Satu bulan lalu Stella ketahuan hamil akibat perbuatan bejatmu itu!” Basta mulai menegakkan tubuhnya, menatap tajam sang putra.

“Saya gak niat menikahi putri liar anda yang selalu mengarang cerita.”

“Mengarang cerita? Kamu bahkan tidak menunjukan bukti bahwa kamu tidak salah. Bagaimana ini di bilang cerita omong kosong?!”
Basta mulai murka tanganya terkepal kuat di atas meja.

Tidak jauh dari Basta, Arga pun sama. Emosinya kian meluap, matanya memerah menatap sang Ayah, tatapan penuh dengan kekecewaan. “Apakah harus ada bukti untuk seorang Ayah mempercai anaknya.”

KAYANTA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang