Semuanya bermula di hari pertama kuliah. Gue masih jadi maba alias mahasiswa baru, posisinya belum kenal siapa-siapa saat itu. Sialnya, gue malah telat masuk kelas karena gak tahu letak ruangannya dimana.
Satu hal yang gue syukuri saat itu adalah dosen yang belum dateng. Sementara satu hal yang gue rutuki adalah kedatangan gue di ambang pintu kelas tentu menarik perhatian semua mahasiswa yang satu kelas sama gue.
Gue inget banget pas baru ngetuk pintu yang sebenernya gak tertutup itu, semua mata langsung mengarah ke gue. Beberapa langsung berpaling, sementara beberapanya lagi memilih bertahan, sebelum kemudian menyapa sok asik dan menawari tempat duduk.
Tapi pilihan gue jatuh di bangku nomor dua dari arah paling belakang dan bersebelahan langsung sama dinding serta jendela yang menyajikan view dari lantai tiga.
Karena bakalan sulit buat menjangkau duduk di kursi yang gue pilih, repot dan males juga kalau harus bilang permisi-permisi mulu karena ngelewatin banyak orang, jadi gue memilih buat lewat deretan bangku paling belakang. At least cuman ada tiga cowok yang harus gue lewatin.
"Sorry, permisi." ujar gue sebelum menyeberang ke kursi yang gue pilih.
Sialnya, ada satu kaki yang tiba-tiba melintang, membuat gue harus tersandung dan hampir jatuh kalau aja gak dengan tanggap berpegangan pada kursi terdekat.
"Eh, sorry."
Gue menoleh ke arah si pemilik kaki.
Entah apa cowok itu sengaja atau enggak, tapi jujur gue sebel karena tampangnya serampangan dan terlihat gak ikhlas pas bilang maaf. Harusnya dia menunjukkan sedikit ekspresi bersalah, kan, kalau dia orang waras? Lah ini malah nyengir.
Gue gak meresponnya, hanya langsung lanjut jalan dan duduk.
"Gellar Morgan Januar?"
"Hadir."
Gue melirik ke bangku belakang sekilas.
Oh, namanya Gellar.
**
"Kalian bukan siswa SMA lagi. Jadi bikin kelompok gak perlu dosen yang bagi, kan?"
Pertanyaan retoris itu terdengar sebagai detik-detik penutupan kelas pertama Senin itu. Gak lama setelah dosen keluar, suara berisik di kelas langsung terdengar begitu aja. Semua mahasiswa pada sibuk rundingan cari anggota kelompok untuk mata kuliah ini.
"Eh, sekelompok sama gue, yuk?"
Cewek di sebelah gue menjawil lengan gue.
Karena gue juga gak tahu mau sekelompok sama siapa, gue mengiyakan.
"Boleh."
"Gue Rea," dia mengulurkan tangan. "Kita butuh tiga orang lagi. Satu kelompok lima orang, kan?"
"Empat atau lima," ujar gue meralat. "Gue Tita."
Rea baru mau buka mulut entah buat ngomong apa, tapi seseorang memanggil gue.
"Eh, Tit."
Who the fucking hell call me by TIT.
Gue menoleh ke belakang dengan tatapan kesal.
Lagi-lagi ternyata cowok itu. Gellar.
Dia menyeringai lebar. "Lo join aja sama kita bertiga," katanya sambil menunjuk diri sendiri dan teman cowoknya di kanan dan kiri. "Atau kita aja yang join kelompok lo?"
Gue mengernyit aneh melihatnya. Sama aja, Sinting.
Sayangnya, Rea langsung semangat duluan.
"Oh, pas! Oke, lo join aja sama kelompok gue. Kita baru berdua, kok."
"Re—"
"Nanti langsung ngerjain gimana?" Gellar memotong ucapan gue. "Dicicil aja dulu dikit-dikit."
Satu temen Gellar yang kulitnya paling gelap di antara yang lain membuka suara. "Kenalan dulu, kali. Udah diajak ngerjain aja."
"Gue Echan," cowok kulit sawo matang itu bersuara. "Ini temen gue. Dia mengidap penyakit sariawan stadium lima. Namanya Jordan. Nah, yang bacot dari tadi ini Gellar."
"Gue Rea, ini Dita," kata Rea sambil menunjuk gue.
"Tita," ralat Gellar. "Ya, kan, Ta? Gue tadi denger dosen pas nge-absen, namanya Claradia Tita, bukan Claradia Dita."
"Iya. Tita." ujar gue seadanya.
"Oke, nanti berarti jadi ngerjain? Kelompok kita baru minggu ke tiga, sih, presentasinya," Rea mengkonfirmasi. "Ada rekomendasi tempat?"
"Di kosan Gellar aja biar dia yang bagian sediain makanan. Anak sultan biasanya kalau ada tamu dikasih Pizza Hut sama Starbucks," Echan nyengir. "Ye, Lar?"
Gellar memutar bola mata.
"Eh, tapi jauh gak, nih? Kalau bisa yang kosannya deket kampus aja biar jalan kaki nyampe."
"Lo gak bawa motor emang, Re?"
Rea menggeleng pada pertanyaan Echan.
"Ya udah, nebeng gue aja."
"Tita bawa motor gak?" Rea gantian nanya gue.
Gue menggeleng jujur.
"Tita biar sama gue," Gellar menyahut. "Gimana?"
Gue diem doang ditanya dia. Diam-diam berdoa biar si Jordan ini mau bersuara dan nawarin gue tebengan. Gak tahu kenapa, dari awal ngelihat muka Gellar, gue udah gak srek banget berurusan sama dia.
Tapi sayangnya, kayaknya omongan Echan bener. Jordan mengidap sariawan stadium akhir.
Gue jadi menghela nafas karena gak ada pilihan.
"Oke."
**
Berawal dari satu kelas dan satu kelompok di mata kuliah Pengantar Bisnis itu, gue jelas harus terjebak terus-terusan ketemu Gellar di kampus hampir setiap hari, dan terus-terusan harus chatting sama dia setidaknya seminggu sekali buat konfirmasi tugas kelompok.
Kerja kelompok pertama di kos cowok itu berjalan dengan semestinya. Biasa aja, gak ada yang spesial, kecuali gue beberapa kali memergoki Echan dan Rea lirik-lirikan. Dari sekali lihat, gue bisa menarik kesimpulan kalau Echan naksir Rea sementara cewek itu bersikap terbuka untuk didekati.
Hal lain yang jadi kesimpulan hari itu adalah Gellar sebenernya punya otak jenius yang sengaja gak ditunjukkan. Kelihatan dari gimana dia memberi ide yang gak pernah terpikirkan oleh gue dan yang lain, dan itu gak cuman terjadi sekali-dua kali.
Tapi apa gunanya pinter kalau nyebelin, kan?
Bahkan di semester satu, jadi temen satu kelas dan satu kelompoknya, bikin gue mengelus dada saking emosinya. Cowok itu suka cari gara-gara. Seolah harinya gak bakal tenang kalau dia gak cari masalah. Itu udah kelihatan bibitnya dari jaman dia masih jadi mahasiswa baru.
Kata Rea—yang sekarang jadi temen 24 jam gue, 1001 kelakuan Gellar selama ini yang suka bikin masalah itu, gak lain dan gak bukan adalah karena cowok itu cari perhatian. Cari perhatian ke gue. Bukan cuman Rea, tapi yang lain juga sering ngomong begitu.
"Lo tanya, deh, ke yang lain. Malah anak kelas, tuh, sering ngomongin kalian. Banyak yang nebak kalau Gellar naksir lo."
"Halah taik. Dikira masih SD apa kalau naksir harus cari gara-gara dulu?"
Begitulah intinya.
Dari awal semesterpun, sudah jadi rahasia umum bahwa nama Gellar dan Tita adalah dua manusia yang gak pernah bisa akur. Ada aja yang dijadiin topik buat debat, ada aja yang dilakuin Gellar yang menyeret gue ke lingkaran pertengkaran hebat sama dia.
Tapi seolah kontras dengan apa yang kami lakuin, gue dan Gellar sama-sama sadar bahwa semua perdebatan dan pertengkaran yang kami lakukan hanya akan jadi lelucon setelahnya. Gue benci Gellar, ofcourse, tapi gue gak pernah nolak pas dia ngajakin nongkrong ke kantin bareng. Dia selalu cari masalah sama gue, itu pasti. Tapi dia selalu minta maaf saat sadar kalau perdebatan kami udah kelewat batas.
Ada sesuatu yang gak bisa dijelaskan di antara kami berdua. Tapi itulah yang membawa gue dan dia jadi semakin dekat dan mengenal.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
kiss me more.
Teen Fiction[21+] "can you kiss me more? we're so young and we ain't got nothing to lose." 23/12/21 - 25/07/22