ini aman buat dibaca walaupun lo lagi puasa, wkwk jadi gas aja.
**
Terkadang, setiap kali Tita menemukan fakta bahwa ia berhadapan dengan masalah, lagi dan lagi, hanya karena ia memutuskan untuk egois dengan mengejar kebahagiaannya bersama Gellar, membuatnya jadi berpikir bahwa Tuhan tidak menurunkan restu bagi mereka berdua.
Kalau orang lain terpisahkan oleh bentang jarak, atau keyakinan, atau restu orang tua, atau harta dan tahta, Gellar dan Tita tidak. Mereka bahkan tak benar-benar tahu apa yang membuat keduanya sulit bersatu. Seolah takdir hanya tidak ingin mereka bersama, entah apa alasannya.
Seperti saat ini.
Apa ia kembali membuat keputusan yang salah? Karena lagi-lagi, mereka berdua langsung dihadapkan dengan Hanna padahal keduanya baru kembali menjalin hubungan lagi kemarin.
"Ta," Gellar meringis pelan sambil menolehkan kepalanya pada perempuan yang duduk di sofa sebelah. "Sori," ujarnya lalu mengulurkan ponsel, meminta Tita segera berbicara dengan ibunya.
Tadi, setelah Gellar terus-menerus dipaksa Hanna agar memberikan ponsel pada Tita, entah Hanna tahu dari mana kalau Gellar sedang bersama perempuan itu, Gellar gak bisa mengelak lagi. Berakhir dia menyerah dan mengaku.
Dengan tangan gemetar, Tita meraih benda persegi panjang hitam tersebut, lalu menggeser duduknya mendekat. Dia sempat meremat paha Gellar sebagai bentuk pelampiasan ketakutannya.
"It's okay." Gellar mencoba menenangkan seraya mengusap singkat punggung tangannya.
Tapi bahkan itu gak berhasil membuat detak jantungnya mereda. Kepala Tita rasanya panas dan mengepul. Kalau pada akhirnya Hanna marah dan meminta mereka kembali berpisah seperti yang kemarin, maka Tita sudah tidak tahu harus apa. Mungkin itu pertanda bahwa Tuhan benar-benar tidak ingin Gellar dan Tita bersatu? Mungkin Tuhan memang menakdirkan mereka bertemu dan berteman, namun tidak untuk lebih dari itu?
"Hai... Tante," Tita mencoba melengkungkan senyumnya senatural mungkin, walau dia malah merasa giginya kering karena meringis terlalu dibuat-buat.
"Hai, Tita," Hanna balik menyapa. "Apa kabar? It's been a while, ya, since the last time we met."
"Ah, iya. Baik, Tante. Puji Tuhan. Tante sendiri gimana kabarnya?"
"I'm all good."
Tita melirik Gellar lagi karena tidak tahu harus membahas apa setelah pertanyaan formalitas tersebut selesai dilakukan. Ia butuh pertolongan. Tapi Gellar tidak sepeka itu. Cowok tersebut hanya terus mengusap tangannya yang gemetar, seolah memberi tahu kalau apapun yang akan dikatakan Hanna, apapun yang akan terjadi setelah ini jika Hanna memberi tahu Jeff dan orang tua Tita juga, Gellar tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti kemarin. Meninggalkan Tita dan mengorbankan hubungan mereka.
"Tita lagi di apartemen Gellar, ya?"
Memasuki pertanyaan inti.
"...iya, Tante."
Hanna mengangguk-angguk. "Nginep?"
Tahu bahwa kekasihnya gak akan bisa menghadapi ini sendirian, Gellar segera masuk ke kamera dengan menggerakkan tangan Tita yang memegang ponsel agar sedikit miring ke arahnya.
"Ma."
"Mama cuman nanya."
"Enggak," masih Gellar yang menjawab. Kali ini terlalu cepat. "Dia baru dateng tadi."
Hanna menukik alisnya, bertanya lewat tatapan apakah Gellar sedang jujur atau sebaliknya.
"Papa lagi gak ada di rumah. Kamu mau mama yang kesana atau kamu yang kesini sama Tita?"
KAMU SEDANG MEMBACA
kiss me more.
Teen Fiction[21+] "can you kiss me more? we're so young and we ain't got nothing to lose." 23/12/21 - 25/07/22