; everything is clear now

8.7K 1.2K 125
                                    

"Asli lo?" Gellar masih ngakak sama cerita Echan. "Kata siapa, dah?"

"Elah, suwer, Lar. Semua anak tongkrongan juga udah pada tahu."

Gellar kembali terbahak sampai matanya hilang. Well, karena dia sipit dan gak literally hilang. Dia, Echan, dan Jordan masih mengayunkan kaki melangkah ke dalam gedung B09 untuk mata kuliah selanjutnya dengan salah satu dari mereka yang mengoceh menceritakan gosip terbaru. Echan, dong, biangnya.

Gellar masih mau menanggapi lebih lanjut. Tapi kalimatnya ia telan kembali, mengurungkan niatnya karena mendapati Tita baru keluar kamar mandi. Gellar langsung terkesiap. Dia menoleh ke Echan dan Jordan untuk berpamitan.

"Lo berdua duluan aja. Gue nyusul abis ini."

Jordan langsung menoleh ke sudut fokus Gellar, barulah dia mengangguk ketika mengerti hendak kemana temannya ini. Echan pun ikut manggut-manggut.

"Good luck, brodi," ucapnya dengan prihatin sambil menepuk Gellar.

Sepeninggal laki-laki itu, Echan masih sempat mengamati Gellar yang menghadang Tita untuk tidak menghindarinya. Cowok kulit sawo matang itu jadi berkomentar.

"Gue baru tahu Gellar ke Tita seserius itu. Kirain pacaran kayak sama cewek dia yang kemarin-kemarin."

Jordan gak menanggapi.

"Kasihan gak, sih? Gue, mah, mau secinta apa sama Rea, kalau dia udah minta putus, ya udah putus. Ngapa, dah, harus dikejar-kejar lagi? Kayak cewek cuman satu," Echan noleh ke Jordan yang masih jalan pakai muka lempeng. "Elah, respon kek!"

"Apaan?"

"Mbuoooh!"

Echan lalu mempercepat langkah dan meninggalkan Jordan.

**

"Ta, Ta, Ta," Gellar mencekal pergelangan tangan perempuan itu. "Ta, wait."

Tita menghela nafas. Memilih untuk berhenti melangkah setelah berhasil dihadang jalannya oleh cowok tersebut. Dia noleh, melepas pelan tangan Gellar dari pergelangannya.

"Kenapa, Ge?"

Tita bahkan memasang senyum. Tapi Gellar tahu Tita hanya melakukan itu untuk formalitas, bukan senyum tulus seperti biasanya. Kali ini sangat jelas kalau dibuat-buat.

"Kenapa?" tanyanya sekali karena Gellar malah diam. Tita mengamati teman-temannya yang sesekali mencuri pandang ke arah mereka, mungkin belakangan sudah banyak yang sadar kalau ia dan Gellar tak baik-baik saja seperti dulu, dan kini mulai mengorek informasi dengan menguping—walau tidak bisa disebut terang-terangan menguping.

"Gue butuh ngobrol bentar."

"Oh, kalau itu sori, gue abis ini ada konsul ke dosen."

"Bentar," Gellar memohon. "Lima menit."

"Ge."

"Ta, please?"

"Oke. Jangan disini."

Gellar mengikuti Tita yang berjalan keluar gedung, kemudian berbelok ke arah kiri dan mengarahkan langkah ke taman belakang gedung mereka. Sepi. Mungkin selain karena ini masih pukul sembilan yang mana belum ada mahasiswa keluar kelas. Tapi yang pasti Tita puas karena apapun yang akan ia bicarakan dengan laki-laki ini tidak akan didengar yang lain.

Keduanya duduk di bangku taman, Gellar menyerongkan tubuhnya ke arah Tita yang masih memasang wajah datar sambil melepas totebag dan memangkunya di atas paha. Cowok itu menarik nafas dalam, tak pernah ada di kepalanya selama ini akan ada hari dimana dia dan Tita akan jadi orang asing seperti sekarang. Ini membuatnya frustasi. 

kiss me more.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang