Kalau aja Tita gak keburu janji ke rumahnya Rea, pasti Gellar gak bakal balik pulang saat ini juga. Karena jujur aja, Gellar butuh waktu banyak buat ngomelin adiknya.
"Rea emang ada di rumah?" Gellar nanya pertanyaan yang sama, kedua kalinya. "Biasanya dia sibuk ngebucin sama Echan."
"Lo kelihatan banget kalau gak mau gue ke rumahnya Rea."
Gellar nyengir. "Iya, lah. Mending ke kosan gue gak, sih?"
"Gak. Udah deh jangan rese. Anter ke rumah Rea, titik."
Cowok itu berdecak karena usahanya menahan Tita gak berhasil-berhasil mulu dari tadi.
"Ta, tadi pas lo ngechat, posisinya gue lagi di bioskop sama Raya."
"Tau."
"Lagi PW banget, Ta. Eh, lo malah ngabarin kalau mogok. Gue jadinya langsung ninggalin si Raya nonton sendirian."
"Oke, terus?"
Gellar noleh menatap Tita yang lagi main hape. "Gue tanya. Lo tanggung jawabnya gimana?"
"Tanggung jawab?"
Gellar mengangguk.
Tita mengerjapkan mata bingung. Dia gak nyuruh Gellar buat nyamperin dia yang mobilnya lagi mogok di jalan, gak nyuruh Gellar ninggalin dedek gemesnya itu, tapi kenapa dia yang jadi disuruh tanggung jawab?
"Turunin gue disini aja gak apa-apa. Lo balik nyamperin Raya, gue biar taksi aja ke Rea."
Gellar memutar bola matanya jengah. Padahal, kan, maksudnya bukan gitu.
**
"Lo pernah ketemu Raya lagi setelah kejadian sebulan lalu itu?"
Terhitung detik ini sudah memasuki satu jam tepat setelah Rea dan Tita saling curhat-curhatan. Ngegosip dari mulai topik penting sampai akhirnya ngalor-ngidul kemana-mana, tiba-tiba sekarang mereka jadi ngomongin Gellar dan Raya.
Kejadian sebulan yang lalu yang dimaksud Rea itu adalah ketika Raya dibawa Gellar ke tongkrongan. Posisinya mereka belum pacaran, sih. Baru PDKT. Tapi entah apa maksud Gellar membawa Raya kesana, karena biasanya mau dia pacaran sama siapapun, Gellar gak pernah bawa-bawa ceweknya ke tongkrongan.
Momen yang paling legendaris dari pertemuan itu adalah Tita inget banget gimana Raya sengaja menabrak pundaknya kayak di sinetron-sinetron pas di tempat parkir.
"Pernah, kayaknya baru minggu lalu."
"Oh, ya? Terus?"
"Ketemu di Valsetto, sih. Dia lagi sama temen-temennya."
"Dia nubruk pundak lo lagi gak?" Rea cekikikan geli sendiri kalau inget kejadian itu.
"Gak," Tita ikut tertawa. "Tapi abis gue ngelewatin mejanya, dia langsung bisik-bisik sama gengnya sambil nunjuk-nunjuk meja gue."
Tita gak bohong.
Dari awal Raya bertemu dengannya, bahkan ketika Tita sendiri belum tahu siapa itu Raya dan apa hubungannya dengan Gellar, cewek itu sinis banget ke dia. Seolah punya dendam kesumat. Mata Raya selalu ngelirik sinis khas kakak kelas sok senioritas ke adik kelas di FTV-FTV. Padahal kalau dipikir-pikir, berani banget Raya begitu sementara dia masih kelas 11 dan Tita sendiri udah duduk di bangku kuliah hampir semester tua begini?
"Duh, bocil banget anjir kelakuannya!" Rea berkomentar, geli sendiri.
"Tapi ketebak, sih, mukanya Raya tuh cewek posesif plus cemburuan. Iya, gak?"
"Raya itu gak cemburuan, Ta. Dia cuman cemburu kalau sama elo. Buktinya pas Gellar kapan lalu dia kemana-mana sama gue gara-gara seprojek bikin media itu, Raya juga fine-fine aja sama gue? Tapi sumpah yang geblek, tuh, si Gellar emang! Pacaran sama Raya, tapi elonya tetep dikekepin."
Tita cuman tersenyum miris.
"Dengerin gue, ya, Ta. You are my best of the best friend. Gue gak setuju kalau lo jadi simpenan begini—"
"Gue bukan simpenan," Tita menyanggah. "Sebelum Gellar sama Raya, gue udah sama dia duluan, dari dulu."
"Iya, sih. Tapi posisinya cewek lain yang selalu punya posisi sebagai pacar Gellar, bukan lo."
"..."
"Kalau lo gak bisa ambil keputusan teges, hubungan lo sama Gellar bakal makin gak sehat. Jujur ke Gellar kalau lo gak bisa mandang dia sebagai temen biasa. Emang mau sampai kapan lo mau jadi tempat singgahnya dia?"
"Hfft," Tita menghela nafas sambil mengacak rambutnya. "Gue gak siap ngaku begitu, anjir. Lo kira gue gak malu apa?"
"Menurut gue—gak cuman gue, bahkan Echan sampai Jordan juga ngambil satu kesimpulan yang sama. Gellar tuh naksir sama lo. Dia emang gak pernah bilang secara langsung, tapi sumpah kelihatan banget, Ta!"
"Kalian cuman menerka-nerka."
"Lo kira lagunya Nagita Slavina, menerka-nerka?" Rea mendengus."Asli, Ta. Gue bilang gini bukan cuman berbekal firasat, tahu!"
"Ya terus apa?!" tuntut Tita capek sendiri.
"Lo inget pas Gellar mabuk abis party sama kating tanggal 11 kemaren?"
"Hm."
"Itu dia, kan, sama Jordan sama Echan juga. Terus dia malah nyerocos ngomongin lo pas kobam. Yang disebut-sebut, tuh, Tita-Tita mulu. Lo paham, kan, kalimatnya orang mabuk itu yang paling jujur?"
Kepala Tita makin pening mendengar itu.
**
Di lain tempat namun di waktu yang sama, Jena lagi nge-live sama temen-temennya. Gadis itu berada di pameran sekolahnya yang diadakan untuk merayakan bulan bahasa.
"Eh, Jen, di cari Pak Anas, tuh!"
"Hah? Ngapain?" Jena mengerjap bingung. "Perasaan gue udah ngumpulin tugas?"
"Gak tahu. Nanti pas jam pulang sekolah aja gak papa katanya."
Jena ber-oh ria kemudian mengucapkan terimakasih pada ketua kelasnya tersebut. Dia kembali fokus sama hapenya sambil jalan-jalan menyusuri tenda-tenda per-angkatan yang menyajikan banyak makanan home made yang dijual.
Mengingat Jena emang populer gak cuman di sekolahnya doang tapi sampai di sekolah-sekolah lain, gak heran kalau dia ngelive langsung banyak yang nonton.
Seperti saat ini, dia menyapa satu-persatu penonton live-nya. Kemudian sok-sok ngevlog dengan memperkenalkan nama-nama jajanan pasar di bazar milik angkatannya.
"Nah, kalau ini bukan jajanan pasar. Ini dimsum!" Jena nyengir ke kamera. "Fif, sejak kapan angkatan kita jualan dimsum!?"
"Sejak tadi. Makanya kalau rapat jangan tidur!"
Jena menendang tungkai kaki Afif sebelum kemudian menjauh. Dia memilih berteduh di bawah pohon dan memandangi ponselnya lagi.
jordanbagaskara bergabung.
Jena melotot, lalu cepat-cepat mematikan live-nya, tak ingin Jordan mendapati dirinya salah tingkah.
"Mamaaaaa, sejak kapan Kak Jordan tau IG-ku?! Huhuhu." teriaknya sambil merengek, entah ngomong sama siapa.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
kiss me more.
Teen Fiction[21+] "can you kiss me more? we're so young and we ain't got nothing to lose." 23/12/21 - 25/07/22