; it hurts so good

11.6K 1.4K 300
                                    

Tita langsung menutup pintu kamar, lebih tepatnya membanting benda itu sampai tertutup, membuat Jane udah mau negur kalau aja Ryan gak menyuruh sang istri untuk tetap diam dan memaklumi.

Perempuan itu dipaksa papa dan mamanya untuk pulang ke rumah alih-alih ke kosan dengan alasan masih banyak yang harus dibicarakan. Tahu bahwa dia tak mungkin membantah perintah orang tuanya apalagi di depan Jeff dan Hanna, dia memilih menurut saja daripada memperpanjang urusan.

Tita sedang sedih. Well, siapa, sih, yang gak sedih kalau lagi putus cinta? Walaupun terhitung baru sehari pacaran, atau malah sebetulnya dia dan Gellar belum dua puluh empat jam meresmikan hubungan, dia udah dipaksa putus di depan para orang tua.

Isi kepala Tita sedang penuh dan riuh. Dia tidak peduli kalau setelah ini papa atau mamanya akan masuk ke kamar dan kembali marah-marah seperti di mobil sepanjang perjalanan tadi karena Tita terus-terusan menangis.

Dia terjebak friendzone hampir dua tahun, mereka berdua sama-sama bodoh untuk menyadari apa yang mereka mau. Kemudian ketika Tita merasa mungkin ada baiknya jika dia membuka hati untuk Sadam, Gellar datang dan menyatakan perasaan, membuat Tita setengah dilema, setengahnya lagi senang bukan main. Keduanya berpacaran. Tapi terhitung hanya semalam, keesokan paginya mereka kembali berpisah. Kenapa kisah cinta Tita seburuk ini?

Ryan dan Jane gak buta buat ngerti kalau anaknya mogok ngomong ke mereka berdua. Wajah Tita sudah tidak enak dilihat sejak masuk mobil, makin bete pas dimarahin, makanya dia langsung banting pintu pas udah sampai di kamar. Tapi alih-alih membiarkan sang puteri untuk menguras air mata di dalam kamar, Ryan dan Jane malah menyusul kesana.

Suara gagang pintu yang diputar membuat Tita segera membuka selimut dan memunggungi pintu. Bodohnya dia tidak mengunci pintu dulu agar orang tuanya tidak bisa masuk. Suara langkah kaki ibunya yang masih memakai heels mengetuk tiap lantai disana. Tita diam-diam mendengus.

"Tita."

Yang dipanggil hanya berdecak, kembali menaikkan selimut hingga bawah hidungnya.

Kasurnya bergerak, pertanda ada seseorang yang naik kesana. Pundaknya ditepuk.

"Tuh, papa mau ngomong."

"Aku mau tidur."

"Jangan gitu. Kamu mau dimarahin papamu?"

Dengan mata sembapnya hingga sulit terbuka, Tita beranjak dari posisi tidurnya untuk duduk dan bersandar pada kepala ranjang. Diihatnya sang papa yang duduk di sofa kamar menghadap ke arahnya, sementara sang mama duduk di ujung kasur.

"Kenapa kamu yang marah, Papa tanya?"

Suara Ryan terkesan santai, tapi Tita jelas tahu Papanya selalu seperti itu, mencoba mengintimidasi Tita tiap ia melakukan kesalahan.

Ryan bukan ayah yang punya stok kesabaran banyak, papanya seringkali marah kepada Tita dengan embel-embel hanya ingin tegas pada sang anak. Jane tidak jauh berbeda, hanya saja mungkin Tita lebih klop dengan Jane karena ibunya yang lebih mirip dia.

Tita hanya bergeming, tak berniat menjawab.

"Kamu sadar, kan, Ta kamu salah?"

Yang ditanya masih diem.

"Papa ngomong sama kamu, loh."

"Iya, Pa. Iya. Aku salah."

"Tahu salahmu dimana?"

"Iya, tahu."

"Apa?"

Tita menghela nafas. Harusnya yang kayak begini gak usah ditanya. Gak perlu dijabarin, dia juga tahu salahnya dimana.

kiss me more.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang