; what are we waiting for?

14K 1.7K 542
                                    

Kemarin malam ketika Gellar dan Tita memasuki apartemen—setelah turun dari mobil usai sesi percintaan di basemen—Jena sebenarnya belum tidur. Oh, tentu saja. Tidak mudah untuk dia terlelap sementara di kepalanya terbayang adegan tidak senonoh yang seharusnya tidak ia lihat.

Tapi ketika ia mendengar pintu apartemen dibuka dan suara abangnya terdengar berbincang dengan Tita, Jena langsung meloncat ke kasur, menyelimuti dirinya yang belum sempat memakai night routin skincare, kemudian memejamkan mata. Dia harus pura-pura tidur. Dia tidak berminat untuk membuka mata dan diajak mengobrol, baik oleh Gellar maupun oleh Tita.

Alasan pertama adalah karena dia takut Tita melaporkan dirinya yang kepergok jalan sama Jordan—padahal, kan, mereka juga bukan sengaja mau jalan berdua—kemudian abangnya berakhir mengomel. 

Sementara alasan kedua adalah, tetap, dia belum siap bertemu dengan punggung Tita yang sempat ia lihat sedang bergerak naik turun dan kepala abangnya yang—oke, stop.

Saking traumanya Jena, dia bahkan sudah negative thinking duluan, menebak bahwa mungkin Gellar dan Tita akan melanjutkan aktivitas tadi setelah masuk apartemen. Siapa yang tahu, kan? Tapi ternyata itu berakhir di pikirannya saja. Karena faktanya, Tita masuk ke kamar Jena dan tidur disana. Bukan dengan Gellar. Jadi tidak ada yang perlu ia waspadai seperti misal saja di tengah malam ia harus mendengar suara desahan menjijikkan abangnya—oke, stop.

Paginya, Tita bangun lebih dulu. Dia ingat bahwa dirinya dan Gellar sama-sama memiliki kelas pagi walaupun mereka tidak berada di satu mata kuliah yang sama. Pun Jena juga harus berangkat sekolah.

Entah dapat hidayah dari mana, setelah mandi dan bersiap, dia malah terjun ke dapur, membuka kulkas, kemudian mulai memasak. Lauk sederhana, sih. Hanya omelet. Tapi tetap saja ini sangat langka dilakukan cewek itu.

Dia baru saja memberi mentega di teflon ketika tiba-tiba sebuah lengan kekar melingkar di perutnya, disusul embusan nafas seseorang di lehernya membuat Tita merinding seketika. 

Siapa lagi? Jelas bukan Jena.

Merasa aneh dengan sikap Gellar yang seperti ini, Tita malah berdecaak tidak nyaman. Pertama, itu tidak aman bagi detak jantungnya. Kedua, mereka tidak hanya berdua di apartemen itu.

"Minggir atau gue goreng tangan lo sekalian."

Gellar gak menghiraukan. "Nanti anterin cari bahan di perpus, dong, Ta. Gue lupa besok disuruh setorin referensi ke kelompok gue. Ck, sialan. Bisa-bisanya gue bagian nyari jurnal."

"Enak, dong?" Tita kini jadi membiarkan Gellar tetap gelendotan ke dia sementara tangannya sibuk di kompor. "Daripada bagian ngerjain makalah atau artikel, mending disuruh cari bukunya doang."

"Iya enak kalau gue gak disuruh carinya sendirian. Lah ini? Masuk perpus aja gue udah bersin-bersin saking alergi."

Tita menampar pipi Gellar di pundaknya. "Lebay. Jam berapa mau nyari?"

"Pas makan siang?" tawarnya. "Udah pasti lo kosong."

"Gak bisa. Jam tiga aja abis gue kelas gimana?"

"Kenapa gak bisa?"

"Kalau jam tiga gue, kan, udah gak ada jadwal kelas apa-apa."

"Lo mau kemana pas makan siang?" Gellar ngeyel sama pertanyaannya. Insting kepekaannya kalau lagi kayak gini langsung menguat. Udah mikir yang macem-macem. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu.

"Mau makan siang sama Sadam."

Gellar langsung mengatupkan bibir.

Udah gue dugong. Batinnya.

kiss me more.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang