; will always in my heart

8K 660 118
                                    

"Stop ngamuk-ngamuk gak jelas! Situ yang salah, situ yang ngereog," gerutu Tita beneran udah setengah mati menahan diri buat gak ngejedotin kepala Gellar ke dinding. "Coba gue tanya sekali lagi—"

"Udah, nggak usah sekali lagi-sekali lagi. Iya, gue yang salah gue telat jemput. Tapi yang gue bahas bukan itu, Ta. Lo tahu gue ngamuk karena apa."

"Apaan?"

Gellar mendelik sebal karena ceweknya pura-pura gak tahu. "Karena lo pulang duluan, lah! Masih nanya. Udah tahu lagi pusing, badan anget. Nungguin gue lima belas menit susah banget apa?"

Lebih dari setengah jam mereka berdua berdiri di depan kitchen counter, sekarang Tita mulai lelah karena debatnya gak selesai-selesai.

"Udahlah, ngantuk. Males ngeladenin orang gila."

"Eh, maksudnya apa, tuh?!"

Gellar mencekal tangan Tita pas cewek itu balik badan mau ke kamar.

"Bentar, gak bisa pergi gitu aja, dong. Ngomong apa barusan? Yang kenceng biar gue denger!"

"Apa, sih?!" Tita nyolot. "Lepasin, gak?!"

"Tadi manggil cowoknya gimana tadi? Ulang, gak?!"

"Orang gila! Puas lo?"

Dengan begitu, Gellar langsung mengangkat tubuh Tita di gendongannya, seolah Tita adalah karung beras yang bisa ditaruh di pundak dengan mudah.

"Gellar!"

"Bodo, ya, Ta. Bodo amat," katanya gak peduli sambil terus membawa Tita ke dalam kamar. "Ayo pilih, gue kekepin seharian apa semaleman?"

"Ih, dasar sinting!"

Sialan.

Tita gak pernah sebanyak ini mengumpat dalam sehari. Gak pernah sampai akhirnya Gellar pergi meninggalkan Tita.

Cewek itu menekuk kaki, menenggelamkan wajah di antara lututnya. Dinginnya malam gak membuatnya merasa tercekam, tapi bayangan setiap memori, kenangan baik dan buruk bersama Gellar, semuanya, membuat Tita merasa dadanya sesak. Jantungnya sakit.

Nggak sekalipun Tita pernah terbayangkan kalau dia akan ditinggal Gellar secepat ini. Semendadak ini.

Melihat bagaimana Jena menangis setiap kali ia temui, bagaimana sekarang kediaman Raksakatama terasa mati dan tak lagi hangat, Tita sakit hati.

Menyadari bahwa Echan jadi pendiam dan Jordan semakin dingin karena tidak ada lagi sahabat baik mereka yang biasanya meramaikan suasana, Tita benci.

"Sampai kapan, Ta, mau nangisin Gellar? Ini bahkan udah tiga bulan setelah dia meninggal."

Itu kata mamanya pas lagi dan lagi suara isakan Tita di tengah malam membuat orang tuanya terbangun.

Tapi mana bisa Tita tidak menangis? Setiap sudut di Jakarta mengingatkan perempuan itu dengan kekasihnya.

Tita merindukan pelukan Gellar ketika malam ia tidak bisa tertidur, bagaimana Gellar mengusap kepalanya bangga saat Tita baru saja berhasil mendapat nilai A di kuliahnya dulu, bagaimana Gellar tiba-tiba berada di depan kamar kosnya saat hujan turun karena laki-laki itu tahu listrik di tempat Tita selalu mati saat begitu.

Tita rindu bagaimana Gellar menggenggam tangannya dan tersenyum, mengatakan bahwa laki-laki itu tak sabar menantikan hari dimana dia bisa melihat Tita dalam balutan gaun putih di hari pernikahan mereka.

Tita rindu Gellar tapi Tita tidak tahu harus apa.

Rasanya begitu menyakitkan hingga Tita ingin berteriak kencang menyalahkan takdir.

kiss me more.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang