"Shit!"
Gellar dan Tita mengumpat bersamaan.
"Ta, gimana?!" Gellar yang panik malah cuman ngeliatin Tita, gak action apapun untuk memperbaiki keadaan—at least harusnya dia langsung memakai celananya dan keluar kamar mandi, bukan malah minta pertolongan Tita seolah pacarnya punya kekuatan invisible.
Tita mendorong pundak Gellar untuk segera keluar kamar mandi. "Pake celana lo yang bener. Gue bakal stay disini dulu."
"Aman emang?"
Cewek itu berdecak. "Udah sana. Malah ngajak diskusi."
Gellar mengangkat resleting celananya dan segera keluar pintu kamar mandi, meninggalkan Tita yang masih telanjang dan panik.
Dia baru jalan tiga langkah saat menemukan papanya udah berdiri dan bersandar di depan lemari, dengan kedua tangan bersedekap di depan dada, serta satu kaki terangkat menyandar di pintu lemari.
"P-pa?"
"Y-ya, G-ge?"
Papanya malah menirukan cara bicaranya, membuat Gellar hampir mendengus kalau aja dia gak sadar gak ada tanda wajah usil kayak biasanya di pria tersebut. Wajahnya datar banget.
"Ikut Papa ke depan." titahnya kemudian.
Jeff lalu berbalik meninggalkan kamar, membuat Gellar mengikutinya dengan ketar-ketir dari belakang, dan saat itu pulalah jantung Gellar merosot ke lambung ketika mendapati ibu dan adiknya berada di luar pintu kamar.
Dia sudah tidak bisa kabur dan mengelak lagi kalau begini ceritanya. Sembari mengikuti langkah sang papa dan mama di depannya, Gellar mendelik pada adiknya. Curiga kalau jangan-jangan penggerebakan ini dilakukan atas bocornya informasi dari mulut Jena.
Tapi adiknya langsung menggelengkan kepala cepat sambil mengangkat kedua tangan, tanda bahwa dia tidak ada ikut campur masalah ini.
Gellar mendengus sambil meraup wajah kasar, frustasi.
"Dek, Tita suruh ke depan juga," ujar Hanna sambil menoleh ke anak ke duanya.
Jena mengangguk, Gellar menatap mamanya pias yang gak dipedulikan sama sekali oleh wanita tersebut. Adiknya meringis, menepuk pundak abangnya.
"Stay strong, ya, Bang."
Jena berbisik begitu tapi sambil nyengir lebar banget, bikin Gellar curiga kalau adiknya nih bukan nyemangatin beneran tapi ngeledek dan malah kesenengan karena dia ketahuan.
Gellar mengepalkan tangan dan pura-pura mau nonjok Jena, tapi cuman berhasil nonjok angin karena Jena yang lari sambil cekikikan. Gadis itu kemudian melangkah masuk ke kamar Tita setelah mengetuk pintu.
"Jen, abang lo diinterogasi?"
"Belum mulai kok, Kak," jawabnya. "Ini kakak disuruh ke depan juga."
"G-gue juga?"
Jena meringis. "Iya. Kan abang ngelakuinnya sama kak Tita."
"Gue gak ngelakuin apa-apa sama abang lo."
Tita mau nangis aja rasanya. Dia, kan, emang belum sempet ngapa-ngapain tadi sama Gellar. Dia tahu, sih, dia salah. Tapi tetep! Bisa gak sih dia mengulang waktu aja biar gak ada kejadian memalukan kayak gini?
"Jen, gue takut..."
Jena paham banget. Ya gimana, sih, rasanya udah ngelakuin dosa terus ke-gap sama orang tua, tuh? Pasti malu, takut, panik, cemas. Jena kasihan sebenarnya sama Tita, tapi gimanapun, dia juga gak bisa belain. Iya, dia ngeship banget Gellar sama perempuan ini, tapi bukan berarti dia membenarkan apa yang mereka lakukan. Lagipula, setiap perbuatan pasti punya resiko. Orang-orang yang berani melakukan kesalahan, udah seharusnya menanggung resikonya masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
kiss me more.
Teen Fiction[21+] "can you kiss me more? we're so young and we ain't got nothing to lose." 23/12/21 - 25/07/22