Nadia terseyum riang. Di tangannya sudah ada satu amplop yang membuat wajahnya terus tersenyum. Nadia lantas memasukkan amplop itu ke tas yang ditangannya. Segera dia melangkah keluar dari pelataran rumah sakit tempatnya memeriksakan diri. Langkah kakinya sedikit terburu untuk segera pulang dan memberitakan pada suaminya, Ardito Widodo.
Cuaca panas di luar rumah sakit saat ini tidak menghalanginya untuk terus tersenyum. Wajar, setelah setahun lebih menjalani rumah tangga dengan suaminya, akhirnya dia bisa hamil. Penantian yang cukup lama itu kini sudah selesai. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan bodoh dari semua orang yang selalu menanyakan mengapa dia belum juga hamil. Jika hanya sekali atau dua kali, mungkin bisa dianggap angin lalu, tapi jika setiap kali bertemu dengan teman, kolega, atau keluarga besar dan akan selalu terlontar pertanyaan "kapan hamil?" tentu akan membuatnya tidak nyaman.
Nadia segera membayar taksi yang sudah mengantarkannya dari rumah sakit. Fokus matanya sekarang tertuju pada mobil yang terparkir rapi di depan rumah. Matanya menyipit saat melihat dua mobil yang sangat dia kenal. Mobil orang tuanya dan juga mertuanya. Hatinya semakin membuncah. Nadia tidak perlu lagi menelpon dan memberi tahu mereka semua untuk memberitahukan kabar gembira ini.
Wajah Nadia yang awalnya sangat cerah, berubah menjadi kebingungan. Bukan wajah ramah dan senyuman yang sekarang ada di depannya, namun wajah-wajah yang penuh dengan aura ketegangan. Bahkan wajah Dito, suaminyapun nampak menunjukkan aura kemarahan. Wajahnya memerah dengan sorot mata yang tajam.
"I... Ini kok ngumpul semua? Ada apa? Tegang banget" Nadia masih mencoba untuk berpikiran positif.
SREK...
Dito lantas melempar apa yang sekarang ada di genggamannya. Masih dengan wajah yang bingung, Nadia lantas mengambilnya, dan seketika matanya membulat saat melihat apa yang ada di tangannya sekarang.
"I.... Ini... Gak...." Nadia tergagap sendiri saat melihat semua foto-foto yang seolah menampakkan dirinya sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain selain Dito.
"Gak nyangka ya kamu seperti ini di belakangku, Nad..." Dito menggeram marah.
"Mas, ini buk...." Nadia mencoba untuk menjelaskan bahwa yang di foto itu bukanlah dirinya. Dia tidak pernah merasa melakukan seperti yang ada di foto tersebut, namun belum selesai dia berkata, Dito langsung saja memotong perkataan Nadia
"Mau ngomong apa lagi? Itu sudah jelas kan? Aku beneran gak nyangka kalau kamu seperti ini, Nad."
"Tapi ini bener bukan aku, mas..."
"MASIH MAU NYANGKAL? ITU FOTO KAMU KAN!" Bahkan Dito sekarang berteriak sambil menggebrak meja. Jelas saja Nadia langsung kaget mendapati perlakuan kasar seperti itu.
"Papa bener-bener kecewa sama kamu, Nad. Kamu udah bikin malu papa." Setelah beberapa saat Ferdi, ayahnya, akhirnya ikut berbicara.
Nadia semakin terpaku dengan apa yang dikatakan Ferdi. Sangat jelas jika Ferdi juga menunjukkan ketidakpercayaan kepadanya. Mata Nadia kini memerah menahan tangis karena orang-orang terdekatnya justru tidak percaya kepadanya.
"Nad, kita tahu, kalian nikah memang kami jodohkan. Mama tahu jika kamu mungkin belum sepenuhnya mencintai Dito, tapi bukan dengan seperti ini kamu bertingkah di luar" Kali ini Erna, ibu mertuanya yang berbicara.
Air mata tidak bisa lagi ditahan Nadia. Perlahan, pipinya basah oleh tetes air matanya sendiri.
"Mama, papa, itu beneran bukan Nadia. Bukan. Gak mungkin Nadia..."
"GAK MUNGKIN GIMANA? ITU YANG DI DEPAN KAMU APA? HAH?" Lagi, Dito berucap dengan suara yang keras. Nadia terpaksa kembali harus kaget dengan teriakan dari Dito yang bahkan lebih keras suaranya dari teriakan tadi.
"KELUAR KAMU! KAMU BUKAN LAGI ISTRIKU! MULAI SEKARANG AKU MENCERAIKAN KAMU!" Nadia langsung menggeleng keras. Nalurinya mengatakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh suaminya itu, apalagi sekarang dia sedang hamil.
"Mas... Kamu..."
"AKU CERAIKAN KAMU! KELUAR KAMU DARI SINI!" Dito mengulangi lagi perkataannya tentang cerai dengan Nadia. Merasa bingung dan mendapati jalan buntu dengan Dito, Nadia lalu menoleh kepada Ferdi dan Santi, kedua orang tuanya. Namun, respon mengejutkan justru didapatkan oleh Nadia.
"Papa kecewa sama kamu, Nad. Kamu sudah bikin papa dan mama menjadi malu." Ferdi berkata sambil tetap menatap dengan tatapan marah dan kecewa kepada Nadia. Bukan hanya Ferdi, Santi ibunya juga menunjukkan hal yang sama. Tatapan penuh kekecewaan dan kemarahan kepada Nadia.
"Kenapa gak ada yang mau dengerin Nadia?" Nadia berkata lirih disertai dengan isakan
"Foto yang itu sudah cukup, Nad! Kamu yang membuat semuanya menjadi sulit. Apa susahnya kamu mengakui kalau kamu memang selingkuh di belakang Dito?" Anehnya, Santi malah tidak membela sama sekali Nadia.
"KARENA ITU MEMANG BUKAN AKU, MAH!" Akhirnya lepas juga emosi dari Nadia.
PLAK
Justru sebuah tamparan yang mendarat di pipi Nadia, dan Erna, mertuanya yang melakukannya.
"Kamu! Sudah salah malah teriak lagi! Dengar kan apa dibilang Dito tadi? Keluar kamu! Kamu bukan lagi menantu saya!" Usir Erna kasar pada Nadia.
"Dan kamu juga bukan anak kami lagi!" Sontak saja Nadia membelalakkan matanya. Ferdi dan Santi adalah benteng terakhirnya. Dia sudah diusir Dito, maka sekarang yang ada di pikirannya adalah dia akan kembali pulang ke rumah bersama dengan Ferdi dan Santi. Tapi, jika Ferdi-pun berkata seperti itu, kepada siapa lagi dia akan pulang?
"Pah..." Nadia menatap tidak percaya pada Ferdi.
"Jangan panggil papa lagi. Kamu bukan anakku!"
Nadia memejamkan matanya sejenak. Hari ini, niatnya dia akan memberikan kejutan dengan kehamilannya kepada seluruh keluarga, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dia yang diberi kejutan, namun bukan kejutan yang menyenangkan tapi kejutan yang menyesakkan.
Nadia mengumpulkan keberaniannya, lalu mengambil surat pemeriksaan yang menyatakan kehamilannya, bagaimanapun Dito dan semua keluarganya harus tahu tentang kehamilannya. Tentang mereka yang tidak mau menerimanya, Nadia tidak peduli. Hatinya sekarang sudah terluka dengan apa yang baru saja terjadi di depannya. Jika mereka sudah menganggapnya bukan siapa-siapa lagi, maka diapun akan bertindak sama dengan mereka.
"Awalnya, Nadia pengen kasih surprised ke semuanya. Nadia hamil." Ujar Nadia sambil meletakkan surat hasil pemeriksaan dari rumah sakit.
"HAHAHAHA... PASTI INI HASIL KAMU TIDUR SAMA LAKI-LAKI ITU KAN!" Respon Dito sungguh di luar kendali.
"Percuma saja Nadia mau ngomong, kalian gak akan percaya apa yang Nadia omongin. Cuman satu yang harus kalian tahu, jangan pernah menyesal kalau akhirnya kalian tahu yang sebenarnya"
"Yang sebenarnya itu kamu yang sudah selingkuh dan mengkhianati anak saya!" Erna berkata dengan sinis bahkan sambil mencibirkan bibirnya. Nadia hanya tersenyum kuyu saja menanggapi cibiran dari Erna. Dia lantas memalingkan wajahnya, berganti menatap Ferdi dan Santi.
"Dan, buat papa dan mama.... Maaf, buat anda berdua, anda kecewa dengan saya? Anda tahu kalau saya jauh lebih kecewa dengan anda berdua. Anda justru lebih percaya orang lain dibanding dengan orang yang sudah anda besarkan sendiri!"
"Kalian sudah menganggap saya sebagai orang asing kan? Baik, saya juga akan berlaku yang sama dengan kalian!" Sejujurnya, Nadia harus mengumpulkan semua keberaniannya untuk mengatakan itu semuanya.
"KELUAR KAMU! GAK USAH BANYAK DRAMA!" Dito kembali berteriak di depan Nadia.
Malam itu juga, Nadia keluar dari rumah yang selama ini ditinggalinya dengan Dito dengan menyisakan luka yang teramat perih. Mungkin juga luka yang tidak akan pernah sembuh oleh apapun.
Nadia melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu tanpa tahu harus kemana. Hanya satu yang dia tahu jika Tuhan pasti akan selalu melindunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Hati (Tamat)
General FictionSaat tidak ada yang mempercayai. Saat semua ditimpakan tanpa bisa bersuara. Saat semuanya nampak sudah usai, Tapi.... Bagaimana jika dia kembali? Bagaimana jika yang sebenarnya terkuak? dan, Bagaimana jika harus berbagi hati? Cover by Canva