Selisih tiga minggu dari semuanya itu, Dito sudah bisa membawa surat perceraian resmi dari pengadilan. Entah bagaimana caranya hingga dia tidak memerlukan waktu yang lama untuk bisa dengan resmi mendapatkan surat cerainya. Ingin rasanya dia mengulur waktu, tapi dengan mengulur waktu perceraiannya sama saja dia mengulur waktu kebahagiaan Nadia. Hati dan pikirannya kini sudah lebih tenang menghadapi semuanya. Dia sudah bisa lebih pasrah dan ikhlas dengan semua yang sudah terjadi padanya. Sekarang, dalam setiap doa yang terucap oleh mulutnya, selalu nama Nadia dan Mikey terselip di sana, selain tentu permintaan maaf melalui Sang Kuasa.
Semua peristiwa yang terjadi pada Dito mengubah wataknya. Tidak ada lagi Dito yang hangat, tidak ada lagi senyum ramah yang selama ini menjadi ciri khasnya. Semuanya kini berganti dengan Dito yang dingin, Dito yang semakin lama semakin seperti gila kerja. Bukan tanpa alasan Dito seperti berubah seperti itu. Selain untuk pelarian dari kondisi stresnya, Dito juga ingin memberikan kehidupan yang lebih layak untuk Nadia dan Mikey. Dia ingin menebus waktu-waktu yang terbuang darinya.
Dito sedikit ragu hendak mengetuk pintu yang ada di depannya. Tangannya sudah terayun ke atas tapi seakan ada yang menahan tangannya untuk meneruskan tangannya. Dia menghela napas panjang, karena mungkin inilah saat terakhirnya bisa bertemu dengan Nadia dan Mikey secara langsung dan dari jarak sedekat ini.
TOK... TOK... TOK...
Setengah menit kemudian, pintu terbuka dan nampaklah Nadia dengan wajah yang awalnya tersenyum namun langsung berubah datar saat dia melihat siapa yang ada di depannya kini.
"Ada apa?" Tanya Nadia tanpa basa basi.
"Siang, Nad. Hm, aku cuman ingin nganter ini. Sama ada satu hal yang aku pengen omongin sama kamu. Lagi gak sibuk kan?" Dito berusaha untuk bersikap ramah dan tetap menampilkan senyum di wajahnya. Dia berusaha untuk tidak terpancing dengan Nadia yang masih menunjukkan wajah datar dan nada suara yang ketus.
Nadia mengambil satu bendel amplop lalu membukanya. Ternyata berisi berkas surat cerai dari pengadilan. Diantara tumpukan berkas itu terselip satu dokumen. Sertifkat deposito atas nama Mikey. Nilainya cukup besar. Sembilan digit angka berjejer di sertifikat deposito itu. Tentu saja Nadia bingung. Dia mendongakkan kepalanya dengan dahi berkerut.
"Ijinkan aku memberikan ini untuk Mikey. Aku tahu, itu gak akan sebanding dengan apa yang udah kalian alami karena kebodohanku. Bagaimanapun Mikey adalah anakku. Aku harus bertanggung jawab akan kehidupannya. Memang udah sangat terlambat, tapi tolong terima ini. Aku tidak pernah memberi apapun ke Mikey bahkan sejak dia ada di kandungan"
"Aku akan berikan ini ke Mikey, tapi soal dia menerima atau tidak itu mutlak keputusannya. Dia sudah cukup dewasa untuk memutuskan masalah ini" Ujar Nadia kemudian.
Nadia tersenyum kecil saat dia meneliti surat cerai yang tadi diberikan oleh Dito sudah di tangannya. Memastikan jika tidak ada yang salah dari surat cerai itu, Nadia lalu berkata
"Terima kasih, udah ngasih yang harusnya udah aku terima belasan tahun lalu" Dito tersenyum sumbang mendengar ucapan terima kasih sekaligus sindiran dari Nadia. Dia tidak sakit hati sama sekali dengan ucapan Nadia. Melihat Nadia tersenyum sudah membuat hatinya tenang, walupun itu mungkin senyum terakhir dari Nadia untuknya.
"Nanti kalau nikah, undang aku ya. Aku pengen dateng" Dito masih juga tersenyum walaupun hatinya tidak baik-baik saja. Tidak akan pernah rela hatinya melihat Nadia bersanding dengan lelaki lainnya.
"Oke, nanti aku undang kalau memang sudah pasti tanggal dan tempatnya. Tapi nanti aku ijin dulu sama mas Rama, boleh apa enggaknya. Mudah-mudahan aja mas Rama kasih ijin."
Dito segera saja menyudahi kunjungannya di ke rumah Nadia. Mendengar Nadia memanggil Rama dengan sebutan "mas" dan dengan bibir yang melengkung ke atas membuat hatinya semakin sakit. Dulu sebutan itu hanya Nadia berikan ke dirinya. Dulu senyum Nadia bisa dia pandang setiap saat. Sekarang, dia harus merelakan itu semua.
Setelah pamit, Dito memilih langsung kembali ke apartemennya. Dia dan kedua anaknya masih tinggal di sana. Mereka bahkan sudah tidak peduli lagi bagaimana keadaan dari Renita. Asisten rumah tangga yang dulu bekerja di rumahnya sering berkirim pesan singkat tentang bagaimana Renita yang sekarang hanya mengurung diri di kamar saja. Tapi, pesan itu diabaikannya. Dia sama sekali tidak mau tahu bagaimana kondisi Renita. Yang dilakukan Dito hanya mentransfer uang secara rutin untuk membayar gaji bulanan asisten rumah tangga dan juga uang kebutuhan bulanan untuk perawatan rumahnya.
Apartemennya masih sepi, kedua anaknya masih di sekolah membuat Dito leluasa untuk merebahkan tubuhnya di sofa bed single seat. Dia membuka kasar kancing-kancing bajunya. Membiarkan hembusan udara dari pendingin ruangan langsung terkena di kulitnya. Berharap dengan memejamkan matanya bisa membuat letih di hatinya bisa berkurang.
Rangga dan Vito yang baru saja pulang dari sekolah sedikit bingung saat masuk ke apartemen ayahnya. Tidak biasanya Dito mensetting pendingin ruangan pada suhu paling rendah seperti ini. Mereka semakin kaget saat melihat Dito tidur begitu saja dengan kancing baju terbuka semuanya. Udara yang sangat dingin itu tidak menghalagi peluh yang keluar di dahi Dito.
Rangga bermaksud membangunkan Dito. Mungkin beristirahat di kamar bisa membuat Dito tidur lebih nyenyak. Tangan Rangga langsung merasakan badan Dito yang saat ini terasa hangat.
"Dek, bantuin kakak buat angkat papa ke kamar. Papa demam" Tanpa menunggu lama, Vito langsung membantu Rangga memapah Dito ke kamarnya. Apartemen Dito hanya memiliki satu kamar saja. Biasanya memang dia yang menempati tempat tidur itu, sedangkan Rangga dan Vito tidur bersama di sofa bed.
"Dek, gantiin bajunya papa sama baju tidurnya papa. Trus abis itu selimutin papa. Kakak mau ambil kompresan buat papa" Lagi, Vito hanya mengangguk dan menurut saja dengan kakaknya. Dia lantas melakukan apa yang tadi diminta oleh kakaknya.
"Papa kenapa sakit gini sih pa? Rangga gak mau papa sakit gini. Cuman papa yang Rangga punya. Mama udah bikin Rangga kecewa banget pa.. Papa sembuh ya pah..." Rangga bergumam sendiri di dalam hatinya. Rangga mempunyai kedekatan emosional yang kuat dengan Dito, makanya dia justru memilih tinggal bersama dengan Rangga daripada bersama dengan Renita.
Kedua remaja itu kini sibuk merawat ayah mereka yang tiba-tiba saja drop seperti ini. Untunglah mereka bisa dengan baik merawat Dito dengan baik.
"Kak, apa kita gak telpon kakek aja? Takutnya kalo papa makin tinggi demamnya" Vito menjadi sedikit khawatir dengan kondisi Dito.
"Tapi kan papa minta kalau kita gak boleh ngasih tau ke siapapun alamat apartemennya papa ini?"
"Paling enggak kakek sama nenek tahu kalau papa sekarang lagi sakit. Tapi kayaknya kalau kakek apa nenek gak masalah sih kak. Yang papa hindarin kan mama" Vito masih berpendapat kalau Rangga harusnya memberi kabar ke Budianto dan Erna. Akhirnya setelah berpikir sejenak, Rangga memilih untuk mengikuti saran dari adiknya. Segera, dia mengambil ponselnya dan menghubungi Budianto.
"Kakek mau ke sini sekarang. Kakak ke lobby bawah dulu, nungguin kakek sama nenek datang. Kamu di sini aja ya, jagain papa" Vito hanya mengangguk dan lalu membiarkan Rangga keluar dari unit apartemen dan menunggu Budianto di lobby bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Hati (Tamat)
General FictionSaat tidak ada yang mempercayai. Saat semua ditimpakan tanpa bisa bersuara. Saat semuanya nampak sudah usai, Tapi.... Bagaimana jika dia kembali? Bagaimana jika yang sebenarnya terkuak? dan, Bagaimana jika harus berbagi hati? Cover by Canva