Part 6

6.1K 406 5
                                    

Dito melangkahkan kakinya pelan masuk ke rumahnya. Samar terdengar gelak tawa dari dalam rumah. Suara tawa dari Renita, istirinya, dan kedua anaknya langsung memenuhi ruang dengar Dito. Rangga dan Vito ternyata sudah pulang dari acaranya berlibur di luar kota. Dito nampak memaksakan senyumnya saat memasuki ruang keluarga. Entah mengapa, sudah beberapa hari tidak bertemu dengan kedua anaknya itu, namun dia tidak terlalu merindukan kedua anaknya. Justru Mikey yang sekarang ada di seluruh pikirannya.

"Kalian udah pulang? Gimana liburannya?" Pertanyaan sekedar basa-basi dari Dito. Dia segera bergabung dengan istri dan kedua anaknya itu.

"Seru pah. Makasih pah hadiah liburannya. Tahun depan lagi ya pah, belum puas main pantai di Lombok pah" Rangga menjawab dengan antusias pertanyaan Dito. Hadiah kenaikan kelas tahun ini Dito memberikan hadiah liburan ke Lombok untuk kedua anaknya.

"Eh, mas udah pulang? Mas Dito sakit ya?" Renita yang mendapati suaminya datang lantas menghampiri Dito. Tapak tangan Renita lantas menyentuh kening dan leher Dito. Mencoba merasakan apakah suamianya itu sedang demam atau tidak. Diambilnya tas kerja yang tadi ditenteng Dito. Penampilan Dito memang kusut dan tidak seperti biasanya. Biasanya, walaupun telah seharian beraktivitas di kantor, tetap saja penampilan Dito selalu prima.

"Enggak, mas gak apa-apa. Mungkin capek aja. Tadi banyak kerjaan di kantor" Sangat tidak mungkin jika Dito berkata jika dia saat ini sedang memikirkan Nadia dan Mikey.

"Ya udah, mas mandi dulu ya. Pake air hangat ya mas, biar capek-nya bisa hilang"

Selesai mandi dan membersihkan diri, Dito nampak sedikit lebih segar. Biasanya setelah selesai mandi dan membersihkan diri, Dito akan langsung ke bawah dan melanjutkan dengan makan malam. Masih dengan rambut yang basah dan dibiarkan begitu saja, Dito membuka pintu balkon rumahnya. Pikirannya sungguh tidak tenang. Selalu saja Nadia dan Mikey silih berganti mengisi otaknya. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menguasai pikirannya sekarang.

"Kalau lihat gimana Mikey, aku tidak perlu melakukan tes apapun. Aku yakin kalau emang dia anakku. Terus aku harus gimana sekarang?" Dito memandang langit malam ini. Dia menikmati angin malam yang menerpa dirinya.

"Gak mungkin Nadia sama Mikey mau aku ajak ke sini" Sempat tercetus ide di kepalanya untuk mengajak Nadia dan Mikey kembali hidup bersama dengannya. Tapi akal sehatnya langsung mengingatkan jika dia juga sudah ada Renita, Rangga dan Vito.

"Ini semua karena foto-foto itu. Tapi siapa yang ngirim foto itu? Ngapain dia nyerang aku?" Dito memejamkan matanya. Dia mengambil nafas dalam, mencoba menenangkan dirinya.

"Mas, mas beneran gak apa-apa?" Suara pelan Renita cukup mengagetkan Dito. Sedikit tersentak, lantas Dito memutar tubuhnya dan kini yang nampak di dia adalah wajah Renita yang menunjukkan kebingungan.

"Mas, sedari tadi pulang Nita liat mas kayak ada masalah gitu? Yakin mas gak apa-apa?" Renita ingin mencoba memastikan bahwa Dito baik-baik saja.

Dito mencoba memaksakan senyum kepada istrinya itu. Dia tidak mungkin menceritakan apa yang sekarang memenuhi otaknya.

"Gak apa-apa. Mas cuman capek aja. Ada sedikit masalah sih tadi, tapi masih bisa ditangani kok" Dito berusaha menenangkan istrinya itu.

"Oke. Kalau emang mas mau cerita, cerita aja. Mungkin Nita bisa bantuin." Renita mendekat ke Dito. Tangannya mengelus lengan Dito mencoba untuk menenangkan suaminya.

"Turun yuk mas. Kita makan malam. Itu Rangga sama Vito juga udah siap di ruang makan" Walaupun sebenarnya Dito tidak berselera untuk makan, dia mengangguk dan mengikuti Renita. Berdua mereka turun dan bergabung dengan Rangga dan Vito yang sudah duduk rapi menunggu kedua orang tua mereka.

Keluarga kecil itu lantas menghabiskan waktunya dengan makan malam. Tidak ada yang istimewa dalam acara makan malam itu. Rangga dan Vito lebih banyak bercerita mengenai liburan mereka, sementara Dito hanya pasif saja menanggapi cerita-cerita dari kedua anaknya. Sesekali memang dia menimpali cerita kedua anaknya itu, namun tetap saja hati dan pikirannya tidak berada di ruang makan.

***

Libur satu minggu sudah usai. Sekarang waktunya kembali ke sekolah. Bagi Mikey, kembali ke sekolah berarti sama saja kembali kepada dunia nyata. Selama liburan, Mikey menghabiskan waktu dengan membantu Nadia. Dia mengambil dan mengantarkan baju-baju yang sudah dicuci dan disetrika oleh Nadia. Walaupun sebenarnya, saat tidak liburan pun dia tetap melakukan hal yang sama, tapi ketika libur dia tidak perlu tergesa-gesa dan tidak perlu berburu dengan jadwal sekolah.

"Bunda, Mikey berangkat dulu. Ini laundry-an buat Pak Sugeng sekalian aja Mikey bawa bun" Nadia yang masih ada di dapur, langsung meninggalkan pekerjaannya. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk mengantar Mikey berangkat ke sekolah.

"Mau mampir dulu ke Pak Sugeng ngasih laundry-an? Jangan ketukar ya." Nadia lalu menyerahkan dua tas kresek besar ke Mikey.

"Bun, bekel makan siang buat Mikey mana?" Nadia hampir saja kelupaan menyiapkan bekal makan siang untuk Mikey. Membawa bekal sendiri ke sekolah adalah salah satu cara mereka untuk bisa menghemat pengeluaran. Mikey bersekolah di sekolah unggulan swasta dan bisa dipastikan harga makanan di kantin sekolah itu mahal di mata seorang Mikey.

Seusai menerima kotak bekal makan siang Mikey lantas mencium tangan Nadia dan Mikey langsung keluar unit rumah susun mereka. Untuk ke sekolah, Mikey biasa menggunakan sepeda kayuhnya. Untunglah unit rumah susun mereka ada di lantai dasar, jadi Mikey tidak perlu kesulitan mengeluarkan sepeda kayuhnya.

Selepas Mikey berangkat ke sekolah, Nadia lantas menutup kembali pintu unit rumah susunnya. Dia lantas kembali ke dapur dan memasak untuknya dan Mikey nanti. Saat sedang menyiapkan makanan, tiba-tiba saja dia mendengar pintu rumahnya diketok. Bergegas Nadia meninggalkan sayuran yang sudah dipotong-potong dan siap untuk dimasaknya. Dia berpikir jika Mikey ada yang tertinggal, sehingga dia sedikit terburu-buru untuk membuka pintu, namun setelah dibuka pintu rumahnya, bukan Mikey yang mengetuk pintu tapi seorang yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya. Dito.

"Oh, Pak Dito? Ada apa ya pak, sampai bapak datang ke rumah saya?" Nadia segera menguasai dirinya dan berusaha untuk tidak menunjukkan kegugupannya di depan Dito. Melihat respon Nadia yang terkesan sinis itu, Dito memejamkan mata. Dia bertekad untuk tidak menggunakan emosinya, karena dia sadar bahwa emosinyalah yang membuat dia berpisah dengan Nadia.

"Saya ingin ngobrol sebentar, apa saya mengganggu?"

"Sangat menganggu! Bapak bisa lihat kan saya banyak sekali kerjaan" Nadia sedikit memundurkan berdirinya hingga membuat Dito melihat tumpukan baju-baju laundry yang nantinya akan di setrika. Sikap bahasa tubuh yang ditunjukkan Nadia sejujurnya membuat Dito sangat tidak nyaman. Yang ada di depannya sekarang, bukanlah Nadia yang dia kenal dulu.

"Sebentar saja, Nad. Saya hanya ingin tahu soal Mikey. Jika memang dia adalah anakku, aku ingin... hm.. Aku ingin..."

"Ingin apa pak? Ingin mengusir dan mempermalukan saya dan Mikey lagi? Atau ingin ngeluarin Mikey dari sekolah karena bapak donatur di sekolah itu? Kalau benar bapak lakukan itu semua, jangan pernah tanya apa yang bisa saya lakukan!" Nadia berkata garang. Matanya memerah dan emosinya memuncak.

BLAM

Pintu rumah dibanting kencang tepat di depan wajah Dito. Tentu saja itu membuat Dito terkejut dan kaget.

"Aku hanya ingin kalian hidup lebih baik, Nad..." Ucap Dito lirih. Dia lantas melangkahkan kakinya menjauh dari unit rumah susun Nadia, berharap kemarahan Nadia bisa reda.

Berbagi Hati (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang